"Iya benar. Pindah sana lo! Nggak guna banget." Cewek berambut sebahu, teman dari si cewek berambut panjang ikutan menyahut. "Kampungan, cupu. Belaga jadi cewek nerd, padahal punya maksud tertentu." Dia menambahkan, menuduh Letta yang tidak-tidak. "Lihat aja tuh gayanya, biar dianggap baik sama guru." Cibirnya semakin tidak berperasaan.

"Sok kalem, biar disenangi Guru, kan, lo, cih."

Letta dianggap hina oleh mereka. Hanya karena dia bukan apa-apa di sekolah ini, tahta dan derajat membuat mereka bisa bersikap semaunya. Mengangap Letta seperti hama, sampah dan debu yang harus dibasmi.

"Heh cupu. Elo denger gue nggak?" dia semakin menjadi membully Letta, menendang meja, membuat Letta menjengkit dan mengangkat kepalanya. Saat itu si cewek berambut panjang menarik rambutnya. Seluruh isi kantin menjadi heboh. Sibuk menonton pembullyan itu dan tak ada yang berani membantu Letta.

"Lepas sakit---"

"Lo dengar baik-baik perkataan gue. Nggak usah so kalem lo, nggak usah sok cantik di depan Ka Langit. Dia nggak akan ngelirik cewek cupu kayak elo," katanya begitu kejam, seolah Letta hanyalah cewek jelek yang tak pantas untuk seorang kakak kelas yang bernama Langit itu.

"Sekali lagi gue lihat elo natap Kak Langit di depan gue, abis lo!" dia mengancam, menuding wajah Letta dengan jari telunjuknya. "Dasar gatel nggak sadar diri."

Mereka kembali menghina dan tergelak tanpa henti. Benar juga, Langit memang tak akan melirik gadis seperti dirinya. Disadarkan seperti itu membuat Letta semakin minder saja. Dia memang suka menatap Langit diam-diam dari kejauhan ketika pemuda itu sedang bermain basket. Merasa kagum pada kapten basket itu, atau malah Letta menyukainya.

Cowok tampan yang Letta kenal begitu populer di sekolah ini. Tak hanya sebagai kapten namun sebagai ketua osis juga. Bagi gadis-gadis remaja seperti Letta, mengagumi laki-laki dan menyukai seorang pria adalah hal yang wajar. Tapi jika keadaannya seperti ini, Letta jadi tak berani lagi menyukai Langit. Langit itu orang kaya tak sebanding dengannya. Benar kata cewek itu.

Letta bangkit dari duduknya dengan kepala menunduk, tak mau lagi mendengarkan kata-kata menyakitkan dari teman sekelasnya. Ia tidak peduli pada seragamnya yang basah, karena dia ingin cepat-cepat kembali ke kelasnya.

"Kemana lo cupu?" tapi belum Letta berjalan cewek itu kembali memakinya. Mengeluarkan kalimat bernada pedas. Letta tak mengindahkan, dia tetap berjalan melewati cewek itu, tapi cewek itu belum merasa puas. Dia melangkah ke arah Letta dan tanpa diduga si cewek menjegal kaki Letta. Sehingga Letta yang tidak melihatnya merasa terkejut.

"Arhhhh ..." Letta memejamkan matanya, sudah hampir terjeramah, namun tak juga menyentuh lantai saat tahu-tahu ada lengan yang menahan tubuhnya.

Mengerjapkan matanya, dan memberanikan diri untuk mendongakan, Letta berusaha menahan degup jantungnya. Ia merasa gugup, saat sadar siapa yang telah menolongnya. Ketika mendapati seorang pemuda yang sempat dibicarakan oleh mereka bola mata hazel secerah matahari itu membulat sempurna. Letta terkejut dan tidak percaya.

"K ... Kak Langit?" Letta tergagap, dia mengerjapkan matanya berkali-kali. Sekedar memastikan kalau yang dilihatnya tidaklah salah.

"Kamu nggak papa?" tanya pemuda itu lengkap dengan senyum manisnya. Dan menyadarkan Letta kalau dia memang tak salah lihat. Yah, itu Langit. Pria yang baru saja diperdebatkan oleh mereka.

Letta menggelang, ia tak sanggup mengeluarkan suaranya, karena terlalu gugup. Lalu tanpa diduga Langit dengan santai melepaskan jaket yang dipakainya. Letta tidak tahu untuk apa? Tapi ketika melihat Langit memakaikan jaket itu ketubuhnya barulah Letta paham kalau pria itu berusaha menutupi seragam putihnya yang basah.

"Tidak usah Ka!" Letta ingin melepaskan jaket Langit dari tubuhnya. Dia tak ingin cewek-cewek yang membullynya tadi, yang sudah pasti melihat keadaan ini, semakin membullynya. Tak ingin dianggap sebagai cewek gatel dan murahan karena menerima bantuan Langit.

Tapi pria itu justru malah menahan dirinya untuk tak melepaskan jaket itu. "Sudah nggak papa," katanya begitu lembut di telinga Letta. "Pakai saja! Baju lo basah," tambahnya, membuat cewek-cewek yang membully Letta mendengus. Dan semakin menatap penuh kebencian pada Letta. Letta spechless, diperlakukan seperti ini oleh orang yang disukainya, membuat gadis itu gugup dan jantungnya semakin berdegup.

Langit mengalihkan pandangannya pada cewek-cewek yang tadi membully Letta. "Apa kalian nggak punya hati, menindas orang yang lemah?" Tekan Langit tidak senang dengan sikap mereka. "Kalian lihat dia!" Langit menunjuk pada Letta.

"Apa yang sudah dilakukan dia sampai kalian begitu membencinya? Apa dia pernah mengganggu kalian sampai kalkan membully-nya habis-habisan?" kata Langit lagi sembari menatap tajam mereka satu persatu. Tak ada satu pun dari mereka yang menjawab. Mereka bungkam. Namun raut tak suka mereka lemparkan pada Langit yang besikap sok pahlawan.

"Kenapa diam, HAH?" Langit membentak. "Nggak bisa jawab, iya?"

Brakkk ...

Sang kapten basket yang merangkap sebagai ketua osis itu menggebrak meja kantin. Membuat para siswa dan siswi yang berada di sana berjengkit. Merasa terkejut dengan kemarahan Langit. "Kalau gue masih lihat kalian menindas dia lagi. Gue nggak akan tinggal diam." Langit memperingati. "Gue yang akan maju paling depan buat ngelawan kalian." Ancamnya pada mereka.

Sementara Letta hanya diam saja, tak berani bersuara apalagi mengangkat kepalanya. Gadis itu hanya menunduk sembari meremas kedua telapak tangannya. Seraya berlindung di balik tubuh tegap Langit.

"Kak Langit!" Clara, si cewek yang merasa dirinya keren, yang tadi membully Letta mulai memberanikan diri mendekati pemuda itu. Dia merasa jengah dan tak terima kalau kakak kelas yang juga disenanginya membela Letta.

"Ngapain sih Ka Langit belain si cupu itu?" Clara tak senang. Dia memprotes sikap baik Langit pada Letta. "Dia nggak pantes Kakak bela." Nada bicaranya terdengar merajuk. Berharap Langit memperhatikannya. Masuk dalam timnya untuk  membenci Letta. Kesombongan membuat cewek itu dengki.

"Dia cuma cewek miskin, cupu dan nggak pantes berada disekolah-"

"DIEM LO!" Langit memotong perkataan Clara yang menurutnya tak masuk akal. Membuat Clara terdiam dengan bentakan Langit. "Apa menurut elo sikap elo ke dia itu pantas?" Langit menekan kalimatnya, ingin menyadarkan kesalahan cewek itu.

Tapi Clara masih saja merasa tidak bersalah. Dia tetap membalas Langit dengan apa yang menurutnya benar. "Gue cuma mengatakan yang sebenarnya Ka Langit, Kakak harusnya sadar, kalau si cupu itu nggak sebanding dengan kita." Clara mengangkat dagunya, terlihat angkuh. "Dia nggak pantas Kakak bela, dia nggak pantas sekolah dan berteman dengan kita." Tambahnya tanpa mengurangi nada sombong di dalamnya. Merasa paling kaya di dunia. Padahal di atas langit masih ada langit.

"Cukup Clara!" Langit lagi-lagi membentak. "Elo bisa diem nggak! Elo ngerasa diri elo paling kaya tapi sikap elo rendahan!!" sentak Langit menunjuk wajah Clara dengan jari telunjuknya.

"Gue justru lebih baik berteman dengan orang seperti Letta dari pada harus punya teman kaya tapi hatinya rendahan kayak elo!" katanya yang terakhir kali sebelum menarik pergelangan tangan Letta.

"Ayo!" Lalu membawa Letta menjauhi kantin, meninggalkan Clara yang semakin berapi-api.

"Awas lo ya cupu."

a bad purpose (END)Where stories live. Discover now