4. Pertemuan

3.8K 290 0
                                    

Setelah pulang dari perusahaan aku memilih berhenti dulu di warung pinggir jalan.

Saat aku duduk di bangku yang disediakan sambil meminum sebotol air dingin yang baru kuambil di kulkas si pedagang. Ada yang menepuk baku ku ringan dan memanggil namaku yang membuat ku menoleh ke asal suara.

"Eh... Bu Minah, duduk, Bu." Kataku sambil sedikit menggeser posisi dudukku, Bu Minah pun duduk di sampingku.

"Baru pulang, Ris?" Tanyanya lembut.

"Iya, Bu. Baru pulang ngelamar kerja di perusahaan tempat dulu Kak Dian kerja."

"Diterima?"

"Alhamdulillah, diterima, Bu. Senin udah bisa langsung kerja."

"Ris ... Ada yang mau Ibu omongin, kamu mau ikut Ibu gak?" Ucapnya agak ragu yang membuatku penasaran.

"Kemana, Bu? Kenapa gak ngomong di sini aja?"

"Ada yang mau Ibu tunjukin, ikut Ibu ya?" Katanya memelas. Aku pun mengangguk ragu, setelahnya Bu Minah menarik tanganku dan menggandengku untuk mengikutinya menaiki angkutan umum yang berhenti di depan kami. Aku hanya diam dan menurut saja kemana Ibu Minah menarikku.

Sampai kami tiba di pemakaman umum, aku menoleh padanya dengan ragu.

"Ikut aja." Ajaknya lagi sambil menggandeng tanganku untuk memasuki pemakaman umum.

Kami berhenti disebuah pusara seseorang, Bu Minah berjongkok di pusara tersebut yang membuatku mengikutinya.

Aku membaca nama yang tertera disana, Annisa Rahmawati binti Heri Rahmanto.

Aku menatap Bu Minah dan Bu Minah pun menatap mataku dengan air mata yang sudah luruh.

"I...ibu kamu, Ris. Ibu kandung kamu," katanya tersendat-sendat.

Air mataku lolos begitu saja, Ibuku itu Mama! Ya, Ibuku itu Mama hanya Mama! Tegasku dalam hati.

"Risa... Mama kamu udah cerita sama Ibu. Ibu tau kamu udah tau semuanya dan Ibu juga tau kamu berat untuk terima semua ini, tapi Ris ... Mau kamu mengelak kaya apapun kenyataannya seperti ini..." Jelasnya parau karena tangis yang terus menderas.

Aku membuang pandanganku, tak ingin menatap wajah Bu Minah atau batu nisan itu.

"Mbak Annisa, ia sebenarnya sangat ingin merawatmu. Tapi Pak Heri gak ngizinin dan menolak kehadiranmu."

Aku memejamkan mata saat Bu Minah mulai bercerita, entah kenapa dadaku terasa amat sangat sesak.

"Bahkan Mbak Annisa sampai mohon-mohon sama Pak Heri untuk tetap rawat kamu. Tapi semua itu percuma, malah Pak Heri membentak dan menampar Mbak Annisa. Kami yang melihatnya hanya bisa diam gak bisa membantu, karena setiap Pak Heri marah selalu ada sebab dan akibatnya ... Saat Mbak Annisa pulang dari Jakarta kami menyambutnya dengan sangat bahagia, kami pikir Mbak Annisa pulang karena sedang liburan. Selama ini, Mbak Annisa kuliah di salah satu universitas di Jakarta. Pak Heri sebenarnya sangat berat melepas anak perempuan satu-satunya dan yang paling ia sayangi, tapi karena Mbak Annisa terus maksa Pak Heri akhirnya ngijinin.

Waktu awal pulang kami gak sadar ada yang berbeda sama Mbak Annisa, tapi setelah tiga bulan berlalu. Pak Heri karena bingung anaknya gak kembali kuliah nanya dan jawaban Mbak Annisa yang buat satu keluarga marah dan merasa tertampar."

---

"A...aku hamil, Yah." Annisa, wanita itu menunduk saat mengatakan hal yang membuat seluruh keluarganya terkejut.

Harapan (TAMAT) Lanjut KaryakarsaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang