Revita

4.3K 193 1
                                    

Sebelumnya, aku minta maaf kalo misalnya ada typo atau ada bagian yang nggak begitu nyambung. Apalagi sampe nggak dapet feel sama sekali. Masalahnya aku nggak bisa fokus, semenjak hapeku error:'( oke ini mulai curcol. Mending baca langsung aja deh.

#PeaceUp

--------------

Aku bersyukur bisa menemukannya di antara ribuan manusia yang ada di SMA Veritas. Entah bagaimana jadinya nasibku kalau saja aku tidak menemukan Stranger yang langsung menolongku. Aku sama sekali tidak ingat apa yang sudah terjadi sebelum aku jatuh pingsan. Tapi siapa peduli? Yang penting sekarang aku sudah merasa lebih baik dari sebelumnya. Sekali lagi, Stranger mampu membuat moodku berubah drastis. Yah meskipun rasa sakit hati karena insiden aku melihat Jovan menghampiri Farah dengan gembira itu masih ada.

Awalnya aku ingin menceritakan duduk permasalahan yang sedang aku hadapi. Juga termasuk kejadian aku menunggu Jovan malam-malam lebih dari enam puluh menit sampai kehujanan segala. Tapi aneh rasanya, kalau aku tiba-tiba menceritakan itu semua. Akhirnya aku hanya memilih untuk bungkam.

Entah bagaimana caranya, Stranger mampu untuk membuatku kembali merasa lebih ringan. Aku tidak perlu bersikap jaim di hadapannya. Berada di sisinya, aku mempu menjadi Revita Pradipta yang dari dulu memang bersifat kekanakan.

Lihat? Bahkan makan es krim pun harus belepotan begini. Aku benar-benar malu saat lelaki di sampingku ini langsung membantuku membersihkan sisa-sisa es krim yang ada di sekitar pipi dan mulutku.

“Jangan modus, please!” Ujarku marah—oh tidak juga, hanya pura-pura untuk menutupi rasa grogi yang entah muncul dari mana. Ia hanya tertawa menanggapiku.

“Harusnya kamu terima kasih ke aku. Kalo aku biarin sampe pulang nanti mukamu masih belepotan ice cream” Katanya.

Aku memutar kedua bola mataku, lalu memasang muka sok manis padanya. “Thankyou, Stranger.”

“Nggak ikhlas tuh ngomongnya.” Komentarnya. Aku benar-benar ingin menerkamnya, sekarang. “Wohoooo, selow oke?” Ujarnya sedikit ngeri melihat perubahan ekspresiku. Dan aku dengan bangga tersenyum penuh kemenangan.

Setelah selesai menikmati es krim, lelaki baik hati ini langsung mengantarku pulang. Lagi pula, sekarang sudah sore. Selama perjalanan pulang, Stranger lebih banyak menceritakan tentang sahabat yang juga teman-teman satu bandnya. Katanya ia sama sekali tidak pernah menyangka kalau band yang sebenarnya dibuat atas dasar iseng itu bisa meraih banyak prestasi dan disukai oleh warga sekolah. Tapi sayang sekali, sebelum datang ke acara ulang tahun Kevin aku sama sekali tidak tahu apa-apa tentang Your Favorite Astronauts.

Jujur saja, aku sedikit iri padanya. Dari dulu aku selalu ingin membuat bandku sendiri. Tapi karena memang salahku juga yang tidak pernah memberitahukan kemampuanku, jadi tidak pernah ada orang yang mengajakku untuk bergabung dengan bandnya. Tapi ya sudahlah, aku sudah tidak terlalu minat menjadi personil band lagi.

Tak terasa ternyata kami sudah sampai di depan rumahku. Ia terlihat memperhatikan rumahku dari balik kaca jendela. Ia pun berdecak kagum.

“Rumah kamu keren.” Pujinya dengan tulus. “Kelihatan minimalis banget. Tapi aku yakin, dalemnya nggak seminimalis yang orang pikir. Pasti yang desain arsitek.” Aku tercengang mendengarnya. Selama ini, belum pernah ada satu orang pun yang memiliki pandangan seperti itu saat pertama kali melihat rumahku. Bahkan Jovan saja mengira rumahku mungil.

“Kamu kok bisa tau?” Tanyaku tak percaya.

“Eh, bener ya?” Jawabnya dengan cengengesan. “Aku cuma ngeliat dari sisi seorang arsitek.” Tambahnya kemudian.

The Same ThingsWhere stories live. Discover now