Revita

4K 201 2
                                    

Tidak pernah aku merasakan seletih ini selama hidupku. Baik jiwa maupun raga. Seusai menghadiri pesta ulang tahun Kevin, aku pulang dengan keadaan yang mengenaskan. Kedua mataku bengkak, hidungku memerah, dan rambutku acak-acakan. Jangan tanya aku pulang dengan siapa. Tentu saja aku pulang sendiri, dengan jalan kaki. Tapi tidak sepenuhnya jalan kaki, karna di tengah jalan aku menyetop taksi yang tak sengaja lewat di hadapanku.

Jam setengah sebelas malam, aku baru sampai rumah. Untung saja Ayah dan Bunda sudah tidur, jadi mereka tidak akan melihat penampilanku yang tidak enak dipandang ini. Saat masuk kamar, tiba-tiba saja Jovan meneleponku dan menanyakan keberadaanku. Aku hanya bisa menjawab kalau aku pulang lebih dulu karena sedikit tidak enak badan. Tahu apa tanggapan dari Jovan?

Oh yaudah kalo gitu, kamu langsung tidur aja. Besok sekolah.’ Telepon pun terputus. Bahkan dari nadanya terdengar datar sekali. Sepertinya ia tidak terlalu peduli padaku, karena sudah ada Farah di sampingnya. Tadinya aku berharap, dengan menghilangnya aku yang secara tiba-tiba, Jovan setidaknya merasa sedikit khawatir terhadapku. Tapi nyatanya?

Aku menghempaskan tubuhku di atas kasur. Kuraih guling yang tak jauh dariku dan menutup mukaku dengan guling itu. Dan pada akhirnya, aku menangis untuk yang kedua kalinya dalam sehari. Dengan alasan yang sama, Jovan.

Keesokan harinya, di sekolah aku lebih banyak diam. Aku juga tidak terlalu ingin bertemu dengan Jovan untuk sementara. Setidaknya, sampai aku berhasil menata hatiku kembali. Begitu pula pada Farah. Aku tidak tidak begitu banyak berinteraksi dengannya. Untung saja tampangku tidak selecek kemarin malam. Jadi tidak ada yang menyadari kalau aku sudah menangis berjam-jam.

Saat jam istirahat, alih-alih menemui Jovan, justru aku ke perpustakaan yang terletak di gedung utama. Gedung yang berada di antara gedung IPA dan gedung IPS. Gedung yang terisi ruang kelas sepuluh, ruang kepala sekolah, ruang tata usaha, ruang guru,  UKS, perpustakaan, serta berbagai macam ruang klub dan keorganisasian. Seperti OSIS, klub seni rupa, klub seni music dan masih banyak lagi. Perpustakaan sekolahku berada di lantai dua, jadi mau tak mau aku harus naik tangga untuk sampai ke sana.

“Eh Revi, mau kemana lo?” Sapa Satria yang baru keluar dari ruang guru sambil membawa banyak sekali buku di tangannya. Sudah lama aku tidak bertegur sapa dengannya, padahal kelas kami bersebelahan.

“Hai Sat, gue mau ke perpus nih.” Jawabku dengan memasang senyum. “Lo sendiri?”

“Wah, sama dong.” Sahutnya. “Kalo gitu bantuin gue dong, Rev. Berat nih.” Pintanya memelas dan menyodorkan buku-buku yang ia bawa.

“Elaaah, lo ngerepotin banget sih jadi orang.” Cibirku kesal karena merasa dimanfaatkan. Tapi bukannya pergi, aku malah mengambil setengah dari buku-buku yang dibawa Satria. Kasihan juga kalau membiarkannya membawa bertumpuk-tumpuk buku tebal itu sendirian.

Aku dan Satria jalan beriringan menuju ke perpustakaan yang tak jauh dari ruang guru. Tak jarang, beberapa junior menyapa Satria. Rupanya, Satria cukup terkenal di kalangan adik kelas. Paling tidak, beban di hatiku sedikit terangkat karena ngobrol dengan Satria di perpustakaan. Untung saja perpus tidak terlalu ramai, sehingga aku dan Satria bisa sedikit bebas. Ia menceritakan banyak hal padaku. Dari topik yang sangat ringan, seperti tentang film dan hobi, hingga yang paling berat, seperti masalah politik dan hukum di Indonesia. Aku bersyukur pernah membaca sedikit tentang politik, sehingga aku tidak perlu merasa minder saat Satria membahasnya.

Minggu siang, sepulang dari acara amal yang diadakan Bhakti Luhur di salah satu panti asuhan, aku meminta Daffa mengantarku ke BitterSweet. Karna aku tidak membawa kendaraan, tadi pagi Daffa yang menjemputku. Katanya biar cepat. Saat aku mengajaknya untuk mampir ke BitterSweet, Daffa menolak dengan alasan ia sudah capek. Pada akhirnya aku sendirian ke BitterSweet.

The Same ThingsWhere stories live. Discover now