2. mata

2 1 0
                                    

Bell pulang sudah berbunyi sejak dua jam yang lalu. Namun masih ada saja siswa maupun siswi yang berada di sekolah. Sebagian beralasan kumpul organisasi, sebagian lagi ekskul, sebagian lagi ada yang mengerjakan tugas, bahkan ada yang berada di sekolah hanya untuk pacaran saja.

Seperti kelas XI IPS 2, kelompok Luna sedang mengerjakan tugas elektronika yang harus dikumpulkan minggu depan. Mareka berencana untuk mengerjakannya sepulang sekolah.

"Lun, lo pulang sama siapa?" Tanya Aldi sambil membereskan peralatannya.

"Dijemput abang Al"

"Oh yaudah, gue duluan ya," ucap Aldi sambil berjalan keluar kelas.

"Aish itu anak. Luna aja ditanya, nah gue? Di anggurin," gerutu Andin kesal.

Reza yang masih bisa mendengar Andin menertawainya, "hahaha, isi dulu tuh badan, baru lo minta diantar. Badan cungkring gitu, mana mau Aldi ngantar lo."

Andin tidak membalas perkataan Reza, ia pergi begitu saja dari kelas.

Pemandangan Reza mengganggu Andin bukan sesuatu yang baru. Biasanya saat Reza mengganggu Andin, gadis itu akan membalasnya. Bahkan terkadang mereka sampai kejar-kejaran seperti kucing dan tikus.

Luna melambaikan tangan dan beranjak meninggalkan kelas, "gue duluan ya, bye."

Luna berjalan santai sambil melihat-lihat ke sekelilingnya. Masih cukup banyak siswa yang berada di sekolah. Sesaat matanya tak sengaja melihat seseorang yang sangat dikenalinya sedang memantulkan benda bulat berwarna orange, tapi mata orang itu terus memandang kearah Luna.

Luna yang sadar langsung buru-buru mengalihkan pandangannya dan berjalan cepat, bahkan sedikit berlari.

Cukup bagi Luna untuk dia merasakan sakit karena cinta. Luna tidak ingin lagi menangis hanya karena seorang laki-laki. Sejak kejadian Luna putus dua tahun lalu, ia jadi sangat menjaga jarak dengan yang namanya kaum laki-laki. Luna tidak ingin memiliki perasaan sayang untuk kaum itu. Hanya Aldi dan abangnya Rafa laki-laki yang dekat dengan Luna. Dan bagi Luna hubungannya dengan Aldi itu berbeda.

Aldi itu tetangga Luna, dan sudah menjadi temannya sejak kecil. Bahkan mereka memutuskan untuk bersahabat dan berjanji agar tidak memiliki perasaan yang lebih dari seorang sahabat. Sedangkan pria yang memutuskannya dua tahun lalu dianggapnya berbeda. Luna sayang pada pria itu sebagai kekasih. Tapi rasa sayang yang ia berikan tidak cukup untuk membuat pria itu mengerti arti rasa sayang yang sesungguhnya.

Luna bosan, benar-benar bosan. Sudah cukup lama baginya menunggu Rafa untuk menjemputnya. Tidak ada yang bisa Luna lakukan selain duduk dan menunggu.

Luna tidak seperti kebanyakan siswi SMA yang suka bergulat dengan hp dan membuka sosial media, atau bahkan membaca novel. Luna lebih senang berdiam diri, mungkin jika ada yang ia sukai yaitu makan atau menonton film.

Luna mengedarkan pandangannya, tidak ada tanda-tanda Rafa akan datang. Luna mendengus, kemudian mengeluarkan benda pipih dari saku rok sekolahnya. Namun Luna juga tidak menemukan yang di harapkannya.

Luna menatap lurus kebawah sambil menunduk. Hingga ada seseorang yang duduk disebelahnya.

"Lo nga-ngapin?" Tanya Luna gugup dan sedikit menjauhkan kebelakang menghindari orang tersebut.

Pria itu menatap Luna dan sedikit tersenyum, "Duduk lah." 

Luna yang merasa risih dengan kehadiran seseorang di dekatnya berdiri dan berjalan menjauh dari halte.

Baru beberapa langkah Luna meninggalkan halte itu, seorang menahan tangannya dari belakang. Luna refleks berbalik dan menepis tangan yang mencekalnya itu.

"Gak usah sok akrab. Gue gak kenal sama lo."

"Gue anak SMA Darmabakti," ucap pria itu santai.

