three : ad altiora tendo

166K 18.2K 851
                                    

I strive to higher things

_________________________


Kamu pernah dengar kata bijak "choose a job you love, and you will never have to work a day in your life" yang dicetuskan oleh Confucius? Artinya kira-kira : pilihlah pekerjaan yang kamu cintai, maka kamu tidak akan pernah merasa bekerja satu haripun dalam hidupmu.

Menjalani pilihanku saat ini sebenarnya bukan karena aku mencintai dunia kedokteran, bukan sama sekali. Ada alasan kenapa aku memilih bergabung di salah satu jurusan yang penuh gensi ini.

Dulu, aku bangga ketika berhasil mempertahankan cita-citaku yang tidak pernah berubah sejak TK sampai lulus SMA. Sementara anak-anak lain masih plin-plan ketika ditanya oleh guru mereka tentang cita-cita, jawabanku tetap sama. Ketika teman-temanku semasa SMA bingung menentukan akan mengambil jurusan apa, aku bahkan sudah memiliki jaket dan atribut fakultas dari universitas yang ingin aku masuki.

"Nadia, kalau sudah besar nanti mau jadi apa?"

"Dokter." Kataku mantap dan tidak pernah berganti seakan program diotakku tidak pernah direset. Sehingga menjawab pertanyaan yang itu-itu saja dengan jawaban yang itu-itu saja.

"Kenapa?"

"Biar kayak Mama Papa." Jawabku di usia lima tahun. Dan alasanku menjadi dokter itulah yang berubah seiring bertambahnya usiaku dan kedewasaanku dalam berpikir.

"Supaya bisa nolong orang." Jawabku saat SMP, lebih bijak.

"Karena sebaik-baiknya manusia adalah yang bermanfaat untuk orang lain. Dokter adalah salah satu profesi paling prestisius yang pekerjaannya selalu bermanfaat bagi masyarakat di sekitarnya." Tulisku saat SMA pada sebuah tugas éssay yang diberikan guru Bahasa Inggrisku tentang "Where do you see yourself in 5, 10 and 20 years?"

Maka ketika aku duduk di hadapan salah satu guru besar fakultas kedokteran tempatku kuliah beberapa tahun kemudian, pada sesi wawancara, beliau menanyakan lagi motivasiku menjadi dokter. Maka kali ini kujawab dengan jawaban yang telah kulatih berulang kali, jawaban yang lebih berbobot, untuk meloloskan goal-ku saat itu.

"Orang bilang, seorang anak harus lebih baik daripada orang tuanya. Memiliki kedua orang tua yang berprofesi sebagai the Officium Nobile atau pekerja dengan profesi terhormat, saya secara tidak langsung diajarkan dan melihat sendiri seberapa terhormatnya pekerjaan beliau berdua bagi orang-orang di sekitarnya. Dan itu membuat saya tertantang untuk menjadi lebih baik lagi dari beliau berdua."

Guru besar di hadapanku itu tersenyum,

"Tapi Nadia, apa yang bisa lebih baik dari Mama kamu yang dokter spesialis anak, juga ayah kamu yang seorang dokter spesialis bedah thoraks konsultan dan sebentar lagi mendapatkan gelar profesornya. Oh, jangan lupa keduanya juga pendiri dan pemilik rumah sakit swasta besar di kota ini. Apa yang bisa lebih baik dari itu Nadia? Bukannya tantangan kamu jadi berat sekali?"

Kali ini aku balik tersenyum, tau pertanyaan semacam itu akan dilontarkan.

"Dokter yang mencintai keluarganya," Jawabku sambil menahan senyum getir, "Maksud saya, seorang dokter yang bisa sukses dalam karirnya, dikenal baik oleh pasien-pasiennya, tetapi juga bisa membagi waktu dengan keluarganya, menyisihkan waktu walau hanya satu hari untuk menghabiskan waktu dengan putra-putrinya di rumah. Menurut saya itu bisa mengalahkan kehebatan kedua orang tua saya."

Ketika kedua guru besar di hadapanku itu tampak terkejut dengan jawabanku, aku melanjutkan.

"Karena kesuksesan seorang dokter tidak melulu dilihat dari seberapa banyak uang yang dia hasilkan atau seberapa dikenal jurnal-jurnal yang telah berhasil diterbitkan di dunia kedokteran internasional. Kesuksesan seorang dokter justru dapat dilihat dari rumah, yaitu dari seberapa sehat ia dapat memenuhi kebutuhan fisik dan batiniah keluarganya sendiri."

Primum, Non Nocere (First, Do No Harm)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang