Daripada ribut-ributan di warung yang udah sesak, gue akhirnya mengalah. Dia bangkit dari tempat duduk, lalu mengeluarkan dompet.

"So this is it. Gue nggak punya utang apa-apa lagi sama lo." Kami sudah berdiri di depan mobil gue. "Kita pisah disini. Lo bisa naik taksi ke rumah atau apartemen atau hotel atau apa pun itu tempat lo tinggal sekarang."

Dia memasang wajah pura-pura lesu. Menjijikkan sekali. Sumpah.

"Cepat banget, sih? Ayo jalan ke tempat lain. Tadi kata Nana kamu mau ke Gramedia? Yuk saya temenin," usulnya semangat.

Gue menggeleng. Ke Gramedia bisa kapan-kapan. Lagian yang mau gue cari juga cuma flashdisk. Lenyap sudah semangat ke Gramedia karena kemunculan si Gandi.

"Gue ngantuk. Barang lo nggak ada yang ketinggalan, kan?" tanya gue memastikan.

"Ayolah, Ajeng. Hari ini saya free sampai subuh. Besok sudah harus meeting di Kuningan," dia memaksa.

Childish banget deh sumpah. "Gue capek. Mau pulang."

Dia mendesah. Dia salah memilih lawan. Kekeraskepalaan gue ini tingkatnya udah akut. Sulit ditemukan penangkalnya.

"Yasudah. Kita pulang. Kamu capek, kan? Sini saya aja yang nyetir mobil kamu."

"No way. Gue masih sanggup nyetir sendiri. Lo pulang gih sana," gue melakukan gerakan mengusir sembari menggenggam erat kunci mobil gue.

Dia berdiri di depan pintu mobil gue, menghalangi jalan gue. "Saya antar kamu. Sini kuncinya."

Gue rasanya pengen narik rambut anak ini. Gusti, bisa gila aku kalau sering-sering ketemu manusia gila ini.

"Minggir."

Dia menggeleng.

"Lo jangan bikin gue emosi, ya. Gue udah capek banget. Sekarang lo minggir. Pulang sana."

Dia masih berdiri di tempatnya.

"Lo keras kepala banget, ya? Nggak punya malu juga. Udah diusir masih aja maksa," gue mendesah frustrasi.

"Kamu yang keras kepala. Siniin kuncinya. I'll be driving. Kamu tinggal duduk manis di sebelah saya. Atau kamu sebenarnya menikmati ya selama ini berdebat dengan saya?" tanyanya dengan senyum menggoda.

Ya Tuhan. Ini manusia tingkat kepedeannya udah level minta ditendang ke laut merah.

"Fine. Ini kuncinya."

Gue mengalah. Sabar, Ajeng. Orang sabar disayang Tuhan.

Dia tersenyum penuh kemenangan lalu bergegas masuk ke dalam mobil gue.

Ponsel gue berdering. Gue melirik si penelepon, lalu menghela nafas.

"Ya, Ma?"

"Apa kabar kamu, Nak? Lagi dimana sekarang? Mama Papa kangen nih,"

"Sehat. Ini lagi jalan pulang dari kantor."

"Minggu lalu kok nggak pulang sih, Sayang? Kayak rumah kita jauh banget aja dari apartemen kamu."

"Sibuk banget belakangan ini."

"Tapi minggu ini pulang, ya?"

"Kalau nggak banyak kerjaan ya pulang. Tapi aku nggak mau ya kalau mama sampai mengundang orang lain ke rumah kita,"

"Kamu mah nggak ngerti. Ini juga untuk kebaikan kamu. Kemarin teman Papa anaknya ada yang lagi cari jodoh. Keren banget, Nak. Dokter spesialis. Cakep lagi."

Over The Moon (SUDAH TERBIT)Where stories live. Discover now