14. Misi Mulia

32 4 1
                                    


"Bu, mau saya belikan makan malam?"

Aku mendongak, Mul berdiri tidak nyaman di depanku, seolah aku adalah sejenis predator yang akan melahapnya sekali telan sebentar lagi.

"Kamu sudah makan?"

"Su-sudah tadi, Bu, waktu maghrib." Kentara sekali Mul tidak menyangka aku akan bertanya seperti itu. Membuatku bisa menebak, manusia seperti apa aku di mata seorang Mulyadi. Dan di detik yang sama membuatku sedih. Tidakkah Mul berpikir aku pun adalah manusia biasa yang bisa memiliki kepedulian padanya?

"Ya sudah, belikan saya nasi padang, sama rendang dan peyek udang. Kamu juga sekalian beli, pasti udah lapar lagi kan?" kataku seraya mengangsurkan uang. Mul menerimanya dengan gugup, dan segera menyingkir dari ruanganku setelah mengucapkan terima kasih berkali-kali.

Mungkin aku harus lebih ramah. S-e-d-i-k-i-t lebih ramah. Setidaknya, tidak membuat orang-orang menganggapku kepala perompak atau pembunuh berantai berdarah dingin yang sanggup mengunyah telinga manusia seperti Hannibal Lecter si kanibal. Ish, pikiranku mulai gila.

Aku menatap jarum jam tanganku baik-baik, seolah jika kutatap beberapa saat, jarumnya akan berubah, bukan menunjukkan pukul 9 malam seperti yang sedang kulihat. Eva mungkin benar, kantor ini telah mengutukku, kutukan yang membuatku lupa waktu dan –entah bagaimana—betah sekali bekerja. Tapi mau bagaimana lagi? Pekerjaanku memang banyak, dan mustahil bisa diselesaikan dalam 8 jam sehari seperti kebanyakan karyawan. Mungkin seharusnya aku mengajukan complain, tapi aku memang tidak suka mengeluh. Take it or leave it sajalah, kalau aku sudah tidak suka bekerja di sini, berhenti saja toh?

Kantor lengang. Beberapa lampu utama sudah dimatikan, seperti seharusnya. Aku mulai merutuki kebijakanku sendiri untuk menghemat listrik jika sebagian besar karyawan sudah pulang. Kalau remang begini kan aku jadi malas pergi ke pantri, ck!

Menunggu Mul hanya untuk menyuruhnya mengambilkanku minum rasanya terlalu berlebihan, maka meski enggan bukan main, aku beranjak ke pantri. Dan ternyata ruangan Jun masih menyala terang, membuatku kembali teringat rumpian Mita pagi tadi, yang sempat terlupakan karena kesibukan hari ini. Apakah malam ini pun dia akan menginap di kantor? Hmmm.

Bimbang, aku berdiri di depan pintu ruangan Jun beberapa saat. Meraih gagang pintu untuk kemudian melepaskannya lagi. Melanjutkan langkahku ke pantri tapi berakhir dengan balik lagi ke depan pintu ruangannya. Blah! Sejak kapan sih seorang Almira Hassan cemen begini?

"Masuk," seru Jun malas setelah aku mengetuk pintu.

"Oh, ternyata kamu memang masih di dalam," kataku pura-pura terkejut.

"I see, itulah kenapa kamu mengetuk pintu segala." Aku hanya mengangkat sedikit ujung bibirku, kecuali ke ruangan Pak Baroto, aku tidak merasa harus mengetuk pintu dulu saat memasuki ruangan siapa pun. Apalagi cuma sekadar ruangan Arjuna.

"Sorry kalo ganggu. Cuma ngecek kenapa ruangan ini masih terang," bohongku lagi. Dan berpura-pura akan menutup pintu kembali.

"Masuklah, Ra." Ha ha! Lelaki ini mudah sekali ditebak.

"Ada yang bisa kubantu? Lusa anak-anak baru itu udah masuk kok, jadi mudah-mudahan kamu tidak perlu kerja sampai larut begini."

Arjuna menggelengkan kepala. "Bukan soal itu, aku ...." Kalimatnya masih menggantung saat aku duduk.

