Delusi Yang Tak Pernah Hilang.

51.9K 3.5K 95
                                    

Malam itu Davin sama sekali tidak bisa tertidur nyenyak. Pikirannya melayang mengingat kembali peristiwa tadi sore di sekolahnya, saat Alsha menyatakan bahwa dirinya jatuh cinta pada lelaki itu dan mau Davin menatapnya bukan menatap perempuan lain.

Seumur hidup Davin dia tidak pernah memusingkan persoalan ini sebelumnya bagi Davin perasaan suka tiap orang adalah urusan mereka dan hati mereka bukan urusannya sama sekali. Tapi untuk yang sekarang dia malah sibuk memikirkannya.

Davin membuang napas jengah dia membuka kelopak matanya kembali tidak bisa tertidur. Dia memandangi langit-langit kamarnya yang menggelap, terlihat membosankan bagi sebagian orang tapi untuknya begini adalah hal yang menyenangkan. Berada di ruangan gelap dan sunyi membuatnya tenang dan terhindar dari tatapan orang-orang yang selalu membuatnya jengah.

Beberapa kali dia mencoba untuk tertidur tapi pikirannya yang penuh tidak membuatnya nyaman dalam posisi bagaimana pun itu. Wajah Alsha dan suara pernyataannya tadi sore semakin membuat hati Davin gelisah. Dia teringat kata-kata Psikiaternya, kalau Davin harus mulai membuka hati sebab jika dia terus mengurung dirinya selamanya Davin takkan bias terlepas dari baying-bayang kesakitan masa lalu.

Sebetulnya kalau saja Davin bisa memilih dia pun enggan berada di posisi semenyakitkan ini. Menunggu seseorang yang tidak jelas keberadaannya siapa juga yang ingin seperti itu? Davin pun menolak namun hatinya tidak bisa menolak. Otak Davin mengerti bahwa dirinya mengalami trauma psikologis atas kecelakaan yang menimpanya. Dia sangat mengerti tapi hatinya yang terlanjur tergores luka tidak pernah mengerti itu.

"Davin!! Tolooongg! Sakiiit!"

Kerongkongannya bergerak kelu mendengar suara lirih itu menggema kembali di kamarnya yang gelap. Dia menoleh ke samping mencari asal suara itu lalu bangkit dari posisi tidurnya ketika yang dicarinya tidak terlihat, tangan Davin memencet tombol lampu tidurnya supaya menyala lalu matanya menangkap samar sesosok anak perempuan berpakaian hijau muda polos dengan topi jemari indah melengkapi atas kepalanya.

Sekali lagi Davin menelan ludah wajahnya yang pucat semakin pucat saat tangan kurus itu terjulur ke depan wajahnya, tangan yang dipenuhi luka juga darah. Davin meremas selimut hitam yang membalut tubuhnya kuat-kuat. Rasa sakit dihatinya kembali terbuka, memberikan efek super menyakitkan bagi tubuhnya.

"Daviiinnn! Aku gak bisa napas!!! Davin bantu akuuu!! Sakit sekaalliiii!!"

Pikiran Davin yang semula jernih kini meracau terikut masa lalunya. Dia merentangkan tangannya, mulai bergerak bebas seperti ingin menggapai sesuatu. Namun ketika Davin sekiranya sudah berhasil mencapai bayangan itu, perlahan bayangannya menjauh. Mengharuskan diri Davin melakukan pergerakan ekstra untuk mencapainya. Dia menendang selimut dikakinya dan meloncat turun dari ranjang menghampiri anak perempuan yang terus menjeritkan namanya.

Mata elang Davin bergerak liar memperhatikan sudut kamarnya yang gelap. Dia melihat bayangan itu lagi, kali ini anak perempuan itu berdiri di dekat meja belajar Davin. Memegang sebuah benda yang tak diketahui Davin apa itu tapi yang jelas anak itu seperti ingin memberikannya pada Davin.
Davin tidak bisa mengeluarkan suaranya sama sekali seakan ada beban yang sengaja ditaruh di dalam mulutnya supaya tidak terbuka mengeluarkan suara.

Tangan Davin yang bergetar terjulur bermaksud menerima benda itu. Kegetiran dalam senyumannya tidak bisa dia sembunyikan sama sekali, masih dengan keadaan yang sama keringat dingin bercucuran membasahi tubuhnya yang terbalut kaos biru tua.

Hatinya merasa nyeri dan dia bingung harus melampiaskannya lewat apa, maka melalui benda yang saat ini dipegangnya Davin pun mengeratkan genggamannya dan beberapa kali dia pun mengelusnya di pergelangan tangan perlahan-lahan.

Kini bayangan anak itu mulai berubah, bajunya yang hijau muda mulai bermunculan noda darah dan tanah dimana-mana, topi jemarinya dipenuhi oleh darah, Davin tidak dapat melihat wajahnya dengan jelas tapi dia yakin bahwa bibir pucat agak kebiruan itu adalah milik anak perempuan itu.

Napas Davin memburu kasar dia semakin menekan benda yang ada ditangannya itu, menyalurkan rasa sakit dihatinya yang perlahan sedikit menghilang. Ketika bayangan itu berniat mendekatinya Davin berteriak histeris.

Hentakan kaki menggema di luar lalu pintu kamar Davin terbuka kasar, lampu kamar Davin menyala sempurna. Seluruh anggota keluarganya membeku melihat genangan darah mengelilingi tubuh Davin yang lemas, sontak saja Caramel menjerit mengetahui kondisinya anaknya yang kembali kacau. Nathan bergegas mengambil cutter dari tangan Davin dia menahan Davin yang memberontak sambil bersikap waspada agar tak melukai Adiknya lebih lagi.

Bian segera menelepon ambulans. Hatinya cenat cenut tak keruan mendapatkan tubuh anaknya dalam keadaan penuh luka terutama dipergelangan tangannya. Belum lagi Davin yang terus menjerit meskipun Nathan sudah memeluknya, membisiki sesuatu supaya Davin tenang. Dia mengintruksikan Nathan untuk membebat luka Davin memakai kain dulu dan Lollypop untuk menenangkan Ibunya yang menangis histeris.

ComeonlateWhere stories live. Discover now