“Arsitek?” Aku masih takjub dengannya. Benar-benar manusia langka.

“Yep. Kebetulan ayahku arsitek, jadi sedikit banyak aku tau.” Sungguh kebetulan yang luar biasa.

“Ayahku juga arsitek.” Pekikku.

“Kayaknya, kita punya banyak kesamaan deh.” Sahutnya. Ia tersenyum.

Aku hanya tertawa menanggapinya. Benar-benar di luar dugaan. Jangan-jangan ibunya juga penulis, lagi? Aku menggelengkan kepala karena tak percaya dengan pemikiraanku sendiri. Sebelum keluar dari mobilnya, aku mengucapkan terimakasih karena sudah menolongku dan mengubah moodku. Hari ini aku benar-benar merasa senang.

“Sekali lagi makasih buat hari ini. Aku nggak tau gimana jadinya aku kalo nggak ketemu kamu tadi.” Tuturku dari hati yang paling dalam.

“Iya, sama-sama Stranger.” Katanya dengan penuh penekanan di setiap suku katanya. Aku tertawa karena sepertinya ia merasa gemas, aku mengucapkan terimakasih berkali-kali.

“Kalo gitu, see you next time, Stranger. Hati-hati di jalan.” Ia mengangguk dan tersenyum. Aku pun keluar dari mobilnya.

Ketika aku aku akan menutup pintu, aku teringat akan sesuatu yang sangat penting. Aku pun menengok lagi padanya, “Oh ya, ada yang kelupaan. Jangan pernah sekali-sekali sengaja dateng ke rumahku. Itu artinya menyalahi aturan main.” Ujarku mengingatkan.

Lagi-lagi ia tertawa, “Iya iya, ngerti kok ngerti.” Sahutnya. Setelah mengucapkan salam perpisahan untuk yang kedua kalinya, aku langsung menutup pintu mobilnya. Tak lama kemudian, ia dan Hummer miliknya menghilang di tikungan dekat rumahku.

Dua hari kemudian, aku menerima rapot. Nilai-nilaiku lumayan lah ya. Hebatnya lagi aku mendapat peringkat ke empat seangkatan. Benar-benar sebuah kemajuan, karna semester empat kemarin aku masih nangkring di peringkat ke sembilan. Di peringkat pertama, tentu saja di raih oleh Satria yang memang memang dari dulu tidak bisa di depak dari singgasananya, lalu di bawah Satria ada Valeria—aku tidak tahu kenapa ia tidak ada kemauan untuk mengalahkan Satria, padahal otak mereka setara. Lalu di bawah Valeria yang menduduki peringkat ke tiga, ada siswa IPS. Ia adalah satu-satunya anak IPS yang masuk peringkat lima besar seangkatan. Kalau tidak salah namanya Alvaro Gavriel. Aku sendiri tidak peduli, toh aku tidak mengenalnya kan? Baru kemudian, ada nama Revita Pradipta yang nangkring di posisi empat. Hebat bukan?

Selama dua hari kemarin aku tidak masuk. Setelah Stranger mengantarku pulang, malamnya aku tubuhku kembali demam. Akhirnya mau tak mau aku harus izin. Untung saja aku masih bisa mendapatkan rapotku.

Tapi dengan tidak masuknya aku dua hari kemarin, aku merasa sedikit di untungkan. Dengan istirahat di rumah, aku tidak perlu bertemu Jovan maupun Farah. Lagi pula, sepertinya Jovan juga tidak peduli dengan adanya aku atau tidak. Karena ia sama sekali tidak menghubungiku. Sekedar tanya ‘apa kabar’ pun tidak. Tentu saja aku merasa kesal. Tapi lebih dominan kecewa dan sakit hati. Aku tidak tahu kenapa, tapi aku merasa Jovan kembali pada dirinya saat masih awal-awal aku berpacaran dengannya. Dingin dan susah untuk di jangkau. Padahal, aku sudah nyaman dengan Jovan yang—sekalipun masih agak cuek—selalu ada di sampingku.

Apakah keinginanku bersama Jovan terlalu berlebihan? Aku rasa tidak.

Dengan resminya aku mendapatkan rapot, itu tandanya mulai hari Senin besok aku bebas dari sekolah selama dua minggu. Akhirnya libur semester juga. Saat ini aku sedang packing. Memilih pakaian mana saja yang harus aku masukan ke dalam koper sedang berwarna merah milikku. Rencanya, besok pagi aku dan kedua orangtuaku akan terbang ke Singapura. Selain untuk liburan, Ayah juga mengajakku dan Bunda untuk menghadiri acara peresmian gedung serba guna yang di desain Ayah. Karena pekerjaannya ini, Ayah sampai harus menyewa apartemen dan tidak pulang selama berbulan-bulan. Aku jadi penasaran, bagaimana hasilnya?

The Same ThingsWhere stories live. Discover now