Alvaro

4.5K 222 0
                                    

Akhir-akhir ini si Kevin sering banget maksain aku buat move step duluan. Mau sih sebenernya buat move step duluan, biar keadaanku juga nggak stuck di sini-sini aja, tapi kalau nanti dianya nggak suka aku deketin gimana? Nggak! Aku nggak takut di tolak kok, karena menurutku seorang cowok adalah pemimpin, nggak semua pemimpin awalnya sukses kan? Jadi di tolak adalah hal yang sangat wajar, berani bertindak berani ambil resiko itu sih menurutku. Tapi, bukan penolakan karena aku sudah menyatakan cintaku, namun lebih takut ke penolakan karena aku dekati. Aku sih pernah—mencuri—dengar kalau dia nggak seberapa suka anak popular, sedangkan jabatanku sebagai pemain basket dan seorang vokalis di band membuatku mau tak mau menjadi popular.

Move step pikirku dalam hati. Aku terus mengulang kata-kata tersebut sampai kedua telingaku menangkap bahwa seseorang tengah memanggilku.

“Alvaro, Alvaro?” ucap seseorang sambil menggoyangkan tangannya di depan mukaku. Membuatku mendongak menatapnya. Naira!

“Ahh..y—y—yaa?” tanyaku gugup

“Ehmm, boleh minta bantuan nggak?” tanyanya sambil menggaruk tengkuknya yang aku piker tak gatal sama sekali. Membuatku menaikkan sebelah alisku.

“Gue dapet tugas kesenian disuruh gambar tentang kartun apalah gitu deh. Gue kan nggak bisa gambar, terus waktu gue tanya Kevin dia bilang gue disuruh minta tolong lo. Lo ngg—ngg—nggak kebe—“

“Sini mana contohnya?” tanyaku sambil menengadahkan tanganku, dan aku bersumpah melihat binar mata di kedua matanya.

Naira tersenyum bahagia sambil melihatkan dari ponselnya tentang gambar yang akan aku gambar. Ternyata dia suka kartun tersebut? Bukankah itu temannya Hello Kitty? Siapa namanya? Melody? Entahlah, namun aku mengetahuinya karena adik sepupuku dulu sering bercerita tentang kartun tersebut.

“Boleh ntar kirimin ke gue gambarnya?” tanyaku

“Boleh banget! Mau lewat apa? BBM? Whatsapp? Line?” tanyanya bersemangat.

“Terserah lo aja” jawabku sambil tersenyum. Betapa lucunya tingkah Naira jika seperti itu.

“Oke, ntar gue kirim lewat Whatsapp aja deh yaa. But anyway, thank’s banget yaa, Al” ucapnya sambil menyodorkan tangannya. Ini maksudnya aku diajak salaman gitu? Aku? Seriously?

“Ahh, santai aja, Nai. Kalo butuh bantuan ntar tinggal hubungin gue aja” jawabku sambil menjabat tangannya. Sooooo damn! Tangannya alus banget, man! Argh, Naira you drive me crazy!

Kayaknya aku kudu banget bersyukur ke Allah karena memberiku bakat menggambar, karena tanpa campur tangan-Nya, aku tak mungkin dapat seperti ini. Njir, apa banget bahasaku? Ahh, dan sepertinya aku juga mesti berterima kasih ke Kevin karena atas sarannya si Naira jadi minta bantuan ke aku. Oke, jadi mengapa bahasaku seperti selebriti yang menerima award dari ajang award bergengsi?

Saat sedang asik-asiknya memikirkan Naira, seseorang tak bertanggung jawab menoyor kepalaku. Membuat imajinasi yang sudah tersusun rapi hilang sudah entah kemana. Benar-benar berbakat menjadi perusak suasana. Aku melihat ke sebelah bangkuku, ternyata Billy.

“Kenapa lho senyum-senyum nggak jelas gitu?” tanya Billy

“Terus? Any problem, sir?” sindirku

“Yaa nggak sih, cuma agak aneh aja. Lo kan biasanya datar-datar aja gitu” jawab Billy

“Habis mikir yang nggak-nggak ya lo?” tuduh Daniel

“Buang jauh-jauh pikiran picik lo tentang gue!” sahutku sambil menoyor Daniel “Btw, Kevin kemana?” lanjutku

“Siaran radio. Kayak biasanya” jawab Billy

The Same ThingsTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang