"Semua pertanyaan yang akan saya kemukakan pada Bapak terdapat pada draft yang Bapak pegang. Kami tidak akan bertanya soal personal life Bapak sesuai dengan hasil rapat kami dengan asisten Bapak. Kami tidak akan membawa isu politik, sara, agama dan—"

"Kamu masih ingat dengan saya, kan?" tanyanya memotong ucapan gue sambil tersenyum geli.

Gue menahan kesal. Pertanyaan bodoh.

"Thank God karena host sebelumnya tidak bisa hadir. Kita ketemu lagi. Finally," dia berseru seakan bertemu gue sama seperti menang lotre sebuah sedan mewah.

"Host sebelumnya tidak bisa hadir karena sakit," gue sengaja membeberkan fakta itu agar dia sedikit merasa bersalah karena baru saja berucap syukur atas ketidakhadiran Evelyn.

"Benarkah? Semoga dia cepat sembuh. Please give my best regard to her," ucapnya sok tulus.

"Maaf, Pak. Tapi waktu kita tidak banyak. Asisten Bapak sendiri yang mengatakannya pada kami. Jadi, saya mohon Bapak untuk membaca draft yang saya berikan dan silakan bertanya jika menemukan sesuatu yang kurang jelas."

Dia terbahak. Ya Tuhan. Sejak tadi, kerjaan si Gandi ini cuma dua, senyum-senyum nggak jelas dan tertawa puas. Sepertinya otaknya perlu diassess. Ada yang tidak beres disana.

"Baiklah, cat woman," jawabnya jenaka.

Cat woman? Iyuh, gue geli dipanggil begitu.

Gue cuma duduk diam menunggu kampret sialan ini membaca keseluruhan pertanyaan. Feeling gue bilang sih dia nggak benar-benar baca apa yang ada di kertas itu. Karena dia kebanyakan ngelirik-lirik gue daripada ngelirik kertas tersebut.

"You look good today," dia mengedipkan sebelah mata pada gue, kemudian menggeleng. "No, you look georgeous, and..." gue menatapnya tajam, berusaha membunuhnya dengan pandangan gue, "sexy as I first saw you eight months ago."

Gue nggak tahan lagi. Gue pukul mejanya dengan kedua tangan gue. Gue lalu bangkit dari tempat duduk. Gue menatap dia intens. Keningnya berkerut melihat wajah gue yang berubah keruh.

Telunjuk gue menunjuk ujung hidungnya yang mancung. Wajah gue mungkin sudah semerah kepiting rebus karena menahan emosi sejak tadi. "Lo dengar baik-baik. Gue datang kesini, memenuhi kewajiban gue sebagai staf yang baik. Gue kira, dengan track record lo yang gemilang, lo bisa membedakan masalah pribadi dengan pekerjaan. Tapi ternyata gue salah."

Dia tak bersuara. Good. Karena gue akan menumpahkan seluruh emosi gue saat ini juga.

"Kalau lo tanya apa gue masih ingat lo? Gue jawab sekarang. Ya. Gue masih ingat. Gue bahkan ingat apa yang lo lakukan pada gue. Lo satu-satunya cowok yang berani melakukan itu. Dan, it was unforgivable. Kali ini, gue mempertaruhkan karier gue di media yang membiayai perkuliahan gue selama di Loughborough hanya karena laki-laki sialan kayak lo. Kalau lo masih punya sedikit kewarasan, just let the interview go well. Tapi, lagi-lagi, semuanya tergantung pada lo."

Gue manarik nafas dalam-dalam. Sudahlah. Good bye promosi. Jadi kacung Pak Vino dan Mbak Anya seumur hidup pun jadi lah.

"Sepuluh menit lagi interview kita dimulai. Gue tunggu di luar."

Tanpa menoleh pada wajahnya lagi, gue melangkah cepat meninggalkan ruangan tersebut.

Walaupun perasaan bersalah dan ketakutan kini mengisi hati gue-Demi Tuhan, gue pasti batal jadi produser-tapi gue lega. Sebenarnya itu masih belum cukup. Kepala gue baru bisa tenang kalau gue sudah nampar atau kalau bisa mencekik lehernya.

Demi menenangkan pikiran, gue mengirim wa ke Papa.

To : Papa
Pa, hari ini aku tiba-tiba ngehost. Doain, ya. Narasumbernya rada gesrek. Jangan telepon sekarang. Sebentar lagi udah mau take

Over The Moon (SUDAH TERBIT)Where stories live. Discover now