Dan dari jarak sedekat ini, aku baru bisa mengamati Jun lebih saksama. Kemejanya kusut, jangan tanyakan dasi yang sepertinya memang tak pernah lagi dipakainya, rambutnya bahkan terlihat acak-acakan, kumis dan jambangnya jelas belum dicukur beberapa hari. Melihat kondisinya yang semacam demikian, Arjuna tidak lagi terlihat sebagai seorang lelaki fashionista seperti yang sering digembar-gemborkan Mita dan Jun's fans club. Walaupun harus kuakui, Jun ternyata memang bertampang lumayan tampan kalau dilihat baik-baik, ha ha.

Tapi yang cukup menggangguku adalah matanya yang memerah. Benar, mata itu terlihat lebih cekung pertanda kurang sekali tidur sejak terakhir kali aku masuk ruangan ini beberapa minggu lalu. Dan aku tahu betul, mata merah yang dimilikinya sekarang adalah karena dia baru saja menangis. Benar kawan, lelaki pun bisa saja menangis.

Aku memilih menunggu. Menunggu Jun meneruskan kalimatnya yang menggantung tadi, atau menggantinya dengan kalimat lain yang entah apa. Tapi ternyata tidak, dia membiarkan detik-detik berlarian di sekeliling kami dalam sunyi. Aku yang harus mengambil langkah.

"Kudengar kamu menginap di kantor weekend kemarin?"

"Hah?" Arjuna mendongak, menatapku lurus dengan keterkejutan yang tidak bisa disembunyikan. "Ba-bagaimana kamu tahu, Ra?"

"Dinding punya telinga," ujarku datar. "Tadinya aku tidak memercayainya, tapi ternyata itu benar?" tanyaku diplomatis. Rasanya tidak bijak membuat Jun merasa bersalah hanya karena menginap di kantor.

Jun menunduk, memainkan pulpen di tangan kanannya, lantas kembali memandangku selama beberapa saat.

"Aku tahu, seharusnya aku memberitahumu kalau aku menginap."

"It's okay, bagaimana pun kamu adalah keponakan Pak Baroto."

"Please jangan sinis begitu, Ra."

Aku terdiam. Kalimat tadi –buatku—tidaklah termasuk dalam kalimat sinis. Tapi sepertinya lelaki di depanku ini sedang mengalami ... semacam PMS bagi kaum perempuan. Sensitif. Maka mungkin sebaiknya aku yang mengalah, dan membiarkannya saja sekali ini.

"Kantor ini, dan termasuk kamu di dalamnya, adalah tanggung jawabku. Aku hanya ...."

"Ya, aku tahu. Sorry kalau aku ...."

Jeda yang canggung episode berikutnya.

Aku menghela napas diam-diam. Perbincangan yang lumayan 'hangat' ini akan menjadi panas kalau kami berdua tidak sama-sama menahan diri. Sebelumnya, Arjuna yang akan dengan rela hati (atau sebenarnya dia terpaksa, aku saja yang tidak menyadarinya) yang meninggalkan 'medan perang' kami, tapi kali ini sepertinya dia tidak lagi punya energi untuk itu.

Lantas aku teringat misi muliaku saat melihat ketakutan Mulyadi tadi, bahwa aku bisa menjadi perempuan yang sedikit manis, manusia yang punya sedikit rasa peduli, makhluk yang tidak hanya judes bin jutek yang selalu bikin jiper.

"Ada yang bisa aku ... bantu?" tanyaku akhirnya, ragu. Ragu pada keputusanku sendiri menawarkan bantuan padanya. Memangnya siapa dia sehingga perlu aku bantu segala? Lagipula bantuan macam apa yang bisa aku berikan? Misi muliaku mungkin seharusnya tidak di-uji coba-kan pada seorang Arjuna Bastian.

Ah, Almira Hassan, kamu gegabah! Rutukku dalam hati. Tapi sudah terlambat.

"Entahlah, Ra, aku ...."

Kalimatnya menggantung lagi. Tapi kali ini Arjuna meraih gelas berisi air putih yang hanya tinggal sepertiganya, lantas meminumnya hingga kandas. Membuatku mendeguk ludah, teringat tujuan awalku pergi ke pantri adalah karena merasa haus.

"Sulit mengatakannya."

"Biasanya akan membuatmu lega setelah ganjalan itu dikeluarkan." Ish, bijak sekali kamu Al! rutukku dalam hati.

Jun menatapku sekilas, menghela napas panjang sebelum akhirnya berkata, "Istriku ingin kami bercerai, Ra."

Oh?!

Sepertinya aku harus melupakan rasa hausku.

MaybeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang