Bekerja, Mencinta -3-

1K 75 0
                                    

Happy Reading! 🍕
Jangan lupa tekan bintang, dan drag di mana saja untuk membubuhkan komentar kalian! 🍕♥♡♥

...

Karl menggoreskan pensilnya di atas selembar kertas kosong yang cukup tebal. Garis lurus, lengkung dan berbagai karakter garis ia juga coretkan di atas kertasnya. Membentuk sebuah ruang menuntun pandangan. Berhadapan dengan Georgia yang menatapnya lurus dengan senyuman kecil seperti senyuman yang Leonardo da Vinci ciptakan untuk Mona Lisa. Karl menambahkan terang gelap untuk gambarnya, menuntun mata, mengelabui dimensi.

Tak lama bagi Karl untuk membuat quick sketch, potret Georgia. Hanya untuk mencoba satu paket pensil barunya. Garis tebal ditambahkan di akhir untuk mempertegas bentuk. Karl memberikan senyuman puasnya di akhir ketika ia berdiri dan membuang napasnya lega.

"Selesai." Karl melepaskan kertas dari dudukannya. Georgia mengusap-usap kedua tangannya, antusias akan hasil akhirnya. Karl menghampiri Georgia dan menyerahkan hasilnya.

"Karl, ini cantik sekali." Ucap Georgia penuh rasa terimakasih seraya mengamati dan memandangi potret dirinya.

"Aku akan mengucapkan sama-sama ketika aku mendapat bagianku." Ucap Karl, disambut tawa hangat Georgia.

Georgia berdiri. Kemeja berwarna cream pucat membalut tubuhnya. Dipadupadankan dengan rok bahan yang sangat identik dengan penampilan Georgia yang sangat jarang, atau bahkan hampir mustahil bagi Georgia untuk mengenakan celana. Rok panjang sebatas lutut atau mungkin sebutlah rok tujuh per delapan akan menjadi trademark Georgia. Ia berdiri dan lekas menepuk-nepuk roknya, seperti biasa, dan berjalan menuju kursi Karl, bertukar tempat.

"Kau mempercayaiku?"

Karl yang hendak duduk di kursi yang semula diduduki Georgia, sontak tertawa keras mendengar Georgia melontarkan pertanyaan sarkastiknya.

"Oh, ayolah!" ucap Karl di sela-sela tawanya.

"Aku lebih baik berdiam diri saja, memperhatikan Andreas berlarian ke sana ke mari mematuhi arahan Steve."

"Tidak. Itu terlalu sia-sia. Ayo, gambar saja."

"Baiklah, Karl," Georgia, dengan tangannya yang sedikit gemetar, melampirkan kertas baru. Mengambil beberapa pensil yang berbeda jenis dan mulai membuat garis sederhana. "Ortensia, Mia?"

Karl mengangkat bahunya, menanggapi pertanyaan Georgia. Dua wanita Italia itu sedang bermain ke Sacramento. Untuk sekedar mencari scenery untuk mendapatkan foto yang bagus dan kembali ke rumah Karl untuk menginap sembari menjinjing botol wine.

.
.
.

Pagi itu, aku memutuskan untuk tak bergabung dengan orang-orang di meja makan untuk menikmati sarapan spesial yang Anna buat. Jika Anna membuat menu yang lebih mewah dari biasanya, itu berarti, sesuatu yang besar akan terjadi. Contohnya, kemarin siang, Ortensia dan Mia membantu Anna menyiapkan makan siang. Mia membuat limun yang berlimpahan. Membuat semua orang dengan cepat pulang pergi ke kamar kecil karena ingin pipis akibat air limun Mia. Ortensia dan Anna memasak kalkun. Dan benar saja, dua orang Italia lagi sampai di rumah Karl. Dan rumah semakin padat, pekerjaanku semakin banyak, air yang ku minum pun makin cepat habis.

"Kau tak ikut sarapan?" Andreas bertanya padaku, ia sedang mengambil beberapa buah leci segar yang sudah ku tumpuk di atas mangkuk.

Aku mengangkat bahuku, tak ingin memberi jawaban. Andreas hanya tersenyum, ia pasti sudah tahu kalau aku sudah mendapatkan sarapan di rumahku.

"Tenang, Ortensia, Mia, Angelo dan Andrea akan pergi dari sini malam ini. Karena... Karl akan pergi ke Sacramento, menghadiri pertemuan keluarga."

Baiklah, pertama, aku sedikit lega bahwa keempat Italian itu akan segera pergi. Itu berarti aku takkan meladeni lagi tingkah-tingkah aneh Mia. Seperti, menyuruhku untuk menyelipkan surat rahasia di buku konsep milik Karl, atau apa pun yang berhubungan dengan Karl. Pertama dari yang pertama, tentu saja ia membuatku cemburu. Oh tunggu, cemburu terdengar terlalu kasar. Maka, apa yang lebih lembut dari kata cemburu? Katakan, ayo, beri tahu aku!

"Ohhh... Andreas, terberkatilah kamu." Ucapku penuh kelegaan padanya. Andreas tertawa kecil sembari melenggang meninggalkan dapur, di mana aku terduduk santai di kursi kesayanganku.

Aku meniupkan napas dalam-dalam, hembusan napas penuh kerinduan untuk Karl. "Karl... Hartmann." Gumamku sepelan mungkin.

Aku mempertanyakan kenapa aku masih bisa memujanya ketika aku tahu dia tak akan menjadi milikku. Atau mungkin, kasarnya, ia akan meninggalkanku dan kami berpisah. Aku akan berakhir di sudut kamarku dengan sampah tisu gulung yang kusut dan menyedihkan yang bertebaran di atas lantai kamarku. Tapi terkadang, untuk menyanggah pemikiran itu, aku akan membiarkan diriku menikmati waktu. Mengikuti ke mana pikiranku menuntun laju imaji khayalanku mengenai dirinya.

Menikmati kehadirannya, senyumannya, pandangannya yang sengaja aku curi, lengan kemejanya yang kebesaran yang selalu ia lipat sampai kusut, atau hembusan asap rokoknya meskipun itu mengangguku, bahkan celana denimnya yang membasah ketika ia memasukkan kakinya ke dalam kolam. Semua itu, hanya sebagian darinya. Dan aku ingin menikmati sebanyak mungkin dari kehadirannya.

"Oh, hei. Bagaimana gambar kalian? Selesai?" Steve mengagetkanku yang tengah sibuk melamunkan sesuatu.

"Steve!" aku memegang dadaku yang sejenak terhenyak kaget. Steve terkekeh kecil seraya tersenyum. "Aku akan memberitahunya besok." Sambungku dengan senyum simpul.

...
Tbc

THROUGH THE WINDOWWhere stories live. Discover now