Terbiasa Menatap Punggung Tegapnya.

53.6K 3.7K 62
                                    

Alsha memilih untuk tidak bergabung bersama anak perempuan kelasnya di pinggir lapangan menonton para lelaki bertanding futsal sehabis olahraga. Dia meneguk air mineral kemasan seraya melirik-lirik sepanjang koridor yang sepi, dia berharap bisa bertemu Davin di sini. Kakinya menuntun Alsha menuju kelas lelaki itu berada sekadar lewat dan mengintip sebentar tidak ada salahnya.

Ketika dia berbelok kearah kanan, tubuhnya berjingkat kaget akan kemunculan sosok tinggi yang sedang membawa tumpukan buku tulis di tangannya. Wajah Davin yang tanpa ekspresi menyembul dari balik dinding, napas Alsha terhenti di tenggorokan.

Dia menyengir lebar saat Davin memandangi matanya intens, Alsha merapikan rambut pirangnya yang terkuncir menjadi satu itu lalu berniat membantu Davin membawakan buku tersebut namun belum apa-apa Davin kembali melanjutkan jalannya bikin Alsha secara spontan bergerak mundur menghadang jalan Davin.

“Hai!” sapanya semangat.

Davin mengerutkan kening tidak suka, dia sedang malas melihat wajah gadis itu saat ini apalagi sampai bertatap mata dengannya sebab tiap kali mereka bersinggungan ada desiran aneh yang Davin rasakan di dalam tubuhnya lalu memori otaknya seakan dipaksa untuk bekerja ekstra memikirkannya yang bahkan tak pernah terlintas sedetik pun bagi Davin untuk memikirkan gadis yang mengejarnya.

Didiamkan oleh Davin bukan berarti Alsha menyerah. Dia mengambil beberapa tumpukan buku itu membagi dua dengan Davin. “Aku bantu ya.” katanya semringah jalan duluan sebelum Davin mengambil balik buku-buku itu.

Davin menggelengkan kepalanya acuh, dia malas berdebat dengan Alsha meskipun dirinya tidak pernah berbicara hingga menciptakan perdebatan dengan gadis itu. Sepanjang jalan menuju ruang guru Davin asik saja pada dunianya sendiri, melihat banyaknya siswa berpakaian olahraga di pinggir lapangan dan beberapa siswa yang keluar dari kelas karena jam kosong, mereka menatap Alsha dan Davin secara terang-terangan. Tatapan kesal, iri dan kagum tercampur satu di penjuru koridor. Memperhatikan dua manusia perlawanan jenis dengan kharisma yang tinggi. Siapapun itu akan mengakui bahwa Alsha dan Davin terlihat sangat cocok bersama.

Di tempatnya Alsha tersenyum-senyum sendiri, dia mengintip Davin malu-malu dari ekor mata. Beginikah rasanya jatuh cinta pada pandangan pertama? Ternyata apa yang dikatakan Fanny waktu itu ada benarnya. Jika patah hati jangan terlalu lama mengunci diri karena kebahagiaan datangnya bukan dari yang lalu tapi dari yang depan, melepaskan pilihan paling terbaik daripada mempertahankan sebuah kesakitan yang akan berujung pada liang penyesalan. Jemari Alsha meremas punggung tangannya yang lain merasa gemas akan perasaan nyaman dihatinya itu.

Menyukai Davin adalah hal pertama baginya. Ini pertama untuk Alsha menyukai seorang lelaki dari sekali melihat. Biasanya dia akan butuh waktu sekitar sebulan atau dua bulan untuk menyukai lelaki bahkan seorang lelaki yang sudah dikenal lama olehnya pun belum tentu bisa memenangkan hatinya. Tapi berbeda dengan Davin lelaki tanpa ekspresi itu berhasil medetakkan jantungnya yang sudah lama terhenti.

“Kamu terbiasa gini ya?” suara Alsha yang lembut memecah kesunyian, dia tersenyum manis memandangi Davin dai samping. “Jarang ngomong gitu emang gak bikin kamu bosan?” tanyanya penasaran, dia memiringkan kepala ingin tahu bagaimana ekspresi Davin setelahnya tetapi lelaki itu tetap menampakkan wajah datarnya.

Alsha menghela napas panjang percuma saja kalau dia terus berbicara pasti Davin tidak akan mendengarkannya dan tidak akan menjawab. Maka dari itu Alsha memilih bungkam, membiarkan dirinya dan Davin sebatas bersisian bersama menuju arah yang sama; Ruang guru.

Sesaat Alsha mengerutkan keningnya bingung ketika Davin ternyata bukan mengarahkannya ke ruang guru. Lelaki itu mengetuk pintu sebuah kelas dengan papan gantung di atasnya bertuliskan kelas sepuluh tujuh kemudian seorang lelaki bertubuh pendek sebatas dada Davin muncul dari balik daun pintu.

Davin menyodorkan buku itu tegas. “Dari Pak Rahmat.” suaranya yang berat memberi aksen lugas saat berbicara.

Alsha menyembunyikan senyum kekagumannya mendengar suara Davin yang berat, tenang, tegas dan khas sekali Davin. Lelaki itu sekali berbicara akan terdengar seperti melantunkan sebait lullaby menenangkan pikiran. Walau berat Alsha menyukainya.

“Makasih, Kak.” ujar anak itu tersenyum sopan menerima buku dari tangan Davin dan Alsha yang dibalas anggukkan kepala Davin serta senyuman manis Alsha. Ketika Davin hendak beranjak anak itu melemparkan pertanyaan pada Davin. “Kak Davin, Kakak ketua ekskul musikkan? Aku mau tanya dong, Kak. Kalau mau masuk gimana caranya?” tanya anak itu penuh rasa sopan.

Davin berdeham sebentar sebelum menjawab. “Tunggu OSIS masuk kelas dan membagikan kartu ekskul pilihan.” jelasnya singkat dan padat, tanpa menunggu anak itu berbicara lagi Davin segera memutar tubuhnya dan mengambil langkah lebar menjauhi koridor anak kelas sepuluh.

Alsha menjawab perkataan anak itu saat mengucapkan terima kasih lalu berlari kecil menyamai langkahnya bersama Davin. Dia mendekatkan dirinya dengan Davin secara perlahan kemudian tersenyum kecil memandangi lekukan wajah tampan Davin dari samping.

“Jadi, nama kamu Davin?” tanya Alsha polos, sebetulnya dia sudah tahu tapi memang sengaja tidak menunjukkan kalau dirinya tahu.

Davin mengambil headset dari saku celananya mulai memilah lagu apa yang dapat mengademkan kepalanya yang saat ini mengepul karena kesal diikuti melulu sama Alsha, dia memasukkan colokkan headset ke lubang yang tersedia di atas pemukaan ponselnya. Dengan santai Davin menyumpalkan kedua telingannya dengan headset namun baru sedetik lagu itu mengaliri pendengarannya, headset Davin ditarik paksa oleh Alsha.

“Kamu bisa gak sih hargain orang yang lagi bicara sama kamu?” tanya Alsha serius, dia menggenggam erat headset Davin di telapak tangannya.

Mata Davin menajam, tinggi Alsha yang hanya sebatas dagunya itu mengharuskan dirinya sedikit menunduk. Dia mengambil pergelangan tangan Alsha menarik gadis itu hingga tersentak ujung sepatunya menabrak ujung sepatu Davin, Alsha menelan ludah kelu ditatap sedalam itu dari jarak sedekat itu dengan seorang lelaki yang baru dikenalnya kemarin.

Davin merebut paksa headsetnya dari genggaman tangan Alsha. “Kalau lo mau dihargain, hargai dulu orang yang lo ajak ngomong. Berminat atau enggak ngomong sama lo.” kecam Davin lugas.

Bukan seperti yang diharapkan Davin, Alsha malah tersenyum lebar menepuk-nepuk tangannya penuh kegirangan. Davin baru saja berbicara panjang dengannya, biasanya Davin tidak akan banyak bicara seperti ini.

“Wah, Alsha senang Davin mau ngomong sama Alsha!” seru Alsha tertawa membuat kerutan itu muncul di kening Davin. Lelaki itu mendengus mendorong bahu Alsha menjauhi dirinya.

Alsha berniat melanjutkan omongannya lagi tapi Davin terlanjut melangkah panjang kearah koridor yang berlawanan dengan tempatnya berada. Dia tak sempat mengejar Davin karena lelaki itu mengerahkan kakinya untuk berderap cepat.

Dari jauh saja Alsha sudah cukup memperhatikannya. Dia memandangi punggung tegap Davin yang bergerak tenang saat berjalan. Dia menyukai melihat bagaimana punggung itu semakin lama akan semakin mengecil karena jarak mereka yang jauh.

Davin, bukanlah lelaki sembarangan yang dengan mudahnya dapat didekati. Lelaki berwajah tampan dengan karakteristik yang unik itu sangat susah sekali didekati. Butuh perjuangan keras kalau memang ingin berada di sampingnya walau sebentar Alsha sangat senang bisa ada di sampingnya tadi.

Alsha tersenyum memutar tubuhnya kembali ke kelas untuk berganti pakaian. Perjuangan membutuhkan kekuatan yang besar supaya saat terjatuh dia mampu berdiri tegak kembali tanpa bantuan seseorang, perjuangan membutuhkan kesabaran hati dari sakitnya diabaikan dan diacuhkan supaya saat dia melakukannya hati ini sudah siap menerimanya, perjuangan membutuhkan pertahanan yang kokoh supaya dapat membentengi hati dari cepatnya berputus asa. Dan perjuangan tidak akan pernah terasa berat jika kita melakukannya dengan hati yang tulus. Bagi Alsha selama dirinya bisa melihat punggung Davin dari jauh itu tak mengapa, sebab dia tahu kedepannya punggung itulah yang takkan asing mampir dipenglihatannya.

ComeonlateTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang