eight : ergo

Mulai dari awal
                                    

Yang ketiga dokter Endro, dokter baru yang perfeksionis. Pinter, tapi sering menjerumuskan. Sering tanya-tanya dan kalau kamu nggak bisa jawab seringnya ngatain langsung di depan pasien dan keluarganya. Jadi siapin mental aja kalo visit sama dia. Kalau kamu dapet presus atau referat di bawah bimbingan dia, kamu bakal otomatis dapet nilai sempurna kalau kamu bisa presentasikan & jawab semua pertanyaan dia dalam bahasa Inggris. Oh, satu lagi ..." Dayu melirik kakiku, "jangan pakai rok pendek kalau hari itu jadwal dokter Endro visite." Aku otomatis menurunkan rok pensilku yang setinggi lutut itu sambil nyengir.

"Sisanya ada dokter Miftakhul, dokter Priyo sama dokter Erwina, ini semuanya konsulen paling baik di stase anak. Tinggal ngikut aja deh maunya mereka bertiga gimana, tapi ya gitu ... semakin baik konsulennya, semakin pelit kasih nilai. Ujian sama beliau bertiga ini nilainya nggak pernah lebih tinggi dari 70."

Aku mengangguk-angguk sambil menandai catatanku di beberapa hal penting yang Dayu tekankan.

"Ada yang mau ditanyain?"

"Nggak. Belom." Kataku sambil memainkan pulpen.

"Karena di departemen kita nggak ada residen, semua-semua jalurnya langsung ke konsulen, kita kerjain sendiri. Kedengarannya ribet sih, tapi kalau udah bisa ngikutin ritmenya enak aja kok dijalanin. Lagipula ... look at those kids!!"

Aku mengikuti pandangan Dayu pada anak-anak balita yang tengah terbaring di bangsal berisi enam buah tempat tidur. Kesemuanya manatap kami dengan tatapan polos campur trauma tetapi juga tatapan ingin tau khas anak kecil yang sebenarnya cukup menggemaskan. Aku bisa membayangkan betapa aku akan sangat menikmati berinteraksi dengan makhluk-makhluk tanpa dosa ini esok hari.

Ketika keluar ruangan, aku melihat teman-teman sekelompokku yang sedang mengekor seniornya masing-masing sepertiku, lalu dari ekor mataku aku menangkap gerak khas seseorang yang segera menarik perhatianku itu.

Bangsal Nusa Indah, berseberangan dengan bangsal Bougenvile yang merupakan bangsal untuk rawat inap pasien-pasien bedah saraf dan orthopedi. Maka feeling-ku memang tidak salah ketika melihat dokter Reno sedang berjalan –diikuti lima orang koas di belakangnya- menuju ruang paling ujung bangsal Bougenvile yang berjarak lima meter dari tempatku dan Dayu berdiri.

"Pagi amat dia visitenya?" tanyaku setelah melihat jam tanganku menunjukkan pukul setengah tujuh pagi.

"Ini masih mending, pernah dia visite jam setengah enam. Koasnya belum ada yang dateng sama sekali."

"Hah? Gila aja ..."

"Iya, untung aku udah selesai bedah."

"Sama. Untung gue juga." Jawabku masih sambil melihat rombongan itu berjalan ke arah kami. Dibandingkan dengan gaya berpakaian konsulen-konsulen lain yang sangat rapi dan terkesan kolot itu, you know ... celana kain longgar, hem, baju dimasukkan, sepatu pantofel ... gaya berpakaian dokter Reno sangat terlihat santai dan dandy, tapi juga tidak terlihat metroseksual. Pagi ini ia mengenakan hem berwarna biru denim yang lengan panjangnya ia lipat sampai siku, celana kain hitam dan ... sneaker hitam Tommy Hilfiger. Ia lebih terlihat seperti model nyasar daripada konsulen bedah saraf.

Dokter Reno sesekali berbincang dengan salah satu koas laki-laki di sampingnya, kemudian ketika ia mengangkat kepalanya dan menatapku, ia melakukannya lagi.

"Eh, Cuma perasaanku aja apa dokter Reno ngeliatin sini sambil senyum-senyum ya?" tanya Dayu tiba-tiba.

"Cuma perasaan aja." Aku segera merangkul Dayu dan mebalik tubuhnya agar pergi dari situ cepat-cepat.

"Soalnya setau aku tuh dia jarang banget senyum, Nad!" Dayu masih mencoba menoleh ke belakang dan segera kutarik lagi kepalanya ke depan.

"Mmmm ... aku mau cerita, tapi please kamu jangan bilang siapa-siapa, even Dipta. Dan jangan nge-judge juga sebelum aku selesai cerita." Dayu menatapku sambil mengerutkan dahinya dalam-dalam, tapi kemudian mengangguk.

Primum, Non Nocere (First, Do No Harm)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang