1. pagi (menyebalkan)?

2 1 0
                                    

"Pagi Bun," sapa Luna sambil duduk untuk sarapan.

"Loh, ada kak Intan?" Ucap Luna saat melihat Intan duduk di meja makan bersama mereka.

"Iya, kakak tadi mampir buat ambil barang yang ketinggalan kemarin." Jawab Intan santai.

Suasana hening sampai Intan menyelesaikan sarapannya dan menatap tajam kearah Luna.

Luna yang  sadar ditatap oleh Intan menghentikan sarapannya. Pasalnya ia merasa seperti ada keanehan dari tatapan itu.

"Kenapa? Ada yang salah sama aku?" Tanya Luna bingung.

"Kakak cuman mau ingatin kamu aja. Jangan terlalu sering main. Ingat kamu itu udah kelas XI, bentar lagi uadah kelas Xll."

"Iya, Luna tahu kok kak. Kak Intan gak usah kahwatir, Luna udah gedek."  Ucap Luna santai sambil meneruskan sarapannya.

"Lun, kamu baru enam belas tahun. Jadi gak usah bertingkah aneh-aneh. Awas aja kalau kamu sampai gak menang PTN! Jangan bisanya bikin Bunda repot aja kamu!"

Terdengar keseriusan dari setiap kata yang di tuturkan Intan. Bukannya Intan tak menyukai adiknya bermain seperti anak seusia Luna. Sebagai anak paling tua Intan merasa bertanggung jawab dalam mengurus Luna. Ia cukup mengerti dengan keadaan Nisa Bunda mereka yang sudah tidak muda lagi. Ditambah sejak kepergian sang ayah, Bunda mereka jadi sering sakit.

Sedangkan Luna adiknya yang paling kecil. Tinggal Luna saja yang masih bersekolah, sedang Intan dan Rafa sudah bekerja dan memiliki keluarga sendiri. Intan juga tahu Luna anak yang manja. Maka dari itu ia bertindak tegas agar Luna berfikir lebih dewasa.

"Intan, jangan gitu sama Luna. Luna masih SMA, biarkan saja dia menikmati masa remajanya. Yang penting sekolah gak tertinggal." Ucap Nisa lembut.

"Yaudah. Bun, kak, Luna berangkat dulu ya." Pamit Luna sambil menyalim sang Bunda dan kakaknya.

****

Luna berjalan menyusuri koridor IPS dengan santai. Sekolah masih sepi, jelas terlihat masih sedikit siswa siswi yang berlalu lalang di koridor.

Bagi Luna, keramaian itu menyesakkan. Luna lebih suka dengan keadaan yang sepi dan tenang.

"Pagi kak. Kak Luna ya?"

Luna memperhatikan siswi dihadapannya itu. Luna menatap datar siswi itu.

Karna tahu bahwa Luna tidak mengenalnya, siswi itu mengulurkan tangan dan memperkenalkan diri. "Aku Mawar kak, calon tunangannya kak Kafka."

Mendengar nama Kafka disebut, Luna menjadi kesal. Belum lagi tadi siswi bernama Mawar itu menyebut bahwa dirinya tunangan Kafka, yang semakin menyulut amarah Luna.

"Maksud lo apa ngomong gitu?"

"Wow, santai kak. Gue cuman mau memperkenalkan diri aja kok." Ucap Mawar santai, namun terdengar menyebalkan di telinga Luna.

"Gue gak perduli lo siapa!"

Setelah mengatakan  kalimat yang begitu dingin, Luna meninggalkan Mawar sambil berjalan cepat ke kelasnya, kelas Xl IPS 2.

Luna melempar tasnya kemeja. Aksinya itu membuat Lisa teman semeja Luna berjingkat kaget.

"Astaga..untung gue gak punya riwayat penyakit jantung. Kalau enggak, udah mati gue."

Luna duduk di kursinya, ia behkan tak menggubris kata-kata dramatis yang dikeluarkan Lisa.

"Lun, lo dengar gue gak?"

"Luna"

"Luna Epiphania, lo dengar gue ngomong gak sih?" Lisa yang kelewat kesal menjerit di samping Luna.

"Iya, gue dengar."

"Gue kira lo budek. Lagian lo masih pagi kelakuannya kayak orang kesurupan. Kenapa lo? Ada yang ganggu?"

Beberapa saat Lisa memperhatikan Luna dari samping. Lalu kemudian ia memicingkan matanya, terlihat berfikir, namun terlihat konyol.

"Atau loh itu bukan Luna ya? Hei makhluk jahat yang ada di tubuh sahabat gue, buruan keluar! Kalau enggak gue sembur lo! Ayo keluar!" Lisa mengguncang tubuh Luna dengan kedua tangannya.

Setelah cukup lelah Lisa menghentikan aksi konyolnya, "Lun, setannya udah keluar belum?"

Luna yang ditanya hanya melihat datar kepada Lisa. Ia sangat kesal, dan semakin kesal dengan tingkah Lisa padanya yang kelewat dramatis.

Luna berdiri dan berjalan kearah pintu, "gue mau ke kantin."

"Ehhh, si bocah. Tungguin elah"

Lisa tidak banyak bicara. Ia hanya berjalan disamping Luna sambil sesekali menatap Luna penuh selidik. Bahkan sampai mereka sudah duduk, Lisa terus saja memperhatikan Luna.

"Kenapa lo?" Luna memberhentikan tegukannya pada botol minum ditanganya. Lalu melihat sekilas kearah sahabatnya itu.

"Bunda gak masak?"

Luna yang ditanya pertanyaan seperti itu jadi bingung dan menautkan alisnya.

"Ya aneh aja gitu. Seorang Luna Epiphania yang sejak dua tahun lalu menghindari tempat ramai, tiba-tiba pagi ini datang ke kantin yang sudah pasti selalu ramai. Why? Apakah dirinya sedang sakit? Atau jangan-jangan lo bukan Luna ya?"

"Hahaha"

Lisa yang melihat Luna menertawai dirinya menjadi kesal dengan respon sahabatnya itu. "Kok lo malah ketawak sih?"

"Enggak, lucu aja gitu. Lo itu dramatis bangat, ngakak gue lihat lo," ucap Luna sambil menahan tawanya.

"Ihhh Luna mah gitu. Gue serius juga," ucap Lisa sambil memanyunkan bibirnya.

"Yailah, jangan ngambek dong Lis. Tapi jujur gue berterima kasih bangat sama lo. Karna lo udah balikin mood gue yang udah sempat hancur."

Lisa tetap saja kesal pada Luna. Ia bahkan mengacuhkan Luna.

"Istirahat gue traktir makan."

"Beneran? Awas aja kalau lo bohong ya. Kali lo bohong, gue  gak mau lagi kasih contekan."

Lisa tersenyum sambil melompat kegirangan lalu memeluk Luna.

Pemandangan itu tidak luput dari seorang yang sedang duduk bersama teman-temannya. Beberapa detik Luna menatap mata orang itu, namun kemudian ia mengalihkan perhatiannya kearah lain.

"Udah mau lonceng, gue ke kelas duluan ya." Ucap Luna datar, kemudian dengan langkah panjang ia meninggalkan kantin.

Lisa mengerti apa yang terjadi pada Luna tanpa harus bertanya. Ia melihat bagaimana tatapan mereka bertemu. Lisa juga tahu apa yang dirasakan Luna tanpa harus bertanya pada Luna.

Baginya bukan hal yang penting Luna menceritakan segalanya padanya. Yang terpenting bagaimana ia bisa mengerti tentang keadaan sahabatnya itu.

****

Makasih buat yang sudah luangin waktunya baca cerita aku yang rada ngaur ini. Tapi jangan lupa ya voute dan komen. Aku berharap kalian bisa bantu aku sang penulis absurd ini agar bisa lebih baik lagi.

Salam hangat,
Pralira🌻











My ExOù les histoires vivent. Découvrez maintenant