Tanpa pria itu ucapkan, Luna juga tahu kalau pria itu siswa Darmabakti. Jelas terlihat dari seragam basket yang dikenakannya.

Luna memutar bola matanya, ia tidak nyaman berbicara dengan orang dihadapannya itu.

Pria itu justru tertawa melihat ekspresi Luna. Tawa pria itu terdengar aneh dan mengganggu di telinga Luna. Luna merasa sedang tidak melawak, dan pria itu malah tertawa tanpa sebab.

"Lo lucu ya," pria itu mengacak-acak rambut Luna, namun langsung ditepis oleh Luna.

Pria itu kembali tertawa dan menatap Luna jahil, "jangan galak-galak. Nanti lo makin cantik. Gemes gue ngelihatnya"

Luna melihat mobil Rafa berhenti. Dengan cepat Luna berlari meninggalkan pria aneh itu. Ia tidak kenal dengan pria itu, dan bahkan tidak suka dengan tingkah pria aneh itu.

Di dalam mobil Luna menggerutu dan terus memarahi Rafa. Bahkan sesekali Luna mumekul lengan Rafa yang sedang memegang setir kemudi.

"Abang kok lama jemputnya? Luna udah lama nungguin abang, tapi abang gak juga nongol. Belum lagi tadi itu Luna nungguin sendirian. Abang bisa lihat kalau sekolah udah sepi ya-kan?" Ucap Luna sambil memukul lengan Rafa kesal.

"Iya maaf, lain kali gak telat lagi. Udah ya marahnya, tangan abang juga jangan dipukuli terus, nanti biru. Kamu mau di omeli sama kaka ipar," ucap Rafa sambil terus menatap lurus ke depan memperhatikan jalan.

Luna diam saja, ia sedang bergulat dengan pikirannya. Tidak bisa Luna melupakan sorot mata itu. Sorot mata yang selalu ia hindari. Luna tidak ingin terlibat dengan asmara masa SMA. Ia tidak suka dengan tatapan seorang pria yang berisi makna untuknya.

Karena banyak yang bilang, dari mata turun ke hati. Artinya dari tatapan mata bisa membuat seseorang jatuh cinta. Luna sendiri sedang menghindari itu.

Luna masih ingat saat seorang remaja SMP menyatakan perasaannya pada Luna dengan menatap lekat ke manik matanya . Mata pria itu menggambarkan rasa teduh dan ingin melindungi. Namun bukan itu yang Luna terima, ia justru merasa sakit karena mempercayai tatapan itu.

"Hei, melamun aja. Ayo turun udah sampai," tegur Rafa.

"Abang gak mau masuk? Bunda pasti lagi masak." Ucap Luna sambil menatap Rafa.

"Enggak bisa nih. Abang sudah janji sama kakak iparmu buat ajak dia diner di luar," ucap Rafa sambil nyengir.

"Yaudah, have fun ya bang. Luna masuk dulu." Teriak Luna sambil berjalan masuk kerumah.

Benar saja, sampai di dapur Luna sedang melihat bundanya sedang memasak. Bunda memang selalu memasak sendiri untuk makanan mereka. Kata Bunda rasanya lebih enak kalau dibuat sendiri.

"Sore Bunda sayang. Anak bunda pulang."

Luna berjalan menghampiri Bisa, lalu memeluknya. Nisa hanya bisa tersenyum melihat kelakuan Luna yang terkesan manja.

"Udah sana bersih-bersih!"

"Oh iya Lun, tadi ada kiriman buat kamu. Bunda kerajinan di tempat tidur mu," ucap bunda lembut, sambil terus melanjutkan pekerjaannya.

"Kiriman apa Bun?"

"Lihat saja di kamar mu,"

Dengan rasa penasaran Luna berjalan ke kamarnya. Dalam pikirannya terus berputar pertanyaan yang dirinya sendiri tidak bisa menjawab.

Di kamarnya Luna melihat sebuah kotak berwarna pink tergeletak di tempat tidurnya.

****

Makasih buat yang mau meluangkan waktunya untuk membaca ceritaku ini. Maaf kalau ada beberapa kesalahan.

Jangan lupa voute dan komennya. Aku butuh saran dan kritik dari kalian.

Sekali lagi terima kasih.

Salam hangat,
Pralira 🌻

You've reached the end of published parts.

⏰ Last updated: Jul 01, 2018 ⏰

Add this story to your Library to get notified about new parts!

My ExWhere stories live. Discover now