10. Gara-gara Arjuna

31 4 0
                                    

"Hah? Serius lo?"

"Ngapain juga gue bohong sih, Va?"

"Dia bilang lo cantik, Al?"

"Iyaaaa. Unbelievable banget kan? Ya terlepas dari kenyataan kalo gue emang cantik ya."

Eva hanya mencibir. "Aneh juga sih."

"Okelah, dia nggak maksud ngerayu gue atau apa, tapi kan ya tetep aja. It's not appropriate."

Eva mengangguk-angguk setuju. "Kebayang nggak sih lo, kalo si Mita, atau siapalah itu yang lo cerita kapan hari anggota Jun's fans club yang digituin sama itu cowok, bakalan klepek-klepek kayak apa dibilang cantik."

Sekarang aku yang mengangguk-angguk setuju, membayangkan bagaimana Mita atau genk-nya pasti bersuka cita saat Jun mengatakan sepotong kalimat berbunyi 'kamu terlihat cantik' pada mereka.

Meskipun belum pernah satu kali pun Eva bertemu dengan Arjuna atau teman-teman kantorku yang lain, tapi intensitas sesi curhat-curhatan kami yang hampir setiap hari, membuat kami saling tahu kehidupan masing-masing, dan siapa-siapa saja yang terlibat di dalamnya. Kadang Eva meneleponku hingga berjam-jam, atau kadang sepulang kantor aku mampir ke rumahnya, seperti sekarang.

"Iya ya, Va, gue baru kepikiran lho."

"Kalo ceweknya kegatelan, bisa jadi kemana-mana tuh nanti."

"He-eh."

"Seperti kata Bang Napi, kejahatan itu bisa terjadi hanya karena ada kesempatan. Yahhh, selingkuh juga kejahatan kan?"

Aku mengernyit, kenapa bawa-bawa Bang Napi segala ya Si Eva? "Gue jadi tambah serem, Va," ujarku, segera menghilangkan seraut wajah seram Bang Napi di kepala yang seharusnya tidak perlu dibayangkan.

"Maksud lo? Serem sama cowok?"

"Iya."

"Kagak ngegigit kali mereka. Tapi kalo niple lo yang digigit lo bakalan ketagihan juga sih, Al, enak tau."

"Evaaaa," teriakku sebal. Detik berikutnya kami malah ngakak hingga sakit perut. Entah kapan prosesi gila yang dikatakan Eva itu bisa aku alami sendiri. Sssh, tidak perlu dibayangkan!

"Buat gue, laki-laki, apalagi suami, mesti harus kudu wajib ngehormatin pasangannya, dengan nggak sembarangan bilang cewek lain cantik," kataku, kembali serius.

"Ya ga usah saklek gitu juga kali, Al. Liat sikon lah, kalo memuji biasa sih ya nggak apa-apa juga, iya kan?"

"Entah ya, tapi misalnya nih, si Jun itu tadi muji gue biasa aja, nggak ada tendensi apa pun, terus kenapa habis itu dia kayak gugup? Kalo nggak salah mah, biasa aja dong harusnya?"

"Iya sih."

"Mencurigakan kan jadinya?"

"Tapi, Al, menurut lo, si Arjuna itu ada tampang nggak sih punya affair?"

"Tampangnya mah cowok lempeng banget sih, Va," jawabku setelah sedikit berpikir. Arjuna adalah musuh bebuyutanku di kantor, manalah aku tahu sebetulnya dia lelaki yang seperti apa. Aku hanya tahu bagian luarnya saja, permukaan belaka. "Gue lihat tadi sih keliatannya dia care banget sama anaknya. Tipikal Family man gitulah gimana sih. Makanya gue jadi skeptis, kalo cowok kayak si Jun aja punya affair, apa kabar cowok-cowok di luar sana?"

 Eva mengangguk setuju.

"Tapi mungkin, Al, para cowok itu nggak perlu alasan khusus untuk selingkuh ya."

"Bisa jadi," ujarku dingin.

Ayahku, seorang dosen yang selalu menuntut kami –ketiga putrinya—untuk selalu menjaga nama baik keluarga, beristrikan perempuan surga seperti Ibu yang mengabdikan dirinya untuk Ayah, pun adalah lelaki yang 'akhirnya' berselingkuh, untuk entah alasan apa yang tidak akan pernah bisa aku pahami sepenuhnya.

"Awalnya iseng, eh terus ceweknya ngeladenin, seterusnya yaa ... begitulah. Bahaya banget."

Begitukah yang terjadi pada Ayah dulu? Bahwa dia tak pernah sekali pun berniat untuk selingkuh, dan terlambat menyadari ketika 'keisengan'nya ternyata berakibat buruk? Tidakkah satu cinta dalam kehidupan seorang lelaki cukup bagi mereka?

"Lo jadi kepikiran Randu?" tanyaku cepat, ingin menghilangkan pikiran tentang Ayah. Toh Ayah hanyalah manusia biasa yang mustahil tanpa dosa, di satu titik (yang entah kapan) aku harus bisa memaafkan dan melupakannya.

"Eh? Kenapa laki gue?"

"Ya itu tadi, lo khawatir Randu selingkuh, Va?"

"Nggak."

"Tapi mungkin aja, kan?"

"Nggak."

"Serius nggak khawatir?"

"Nggak."

"Apalagi kalian masih belum punya momongan juga, Va. Bisa aja dijadiin alasan sama dia buat selingkuh, kan?"

"Maksud lo, Al?" Nada suara Eva yang meninggi membuatku mendongak dari brownies di piring yang sedang kupotong.

"Eh? Gue salah ngomong, Va?" tanyaku tak mengerti. "Bukannya kita lagi ngobrolin probabilitas cowok untuk selingkuh?"

"Ya tapi kan nggak usah bawa-bawa Randu, Al."

"Tapi Randu juga kan cowok, Va."

"Terserah lo deh, Al. Gue nggak suka lo nuduh Randu selingkuh, apalagi bawa-bawa karena kita belum punya anak juga."

"Wait a minute, kapan gue 'nuduh' Randu selingkuh sih?"

"Sama aja! Lagian emangnya gue pabrik anak apa? Kalau ga bisa hamil dan menghasilkan jadi mesti ditutup, terus cari yang lain yang lebih produktif, gitu?"

Aku bengong. Menatap Eva yang kini sudah berdiri, wajah putihnya kini terlihat begitu merah menahan amarah. Detik berikutnya dia menangis. "Mendingan lo pulang deh, Al," ujarnya seraya bergegas menuju kamarnya di lantai dua.

Aku memasukkan potongan brownies terakhir ke mulut dengan kesal, mengunyahnya cepat-cepat dengan kesal, kemudian tanpa minum atau apa pun lagi angkat kaki dari rumah Eva, masih dengan rasa kesal yang sama.

Sahabatku itu memang ajaib, kenapalah tiba-tiba marah begitu?

Ini semua gara-gara si Arjuna, kalau bukan karena dia, tidak mungkin aku berantem dengan Eva seperti ini. Hih!

MaybeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang