six : hinc itur ad astra

144K 17.2K 1.7K
                                    

from here, the way leads to the stars

________________________________

As a doctor, ada beberapa pelajaran yang kadang tidak kita dapatkan secara teori atau saat kuliah tatap muka, dan justru kita dapatkan dari pengalaman kita sendiri di lapangan. Kita belajar langsung tentang pentingnya menghargai sebuah waktu, tentang arti penghormatan kepada para guru dan senior termasuk pada pasien-pasien yang kita temui, juga belajar tentang arti sebuah kehidupan serta kematian.

Dan akhirnya tiba sudah untukku mendapatkan langsung pelajaran terakhir itu.

Hari itu dua hari menjelang ujian stase anestesi, aku dan Ergi masih berjibaku dengan rumus-rumus kebutuhan cairan tubuh di sela-sela jaga siang. Tiba-tiba sebuah telepon masuk ke ruang jaga kami, konsulan dari koas anak yang membutuhkan bantuan anestesi untuk intubasi bayi baru lahir.

Setelah menghubungi dokter Hisyam, kami segera berlari ke ruang resusitasi bayi baru lahir di IGD. Jadi di situlah aku lihat si bayi malang itu, tengah terbaring di atas meja resusitasi. Kulitnya pucat, ia tidak menangis sama sekali, hanya merintih, tetapi sangat pelan meskipun sudah diberikan rangsang tangis di sana sini. Tampak dua orang koas anak sedang berusaha memberikan napas buatan untuk si bayi. Jika hanya itu saja, sebenarnya itu pemandangan biasa, terutama jika berada di bangsal NICU. Karena di sana tempatnya malaikat-malaikat kecil berjuang hidup setelah beberapa saat terlahir ke dunia. Yang membuatku mulai merasa tidak karuan adalah ketika aku mendekati nurse station, dan seorang perawat senior tengah menjelaskan sesuatu kepada seorang bapak tua yang adalah kakek si bayi.

"Apa nih, Gi?" dokter Hisyam sudah datang dan bertanya pada Ergi.

"Neonatus, lahir satu jam yang lalu, dengan asfiksia berat. Lahir dari ibu usia tujuh belas tahun, G1P0A0, hamil aterm, SC atas indikasi kala dua lama, gagal vacuum dan fetal distress. Bayinya apneu dan pro intubasi, Dok."

"Yaudah, ayo! Mana alat intubasinya?" Ergi melirikku, satu set alat intubasi yang ia tenteng ragu-ragu hendak ia berikan.

"Kenapa? Ayo! Bayinya udah mau mati ini!" bentak dokter Hisyam gemas saat melihat sendiri kondisi bayi yang napasnya kadang ada kadang tidak.

"Dokter, mohon maaf ini keluarganya belum tanda tangan informed consent penggunaan ventilator." Ujarku akhirnya setelah menyimpulkan perbincangan di nurse station.

"Kok bisa?!"

Aku menghela napas.

"Tadi waktu dijelaskan kalau bayinya butuh pernapasan bantuan segera, mereka setuju dok. Tapi begitu tau biayanya per hari, mereka mikir-mikir lagi, Dok. Dan ini bayinya belum didaftarkan BPJS." Jelasku dengan tenggorokan yang tercekat, ngenes.

"Jadi kalian manggil saya ke sini for nothing??? Saya itu capek ya belum tidur semalaman, kalau memang keputusannya belum jelas begini ya pastikan jelas dulu! Ini bayinya mau diselamatkan apa nggak?? Kalau sudah punya jawabannya, baru panggil saya lagi! Jelas kalian??"

Aku dan Ergi menunduk, Ergi karena takut dimarahi sedangkan aku karena menyembunyikan air mataku yang jatuh ketika melihat wajah murung si kakek.

Dan dokter Hisyam pergi.

Lamat-lamat kuperhatikan wajah bapak tua itu, si kakek yang terduduk, punggungnya bersandar di dinding IGD, raut wajahnya menunjukkan kebingungan, lalu ia mengusap wajahnya yang kusut itu. Tidak tahu harus mengambil keputusan apa, padahal waktu semakin mendesak. Aku tau ia dilema, saat ia tadi memutuskan untuk mengatakan "IYA" diintubasi, pasang ventilator, karena ia pasti melihat harapan hidup bagi cucunya. Tapi begitu tau dana untuk 'hidup' cucunya tidak mencukupi, ia hanya pasrah, membiarkan waktu perlahan membawa harapan hidup cucunya semakin menjauh.

Primum, Non Nocere (First, Do No Harm)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang