2. Teman Baru

89 5 0
                                    


Lagu Shape of You milik Ed Sheraan memenuhi ruangan yang sejuk ber ac. Disetel dengan volume tinggi, Dinar merasa sedang berada di sebuah diskotik. Apa iya diskotik muter lagu-lagu beginian, bukannya house music? Ah, entahlah! Dinar belum pernah sekalipun pergi ke tempat dugem-dugem seperti itu.

"Mamamu nggak marah, kamu nyetel musik segini kenceng, Hans?" Dinar bertanya pad Hans, si pemilik kamar, teman sekampusnya, yang lagi asyik dengan gawainya, di sofa empuk berwarna merah, yang terletak di dekat jendela kaca.

"Yaelah, nggak ada yang denger, kali, kita mau teriak sekeras apapun! Kamar ane kedap suara, Bro! Tenang aja!"

"Wooo...mantap!" Dinar terlentang di spring bed empuk yang lengkap dengan bad cover bergambar MU. Matanya menatap seisi kamar Hans. Eternit yang mewah. Dindingnya bercat biru di salah satu bagian, tempat seperangkat meja belajar dan peralatan game yang komplit. Disebelahnya terdapat lemari pakaian yang tingginya mencapai langit-langit kamar. Pintu lemari yang full logo MU, mengkamuflase pemandangan, seolah lemari itu adalah bendera kebesaran tim sepak bola ternama yang dibentangkan.

Sebetulnya Dinar nggak seberapa dekat dengan Hans. Kebetulan tadi ketemu di warkop dekat kampus, saat Dinar nongkrong nyari wifi gratis, menghilangkan suntuk. Lalu, Hans mengajaknya main ke rumah. Okelah, Dinar setuju. Sejujurnya dia juga penasaran. Kata teman-teman, Hans anak orang kaya. Sekali-sekali main sama orang tajir sungguhan kan nggak masalah. Selama ini Dinar memang agak selektif memilih teman. Dia hanya akrab dengan anak-anak Senat Mahasiswa tempatnya berorganisasi, juga para dosen.

Dinar bangkit, kemudian duduk bersila di kasur super empuk itu.

"Ente sendiri yang desain nih kamar, Hans?"

"Bukan! Ane tinggal bilang pokoknya MU, tim desainer interior yang ngerjain."

"Rumah ente surga, Hans!" Katanya sambil meraih gitar yang terletak di dekatnya.

"Hahaha, haruslah! Coba tanya orangtua kita. Mereka mati-matian kerja buat siapa? Pasti buat anaknya, kan? Jadi wajarlah, kalo semua keinginan kita terwujud. Itu sudah kewajiban mereka kok!"

Dinar terdiam. Ingatannya malah sedang berjalan-jalan di kamarnya sendiri. Kamar yang jauh sekali dengan kamar Hans. Kamar yang hanya berisi kasur busa tipis tanpa dipan, kipas angin, meja dan lemari sederhana berbahan kayu palet.

"Ente udah maksi? Kita makan di luar, yuk! Ane traktir deh! Ane tahu ente kagak punya duit!" Hans menyeringai, membuyarkan lamunannya. Dinar tersenyum kecut. Sial betul hidupnya.

Mereka pergi dengan mobil Hans.

"Ente kudu belajar nyetir, Bro! Biar naik gengsi ente di depan cewek-cewek!" Honda jazz keluaran terbaru yang dikemudikan Hans membelah jalan raya, meninggalkan rumah yang mirip istana.

"Percuma, ane kagak punya mobil. Kagak tau deh, kenapa ortu ane kagak mau beli. Padahal, mereka pasti mampu kalau mau. Jangankan, mobil. Ane minta ganti motor aja kagak digubris!"

"Hahaha, miris banget sih, hidup ente! Kapan-kapan deh, ane ajarin nyetir!"

"Hohoho! Tengkyu, Hans! Ane nyesel kagak dari dulu akrab sama ente."

"Tapi, ada imbalannya, Bro."

"Apaan?"

"Ente mesti ngerjain tugas kuliah ane."

"Itu mah kecil, beres dah!"

Mereka tiba di resto cepat saji ternama. Resto tempat nongkrong anak muda jaman now.

Dinar agak menyurutkan langkah. Diamatinya Hans yang sedang menghampiri sebuah meja di pojok ruangan. Di sana sudah ada beberapa remaja sebaya. Penampilan mereka keren-keren, sama seperti Hans. Semua barang yang dipakai, dari ujung kepala sampai ujung kaki, branded semua.

Dinar berhenti, matanya menelusuri penampilannya sendiri. Apa yang dia pakai? Kaos oblong lama meski masih bersih, celana jeans yang mulai pudar warnanya, dan sepatu kw yang dia beli online setelah uang sakunya terkumpul. Jauh, sangat jauh dari penampilan Hans dan teman-temannya.

Mendadak Dinar merasa sangat minder. Di kampus dia memang disegani, dosen-dosen pun suka padanya karena otaknya yang encer.

Tapi di sini? Nggak penting otak encer atau bebal. Yang penting penampilan menunjang, pasti banyak teman.

"Hey, Bro! Dinar! Ngapain bengong di situ?" Hans melambaikan tangan, mengajaknya bergabung.

Apa salahnya mengenal dunia baru? Hidup cuma sekali, rugi kalau nggak bisa menikmati.

Dinar menepis semua rasa minder di dadanya. Perlahan dia melangkah menghampiri Hans dan teman-teman tajirnya.

Sore itu Dinar betul-betul merasa senang. Bermacam menu terhidang bebas disantap, tanpa perlu berhitung, uangnya cukup atau tidak untuk membayar.

Sambil menikmati satu pan besar pizza bertoping keju mozarella, Dinar mengamati teman-teman barunya. Ketimpangan dunia yang nyata. Dia bertekad akan meminta orangtuanya untuk memenuhi kewajiban mereka ; membahagiakan anak-anaknya.

****

Assalamu'alaikum...
Sejujurnya saya memang sedang belajar menulis. Belum terkonsep dengan rapi. Tapi tetap saya publish, dengan harapan teman-teman sudi memberi masukan.

Selamat membaca, sebuah kisah yang entah bagaimana akhirnya...😁

Remaja Zaman NowWhere stories live. Discover now