Bagian - 7

9.1K 717 40
                                    

Hari-hari yang Hanna lewati jadi berbeda setelah kejadian di mana perjodohannya dengan Aryan batal, serta malam yang merenggut masa depannya oleh lelaki yang tidak dikenal. Sepanjang waktu, di setiap hari, Hanna mengurung diri di kamar. Bahkan untuk makan tiga kali sehari, dinikmatinya sendiri di ruangan tempatnya menghabiskan masa kecil yang suram. Semua seakan tidak peduli, dan tidak ada yang mencoba mengusiknya. Baik orang tuanya, maupun Vania dan Haris.
Hanna menghabiskan waktu dengan membaca tumpukan buku yang ada, serta menulis apa pun yang bisa membuat pikirannya tenang. Namun, ketika ia hanya berdiam diri tanpa melakukan apa pun, sekelebat bayangan manik mata hitam lelaki itu terus menghantui dan membuatnya resah.

Seperti sore itu, setelah satu bulan berlalu. Di balkon kamar, Hanna duduk di sebuah kursi sambil memandang lurus sang mentari yang semakin condong ke barat dengan sekelebat awan yang menghalangi indah cahayanya. Tangannya tiba-tiba terulur menyentuh perut, ketika menyadari sudah satu minggu tamu bulanannya tidak kunjung datang.

Hanna tersentak panik memikirkan kemungkinan yang bisa saja terjadi akibat kejadian malam itu. Di tengah kerisauannya, terdengar suara tangisan Hafiz melengking dari kamar sebelah. Tiba-tiba bayangan seorang bayi yang menangis membayang di depan mata. Semua itu berputar cepat layaknya kaset kusut mengacaukan pikirannya.

Berkali-kali Hanna mengusap wajah kasar, berusaha menenangkan diri. Lalu ia keluar dan membuka pintu kamar sebelah yang tidak terkunci. Seketika tubuhnya membeku melihat pemandangan di dalam sana. Tidak ada suara tangisan Hafiz yang melengking. Hanya terdengar celotehan bayi itu yang sibuk sendiri, sedangkan ibunya sedang mengaji. Rupanya, tadi Hanna hanya berhalusinasi.

“Hanna, ada apa?” Vania menghentikan aktivitasnya, lalu mendekati Hanna sambil menggendong Hafiz.

Hanna mengalihkan pandangan pada bayi yang hampir berusia empat bulan tersebut. Pikirannya semakin kacau tidak menentu. Bagaimana jika ia hamil tanpa suami, serta mampukah ia jadi orangtua tunggal, sementara seumur hidup ia tidak pernah merasakan ketulusan kasih sayang orangtua.

“Hanna?” Vania menyentuh pelan lengan Hanna yang melamun.

“Apa ... dia begitu merepotkan?” Hanna bertanya ragu tanpa memutus pandangan dari Hafiz.

Vania mengernyit heran, menatap bayinya dan Hanna bergantian. Lalu ia mencium pipi bayinya dan berkata ramah, “Tidak sama sekali. Sangat menyenangkan bisa memilikinya.” Karena Hanna tidak bereaksi apa pun, Vania kembali melanjutkan, “Bagaimana kalau kamu ikut kami ke desa?”

“Apa?” Hanna menyahut bingung.

Vania tersenyum, mengusap bahu Hanna. “Kamu ikut aku, Mas Haris, dan Hafiz ke desa tempat asal papaku. Sepertinya kamu butuh liburan, Hanna. Dan di sana itu tempatnya bagus, lho. Mau, ya?”

Hanna terdiam berpikir sambil meremas dress bagian perut untuk menghilangkan gugup. “Apakah itu ... jauh?”

“Lumayan. Satu jam dari sini ke pelabuhan, lalu menyeberang laut sekitar dua jam. Dan tiga jam perjalanan darat sampai desa.”

Hanna menghela napasnya. Ia masih saja ragu lalu kembali menatap Hafiz. “Bagaimana dengan papanya?”

“Kalau soal Mas Haris, kamu tidak usah khawatir. Yang penting kamu mau, ya?” Dengan senyum tulus Vania terus berusaha membujuk.

Dan akhirnya Hanna mengangguk mengiyakan.

◊◊◊


Setelah kembali dari kota sebulan lalu, Dimas menyibukkan diri dengan bekerja. Namun, bayangan malam panas dengan wanita asing itu selalu saja muncul saat ia sendiri. Dan hal itu sering membuatnya stress. Mencoba menghabiskan waktu dengan berenang di pagi dan sore pun nyatanya tidak mampu menenangkannya dari rasa bersalah.

“Bang ...” Lani datang menghampiri Dimas di ruangannya. Seorang gadis berusia 23 tahun, yang merupakan salah satu instruktur di PKBM.

“Hm?” sahut Dimas malas.

“Untuk acara besok. Apakah jadi?”

Dimas mengacak rambutnya seraya bersandar malas di kursi. Hampir saja ia lupa acara besok, yang kembali mengingatkannya pada wanita yang satu bulan ini tidak pernah terpikirkan olehnya. Vania akan datang bersama suami dan anaknya sore nanti, untuk menyalurkan bantuan kepada desa dari hasil penjualan rumah orangtuanya, yang telah diutarakan sejak minggu lalu melalui Bik Minah.

“Tentu saja jadi.”

Lani tersenyum. “Baiklah. Nanti saya sebarkan undangan kepada perangkat desa dan warga yang berkepentingan besok.”

“Ya.” Dimas memejamkan mata, tidak peduli pada Lani yang pamit meninggalkan ruangannya. Kepalanya mendadak sakit, memikirkan akan kembali bertemu Vania dan Haris.

Cinta di Batas Cakrawala [Sudah Terbit]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang