"Siap, Pak," jawab kami serempak membuat Pak Vino tertawa.

"Anya, tolong siapkan hadiah untuk Gandi sebagai ucapan terima kasih kita," titah Pak Vino kemudian.

Mbak Anya tersenyum lalu mengerling jail ke arah gue. Ibu produser yang satu itu kenapa?

"Pak Gandi nggak minta muluk-muluk, Vin. Dia bilang, cukup satu cangkir kopi."

"Kalau begitu, ajak dia ke coffee shop terbaik di Jakarta. Gue serahin ke elo. Sampaikan salam gue juga.".

Setelahnya, Pak Vino meninggalkan ruang rapat diikuti oleh anak-anak yang lain. Gue baru akan keluar ketika Mbak Anya menarik tangan gue.

"Kenapa, Mbak?" Gue kembali duduk.

"Soal ngopi dengan Gandi, gue mengutus elo."

"Tapi, Mbak—"

"Lo sudah dengar soal promosi dari si Vino, kan?"

Gue mengangguk.

"Lo juga ngerasa gue mulai mendelegasikan satu-satu kerjaan gue ke elo?"

Gue mengangguk lagi.

"Kali ini, gue juga mendelegasikan elo. Buat janji dengan asistennya, ajak dia ngopi sebagai ucapan terima kasih. Sampaikan salam gue dan Vino ke dia."

Yang benar saja. Gue menghindari ketemu sama Gandi, tapi Mbak Anya malah membukakan jalan.

"Satu lagi, ini gak wajib. Tapi alangkah baiknya kalau lo berhasil bujuk Gandi untuk jadi juri tamu di program cerdas cermat Gayatri TV. Kita cuma butuh dia dua jam di acara itu. Ini request dari petinggi, Jeng. Lo bisa bayangin gimana mulusnya promosi lo kalau lo berhasil membawa Gandi yang super sibuk itu ke kantor kita."

Kepala gue rasanya mau pecah. Nggak ada skenario yang lebih baik lagi kah? Harus banget gue memohon pada si casanova tanpa sopan santun itu demi sebuah promosi?

Mbak Anya memberikan gue kartu nama asisten Gandi pada gue. Dia menepuk lengan gue, memberikan semangat untuk menghadapi cobaan paling berat di hidup gue.

Sebagai kacung yang baik, gue cuma bisa diam menatap nanar kartu nama asisten si Gandi.

Gue punya harga diri. Itu jelas. Namun godaan promosi yang dilontarkan Mbak Anya mampu menekan luapan emosi yang siap meledak di hati gue.

Demi jabatan sebuah produser, gue harus menemui laki-laki yang dengan lancarkan mencium bibir gue dua kali. Gue nggak tahu apakah pengorbanan ini akan worth it eventually atau nggak.

***

Setelah dua minggu menunggu kabar dari asisten Gandi-yang membuat gue hampir menyerah dan melapor saja ke Mbak Anya- akhirnya gue mendapat email dari si asisten bahwa Gandi kosong pada hari rabu siang.

Gandi juga meminta gue bertemu di Excelso sebuah mal di dekat kantornya. Excelso bukan tempat ngopi terbaik di Jakarta, tapi gue bisa bilang apa. Gue nurut aja demi kelancaran promosi.

Sejujurnya, gue bukan maniak kopi. Even, gue lebih suka kopi dengan campuran krim dan gula. Males aja minum yang pahit-pahit. Namun kadang, pahit kopi mampu menolong gue melewati deadline di kantor.

Gue tiba lebih awal. Asistennya bilang, Gandi akan langsung menemui gue begitu selesai meeting. Katanya sih teleconference meeting dengan petinggi Atkins gitu untuk membahas pengembangan mal yang dia dan timnya garap. Gue memaklumi. Arsitek dengan jam terbang seperti si kampret itu sulit punya waktu luang.

Besides, gue senang dia telat. Jadi, waktu gue untuk berduaan dengan dia berkurang. Percayalah, ketemu dia itu salah satu hal yang paling gue hindari. Kalau bisa nggak usah ketemu-ketemu lagi aja sekalian. Biar hidup gue tenang dan kantor juga nggak grasak-grusuk.

Over The Moon (SUDAH TERBIT)Where stories live. Discover now