Usik Lebah Agar Dia Bersuara.

40.3K 2.3K 70
                                    

Setelah tiga hari dari kedatangan Alsha, gadis itu total tak pernah lagi menjenguk Davin. Sekarang Davin sudah kembali seperti semula. Walau sikapnya makin acuh dari yang sebelumnya. Dia kembali hanyut ke dalam kesunyian, kesunyian yang mengajarkan Davin bahwa sepi adalah kehidupan yang sesungguhnya. Kesunyian yang melekat erat dengan sikapnya.

“Jagoan! Manyun aja nih." Bian--Ayahya, menghempaskan tubuh besarnya di kaki ranjang. Mengganggu putra keduanya seperti biasa. Dia memiringkan tubuhnya, menyanggah kepala menggunakan satu tangan yang dia tekuk. Meniru gaya Davin saat serius membaca buku. Menautkan kedua alisnya, Bian meniru gaya Davin saat merasa kesal karena diganggu. "Kamu jelek juga ya kalau begini.”

Davin yang kesal karena selalu diganggu sejak kemarin pun menutup buku biologi yang sedang dibacanya keras. Dia mendengus menatap Bian keki. "Diam, Pah."

Bian tertawa memeluk bantal yang berada di atas perut anaknya itu. Dia tidak bisa membiarkan Davin terlarut dengan dunianya, bisa bahaya bagi kesehatan psikis anak itu. Setidaknya dengan diganggu terus Davin bisa berbicara normal. Anak itu mesti di usik area teritorialnya supaya sadar akan sekitar kalau tidak maka selamanya Davin takkan sadar.

“Pah, hari ini aku udah boleh pulang kan?"

Bian berhenti kemudian menatap Davin serius. "Kamu yakin udah enakkan?"

"Hm. Bosan di sini."

Bian mencebikkan bibirnya mengejek. “Ah, bilang aja rindu sama Alsha. Tiga hari gak diganggu dia kan?" mata Davin melotot protes tapi bibirnya tidak mengeluarkan apapun kesempatan itu dimanfaatkan Bian untuk meledeki Davin. Dia mengibaskan tangannya ke hadapan Davin. Masih dengan tampang konyolnya dia menggoda Davin. "Pas kamu tidur. Kamu suka ngigo bilang gini," Bian membaringkan tubuhnya kembali. Kini tangannya dia lipat ke belakang dijadikan bantalan untuk kepalanya, kemudian memejamkan mata. “Alsha... Oh, Alsha yang cantik... Aku merindukanmu, putriku dari negeri seberang...”

Rasanya Davin ingin marah sama Ayahnya yang terus-terusan meledeknya namun entah mengapa mendengar nada lebay di buat-buat dari suara bariton milik Ayahnya itu Davin malah tertawa kencang sampai perutnya sakit. "Pah, apaan sih? Geli banget!”

Bian membuka matanya kembali, dia menyengir kuda. Hatinya berdesir hangat melihat anak lelakinya itu yang biasa menampakan wajah datar kini sedang tertawa puas bersamanya. Karena kelakuan konyolnya. Rasanya Bian ingin sekali menghentikan waktu detik dimana dia bisa melihat serta mendengar suara tawa kebahagiaan dari bibir anaknya.

Kira-kira sudah berapa lama Davin tak tertawa? Davin menghentikan aksi tawanya ketika seseorang membuka pintu. Sesosok gadis berkuncir kuda muncul di balik pintu sambil membawa bingkisan buah. Gadis yang baru saja dibicarakan oleh dua orang ini.

Melihat Alsha datang, Bian segera bangkit dari posisi telentangnya. Dia dengan sigap mengambil alih bingkisan itu dari tangan Alsha. Alsha tersenyum hangat, menyalimi tangan Bian. "Malam, Om."

Bian balas tersenyum ramah. “Malam juga, cantik. Sendirian aja? Lea kemana?" Alsha bergeser sedikit dari pintu ketika Bian mengisyaratkannya untuk masuk ke dalam. Gadis itu dengan gugup melirik Davin dari ekor matanya. Davin mengambil bukunya dan kembali asik membaca buku biologi.

“Kak Leanya lagi nemenin Kak Nata di kafetaria rumah sakit, Om.” jawab Alsha malu-malu.

Bian menganggukkan kepalanya sambil lalu dari hadapan Alsha. Pria dewasa itu menaruh bingkisan buah di atas nakas samping sofa. Dia berdeham menatap Davin tajam. "Itu ada Alsha kok malah sibuk sendiri," tapi Davin menulikan telinganya. Dia menaikkan buku biologi hingga sebatas dada, semakin menenggelamkan dirinya pada kalimat-kalimat yang ada di dalam buku tersebut. Bian menggeleng gusar. Tak mengerti mengapa sikap putranya ini tak pernah bisa berubah. Dia terpaksa harus merampas buku itu dari genggaman Davin. Bian meletakkan buku itu di belakang tubuh tegapnya. “Hargai orang yang susah payah untuk peduli sama kamu, Davin. Papah gak pernah ngajarin kamu jadi anak gak tau terima kasih.”

Walau kesal Davin bungkam juga di tegur segitu kerasnya oleh Bian. Seumur hidup Davin Bian baru menegurnya sekeras itu ketika dia berumur sebelas tahun, itupun karena Davin tak sengaja menjatuhkan kue pemberian dari perempuan yang suka sama Davin. Lalu sekarang Ayahnya menegur hanya karena Davin cuek pada Alsha.

“Om gak apa-apa kok." ucap Alsha tulus.

Bian menghembuskan napas keras. Susah sekali berbicara pada anaknya ini. Davin benar-benar keras kepala dan tak terbantahkan. Kadang Bian sampai pusing sendiri menghadapi sikapnya yang keras begini. Saat dia ingin melayangkan protes lagi Davin segera menyibakkan selimutnya kemudian berjalan sambil menenteng tiang infusan.

“Gue hargain usaha lo yang udah mau repot-repot datang ke sini. Makasih." berbeda dengan apa yang di ucapkannya. Kedua bola mata Davin memancarkan ketegasan dan ancaman kalau Alsha tak hengkang juga dari ruang rawatnya sekarang.

ComeonlateTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang