6. Pulang

3.5K 244 3
                                    

Semenjak hari itu, dimana Pak Damar mengatakan aku mirip seseorang. Ia sering menyuruhku ke ruangannya dengan alasan yang tak jelas. Membuatku benar-benar jengkel.

Ingin ku menolak setiap perkataannya namun setiap aku ingin menolak pasti Bu Mimi, kepala OB dan OG disini akan langsung memelototiku dan melayangkan ucapan pedasnya yang membuatku semakin kesal.

Hari ini Pak Damar memanggilku lagi untuk ke ruangannya, aku sudah menolak tapi malah aku dimarahi oleh yang lain. Katanya nanti mereka semua dapat masalah jika aku tak datang ke ruangan Pak Damar.

Akhirnya mau tak mau aku berjalan dengan kesal keruangan Pak Damar.

"Mau ketemu Pak Damar ya, Ris?" tanya Mbak Ratna.

"Iya, Mbak," jawab ku agak malas. Sudah tau dilantai 15 ini hanya ada ruangan Pak Damar dan ruangannya masih ia tanyakan juga. Membuat ku yang kesal jadi semakin kesal.

Aku tau banyak karyawan yang bergosip tentangku karena terlalu seringnya aku bolak-balik keruangan Pak Damar. Bayangkan saja dalam sehari bisa lima kali ia memanggilku dengan alasan yang tak jelas. Bahkan sampai ia menjadikanku office girl tetap lantai 15, itu kan membuat semua karyawan semakin curiga.

"Ada apa, Pak?" Tanyaku to the point saat membuka pintu Pak Damar dengan keras, tanpa salam aku bertanya dengan posisi bersandar ke pintu yang terbuka sambil memegang knop pintu.

"Dimana sopan santunmu?" Tanya Pak Damar dengan nada sok tegasnya, padahal aku jelas melihat senyum lebarnya. Ia sangat senang sepertinya membuatku marah.

"Kalau gak ada yang penting saya keluar." Baru aku akan menutup pintu ia mengatakan sesuatu yang membuatku jengah.

"Nanti pulang kerja kamu bareng saya, ya." pintanya yang jelas-jelas ku tolak mentah-mentah.

"Gak usah, makasih, Pak," jawabku dan menutup pintu dengan keras membuat Mbak Ratna yang mendengarnya terlonjak.

"Aduh, Ris, bisa gak si pelan-pelan nutup pintunya." Omel Mbak Ratna.

"Maaf Mbak, abis bos Mbak bikin naik darah." Ketusku lalu berjalan pergi dari sana.
.

.

.

Jam pulang kerja sudah selesai aku berjalan santai keluar kantor, saat aku berdiri ditepi jalan menunggu angkutan umum. Sebuah mobil mewah warna hitam mengkilat berhenti di hadapanku, tak lama kaca mobil itu terbuka dan menampilkan wajah yang membuatku selalu kesal.

"Ayo, Ris masuk," ajak Pak Damar ramah.

"Gak usah, Pak, makasih," kataku malas.

"Ayolah Risa, kan biar saya tau rumah kamu." paksa Pak Damar yang sudah keluar dari mobilnya dan membuka kan pintu sebelah kiri untukku.

"Gak usah Pak! Saya bisa pulang sendiri!" Tegasku.

Tapi baru aku akan berjalan meninggalkannya, ia menarikku dan mendudukkanku dengan paksa di kursi penumpang.

"Bapak apa-apaan si!" Sewotku.

"Udah si nurut aja, Ris!" Tegasnya membuatku sedikit takut.

Wajah kesalnya benar-benar membuat nyaliku menciut.

"Tunjukan jalan rumahmu." Katanya saat mobil mulai berjalan.

Mau tak mau aku pun menunjukkan jalannya.

"Berhenti di sini saja, Pak." Kataku saat sudah sampai di jalan raya dekat rumahku.

"Rumah kamunya mana?"

"Ada di dekat sini," Aku pun keluar dari mobil.

"Risa tunggu!" Katanya saat aku sudah menutup pintu mobil.

"Rumah kamu masih jauh?" Tanya Pak Damar yang sudah keluar dari mobilnya dan berdiri dihadapanku.

"Gak kpk Pak. Udah dekat, tinggal jalan sedikit ke dalam," jawabku sambil menunjuk gang rumahku.

"Ya, udah biar saya anter sampe rumah kamu."

"Gak usah Pak, saya mau mampir ke warung dulu sebentar, sampai sini aja. Makasih Pak atas tumpangannya." Aku pun buru-buru pergi dari hadapan Pak Damar. Ia masih memanggilku namun ku abaikan panggilannya.

Apa kata orang tua ku jika melihat aku diantar oleh mobil mewah jika ia mengantarku sampai rumah.

Pak Damar dengan segala keanehannya yang membuatku terkadang muak dengan setiap perintahnya.

Namun disatu sisi aku terkadang suka meneliti wajahnya, wajahnya seperti mirip seseorang namun aku tak tau ia mirip siapa.

***



Harapan (TAMAT) Lanjut KaryakarsaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang