30. Iova dan Salam Perpisahan

Mulai dari awal
                                    

Lelaki itu meraba-raba lantai, mencari kacamata yang tergeletak di sebelah pot tanaman indoor. Dia berdiri secepat yang ia bisa sambil memakainya. Pandangan Iova dan lelaki itu saling bertemu, tetapi cepat-cepat ia mengalihkan pandangan, lalu kembali melangkahkan kaki untuk menjauh.

"Hei, aku mengenalmu." Langkah lelaki itu terhenti saat Iova berbicara. "Kau penjahat berkacamata."

Morgan menoleh, menatap sang gadis pahlawan dengan sinis.

Iova bertanya dengan nada tak percaya, "Apa yang kaulakukan di sini?"

Morgan tak menjawab. Dia kembali memutar badan.

"Tunggu!" Iova mengikuti di belakang. "Aku sedang berbicara denganmu."

"Aku tak ingin berbicara denganmu!"

"Tapi, kau sudah bicara padaku."

Langkah Morgan terhenti dalam sekali hentakan, Iova menabrak punggungnya.

Sambil meraba hidung, Iova kembali bertanya, "Apa yang kaulakukan di sini?" Dia melirik Morgan dengan hati-hati. "Ini bukan tempat yang bisa dikunjungi penghuni penampungan secara sembarangan."

"Aku tahu." Morgan menjawab dengan acuh tak acuh.

"Lalu?"

Memperbaiki posisi kacamata, Morgan berkata, "Ini bukan urusanmu."

Iova membiarkan sang penjahat menjauh beberapa langkah sebelum meneguk liur dan kembali berbicara. "Bukan kau, kan, yang membuat lampu itu jatuh?"

Tak ada tanggapan.

Hal itu hampir membuat Iova naik pitam, tetapi ia tahan dengan mengepalkan tangan kuat-kuat. Gadis itu meremas gaunnya. "Jawab aku!" Mata violetnya berkilat. "Kenapa kau ada di sini? Kalau kau penyebab lampu itu jatuh, apa itu berarti kau tidak pernah membawa Eunah pulang?" Nada bicaranya naik satu oktaf karena terus diabaikan. "Hei! Apa yang sudah kaulakukan pada teman-temanku?"

Morgan menghela napas, kemudian menoleh. "Teman?" Dia mendengus penuh cemooh. "Ada kalanya tak mengetahui kebenaran akan jauh lebih baik bagimu."

Kedua alis Iova saling bertaut tak mengerti.

Morgan berjalan mundur beberapa langkah, lalu kembali berlari menelusuri lorong, meninggalkan Iova yang dipenuhi sejuta pertanyaan. Dia ingin menyusul, tetapi kedua kakinya terasa berat untuk kembali berlari. Gadis itu mungkin tak terlihat lelah, tetapi batinnya seolah diremuk. Kepercayaan yang ia beri pada Morgan untuk mengatasi masalah teman pertamanya telah dihianati, atau seperti itulah firasatnya mengatakan. Sebab, secara pribadi, Iova sangat meyakini firasatnya melebihi siapa pun.

Lutut gadis itu melemas. Ia jatuh terduduk menatap lorong stalagmit yang berujung gelap, tempat dimana penjahat berkacamata menghilang dari pandangannya. Gadis itu menatap pantulannya di pot tanaman indoor yang berada tepat di sebelahnya, berharap Naga muncul dan mulai menenangkannya. Namun, tak ada tanda-tanda bayangan ajaibnya berada di sana.

Iova gundah. Dadanya bergetar. Selama lima belas tahun hidupnya, baru kali ini ia merasa gagal sebagai pahlawan.

"Surahan."

Suara lemah Akai terdengar dari belakang. Iova memutar pinggang dengan berat hati.

Cowok merah itu datang dengan terpincang. Pakaiannya compang-camping. Pipinya mengeluarkan darah, walau kini telah terhenti. Beberapa luka gores juga terlihat pada bagian tubuhnya yang terekspos, seperti pada perut dan lengan kanannya. Sekalipun demikian, rambutnya masih serapi sewaktu Iova pertama bertemu ia di sini.

Sang pahlawan baru akan bertanya, sewaktu Akai membuka mulut. "Akan kuceritakan nanti. Ada yang jauh lebih penting sekarang." Cowok itu menunduk, mengambil sepatu Iova yang tergeletak di lantai, lalu mendekat. Dengan perlahan, Akai memakaikan sepatu itu di kaki kiri Iova. "Kita tak bisa menyelesaikan semua ini sendirian."

Another Way to Destroy The WorldTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang