Pada akhir transaksi, sang Ibu memberikan lembaran merah pada si pedagang. Gestur sungkan saat Ibunya menolak kembalian yang diberikan si pedagang tidak kalah palsu dari senyum saat tawar menawar.

Seorang bocah kecil memberikan bungkusan buah yang telah sang Ibu pilih. Sedikit berat, tapi bocah yang disinyalir anak si pedang itu sok kuat. Pipi meringis, walau bibir masih tersenyum manis. Sebelum pergi sang Ibu sedikit mencubit pipi bocah gembil Itu. Masih dengan senyum, wanita itu melenggang.

Semuanya tidak luput dari pengamatan Mark. Dan satu hal yang membuatnya tertegun; untuk pertama kalinya sang Ibu tersenyum tulus, yang bahkan tidak pernah ditunjukkan kepadanya.

Bagaimana mungkin?

"Ah, Buah-buahannya sangat segar. Mereka mengatakan jika mereka memetiknya langsung dari kebun mereka sendiri." Sang Ibu berceloteh tanpa ditanya. Mark mengalihkan kembali fokusnya pada bocah gembil itu, sedangkan si sopir hanya tersenyum menanggapi sang nyonya.

"Tidakkah kau bisa seperti anak itu, Mark?. Dia lebih kecil darimu, tapi sudah bekerja keras membantu orang tuanya. Aku penasaran, apakah dia disekolahkan atau..."

Mark menulikan pendengarannya, ocehan sang Ibu dianggapnya angin lalu. Pandangannya sekali lagi menemui Stand buah yang tadi disinggahi Ibunya.

Bocah gembil itu... Aku membencinya.

*****
****
***
**
💚Different💚
**
***
****
*****

Keduakalinya mereka bertemu adalah di tengah hutan rimba penuh siaga. Bukan karena apa, nyamuk buas mengancam keselamatan darah mereka. Lagi-lagi... Masih dengan tuhan yang senang menunjukan perbedaan keduanya.

Tuntutan tanggung jawab sebgai ketua organisasi siswa, dibumbui ancaman dari sang Ayah; Mark Tuan akhirnya mengikuti acara tahunan sekolah menengah pertamanya, Camping. Bukan ide yang buruk sebenarnya, Ayahnya telah mengeluarkan banyak uang hanya untuk acara tidak penting seperti ini. Camping yang seharusnya menjadi ajang eksplorasi sambil belajar, kini malah jadi ajang ekspose kekayaan.

Mark Tuan tidak tertarik, tanpa diekspose pun kekayaan keluarganya terdengar sampai negri tetangga.

"Yo, sob!. Ayo antarkan Aku" itu Jackson Wang. Teman satu tenda Mark.

"Kemana memangnya?"

"Han Soengsaem-nim menyuruhku mengambil air, di Sungai." Jackson mengangkat ember berukuran sedang di tangan kanan.

"Dimana sungainya?"

"Disebelah sana!" Tangan Jackson terangkat menunjuk timur. "Dekat dengan dengan perkemahan rakyat jelata. Kau tahu, kan?. Aku sangat anti dengan mereka" Jackson berekspresi seolah-olah jijik.

Mark ingin Apatis, tapi dia tau bagaimana tabiat sahabatnya. Helaan napas pun keluar.

"Hm. Baiklah"

Keduanya berjalan beriringan melewati beberapa tenda. Mark tidak mengerti; kenapa area perkemahan saja harus dipisah berdasarkan kasta? Tidakkah itu terlalu mendiskriminatif?

Semakin mereka berjalan, kawasan tenda yang mereka lewati juga semakin murah; jika tidak ingin Mark bilang rongsokan. Beberapa penghuninya yang berada di luar menatap Mark dan Jackson dengan tanda tanya.

Untuk apa murid golongan atas berada di kawasan mereka?

Dunia itu terkadang tidak adil; jika mereka golongan bawah berada di kawasan mereka golongan atas, mungkin pengusiran yang telah mereka dapatkan. Tapi jika sebaliknya? Mark dan Jackson telah memberi contohnya.

No MarkBam No Life//OS ColectionWhere stories live. Discover now