Part 35 - bag ~1

17.2K 991 278
                                    

Thanks for mybelove sister @Mumu_Rahadi for new cover of gbtnnya :*)

~ Gay back to Normal Part 35 bag-1 ~

"Dira masih belum sadar, Arya," kata mamaku pelan mengakhiri sambungan dariku.

Aku menarik nafas panjang mendengar kondisi Dira dari mama. Jantungku seperti di remas-remas menjalani setiap pergantian detik menanti kabar Dira. Sudah tepat dua hari, sejak malam kejadian kecelakaan itu. Pagi harinya kedua orangtuaku datang, dan mama yang melihatku langsung menceramahiku sejam penuh karena kejadian ini.

Aku menyenderkan tubuhku ke dinding. Lelah, badanku terasa remuk redam, hati dan pikiranpun ikut lelah. Sejak kejadian Dira kecelakaan sampai sekarang, aku belum tidur sedikitpun. Bagaimana bisa mataku terpejam, jika pikiranku hanya di penuhi Dira, Dira, dan Dira. Entahlah bagaimana penampilanku sekarang, aku tak peduli.

Semalaman aku menunggu Dira, sampai akhirnya saat pagi tiba, justru aku mendapatkan kabar yang tak mengenakan, ayah mertuaku meninggal. Setelah itu, aku bersama papa segera pergi ke Jogja, sehingga mama yang menunggu Dira.

Dan sekarang aku berada di rumah keluarga Dira di Jogja. Satu jam yang lalu adalah pemakaman ayah mertuaku. Aku tidak bisa bayangkan nanti, bagaimana reaksi Dira jika mendengar berita ini.

"Bagaimana kondisi Dira, Ar?" Aku menoleh kesamping, melihat wajah lelah kakak iparku--yang dia sembunyikan di balik wajah tegarnya--dia berjalan menuju ke arahku dengan Satya yang tertidur dalam gendongannya. Aku mengalihkan pandanganku ke depan, lalu menggeleng pelan. "Masih belum sadar, Mas," kataku lemas.

Kudengar helaan nafas lelah dari kakak iparku. Dia bergerak menuju kursi di seberangku. Bahunya bersandar pada bantalan kursi. Pandangannya ... seperti kosong melihat ke depan, bawah matanya hitam, dan wajahnya terlihat tirus. Tangan kanannya tak henti mengusap-usap puncak kepala Satya yang tertidur dalam pangkuannya.

Satya, aku masih ingat beberapa jam lalu anak ini, menangis tak ada henti, memanggil nama eyangnya. Anak sekecil ini saja merasa amat kehilangan eyangnya, apalagi Dira nanti.

Kalau saja Dira tak mengalami kecelakaan dan keguguran, mungkin tiga tahun lagi aku akan memiliki seseorang seperti Satya. Oh God, aku tak boleh berandai, mungkin ini memang sudah takdir.

"Balik ke Jakarta saja, Ar!" Suara Dian menginterupsi pandanganku dari anaknya, membuatku kembali menatap wajahnya. "Tidak usah khawatir dengan keluarga di sini, aku dan Ibu memang sudah ikhlas jika hal ini terjadi."

Kini matanya menatapku. "Tapi, aku khawatir jika Dira tidak. Karena itu, aku harap kau ada di sampingnya; menenangkannya saat itu." Dian kembali menunduk, memperhatikan wajah Satya. "Kabari aku kalau Dira sudah sadar, ya!"

"Pasti, mas."

***

Aku dan papa kembali ke Jakarta, setelah mendapat kabar dari mama kalau Dira telah sadar. Aku benar-benar tak sabar bertemu dengannya. Rasa lelah, letih, dan kantukku seolah terangkat dari akar-akarnya tak bersisa. Aku lega bukan main.

Sambil menatap jalan, aku mengetukan kaca mobil di dekatku dengan tidak sabar.

Kenapa jalanan Jakarta hari ini begitu macet?

Kenapa jarak antara bandara ke rumah sakit terasa jauh sekali?

Kenapa kami tadi tidak memakai heli saja, agar bisa cepat sampai tanpa harus terjebak macet seperti ini?

Aarghhh! Aku mengerang jengkel sendirian sampai terasa nyeri sekali ke ulu hati. Kenapa terasa lama sekali!

Aku menoleh langsung ke belakang, kaget merasakan bahu kananku yang di tepuk, Papaku ternyata.

Gay Back To NormalWhere stories live. Discover now