1. Si Lelaki Berengsek

85 6 0
                                    


Kantor sudah lengang, seperti seharusnya. Pukul sebelas malam di penghujung Desember sesaat libur panjang akhir tahun dimulai. Beberapa sengaja mengambil cuti satu dua hari sebelumnya untuk pulang kampung bahkan berlibur. Semacam hadiah yang sangat layak diberikan bagi diri sendiri setelah bekerja keras selama setahun, membuat kantor seperti mati suri sejak pagi tadi.

Tapi keistimewaan semacam itu nyaris tidak pernah bisa aku cicipi. Aku –dan beberapa staf akunting—justru harus lembur mengerjakan closing laporan tahunan. Sampai jam berapa? Sampai selesai! Pernah aku baru pulang pukul tiga pagi, mirip petugas ronda saja. Tapi sebagai Office Manager yang harus bertanggung jawab terhadap kelangsungan kantor, kuterima saja dengan suka cita.

"Sudah selesai jurnalnya?" tanyaku pada Mita, yang seperti terkantuk-kantuk menatap layar laptopnya.

Kulihat Mita mendeguk ludah. "Sedikit lagi, Mbak," jawabnya cepat dan kembali menatap layar di depannya dengan mata memicing.

"Sana kamu ngopi dulu," ucapku akhirnya, tidak tega melihatnya yang memang sudah kelelahan. Mita mengangguk dan tanpa kata segera beranjak ke pantry. Bukan maksudku menjadi atasan yang galak semacam demikian. Tapi mau bagaimana lagi? Ada sebuah tanggung jawab yang kami pikul bersama, dan aku tidak mau main-main dengan tugasku itu.

"Mbak, laporan petty cash sudah oke," Agam, stafku yang lain, menghampiri dengan setumpuk dokumen dan kotak brankas.

"Sudah kamu kirim filenya?"

"Sudah, Mbak."

"Kalau sudah saya cek dan oke kamu bisa pulang nanti." Agam semringah mendengar kalimatku. Setelah mengangguk dia pun beranjak ke pantry menyusul Mita. Mungkin membuat kopi, atau merokok, atau mungkin menumpang tidur sekejap. Aku tak sempat berasumsi, pengecekan petty cash menunggu untuk dikerjakan.

"Ra? Lihat Mita atau Agam?" Di tengah prosesi menghitung, sebuah suara menyapa. Membuatku melenguh keras lantas menggebrak meja. Aku harus mengulangi hitungan itu lagi dari awal. Sialan!

"Kalau kamu tidak lihat mereka di sini ya berarti ada di tempat lain!" kataku ketus. Kurang ajar betul si Arjuna ini, sudah tahu aku sedang menghitung uang, malah diajak ngobrol, umpatanku masih berlanjut di dalam hati.

Si Lelaki Berengsek itu, Jun maksudku, berdiri gugup mendengar hardikanku. "Oh, so-sorry, Ra, aku..." gagap, dia mencoba menebus kesalahannya. Tapi aku terlanjur kesal. Kutatap dia beberapa detik tanpa berkedip, mencoba mengusirnya pergi tanpa harus berkata-kata.

Seharusnya bukan tugasku ikut terlibat dalam closing akunting semacam ini, tapi karena aku memang sarjana akunting, diminta pulalah aku mensupervisi divisi keuangan, karena Mita dan Agam masih terlalu junior untuk diberi tanggung jawab sebesar itu. Maka wajar saja saat aku melakukan sesuatu –yang tidak seharusnya aku lakukan—lantas harus terdistraksi oleh kekonyolan yang terjadi barusan, membuatku naik pitam, bukan?

Lagipula untuk apa dia masih di sini? Toh hanya aku dan para akunting yang terpaksa harus lembur, bukan dia yang cuma kepala divisi marketing. Dia mau jadi satpam untuk kami bertiga? Atau menggantikan si Bang Mul mengunci kantor? Aneh.

Setelah salah tingkah beberapa saat, usahaku berhasil, Jun melangkah pergi saat aku tetap menatapnya dalam kebisuan. Kutatap punggungnya beberapa saat, sumpah serapah kulantunkan sedikit lagi di dalam hati. Sebelum akhirnya, meskipun masih sedikit senewen, kuteruskan menghitung uang yang tadi sempat terpotong oleh Si Lelaki Berengsek itu.

Bukan tanpa alasan aku memanggilnya dengan sebutan itu. Tapi Jun memang benar-benar berengsek. Well, setidaknya menurutku. Dia seolah ditugaskan Tuhan untuk berperan sebagai tokoh antagonis dalam kehidupanku sejak kedatangannya di kantor ini setahun lalu.

MaybeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang