6. Masa Kecil Suamiku

12.8K 537 5
                                    

Perjodohan
hanyalah salah satu cara
bagaimana cinta menemukan pemilik hatinya.

_______________

Hari kedua di Sukabumi

Akhirnya aku selesai mandi. Dinginnya air pegunungan membuat badanku lebih segar dari biasanya. Kulangkahkan kaki keluar kamar, kuedarkan pandanganku ke penjuru ruang. Tak ada seorang pun, kemana pembangkang itu, batinku.

Kulihat Mbok Sumi memasuki ruang tamu, membawa sekeranjang ubi.

"Mana Andrea, Mbok?" tanyaku.

"Ohh, Non Andrea, tadi pamit jalan-jalan gitu, Den."

"Ckk, dia kan nggak tahu daerah sini?" kuseruput secangkir kopi di meja tamu. Ya, mbok Sumi sangat memahami kebiasaanku, kopi di pagi hari.

"Iya, tadi saya sudah minta Didin untuk menyusul, takut Non tersesat."

Aku mengkerutkan dahi, jadi dia jalan sama... Ckk...pagi-pagi sudah bikin kesal.

Aku melangkah keluar. Aku harus mencarinya. Baru saja kakiku mencapai halaman, kulihat Andrea melangkah melewati pagar bambu. Dia, tak sendiri, dan...mataku tiba-tiba memanas melihat Adrea, pakaiannya basah di bagian bawah dan...

Setengah berlari, kudekati mereka, "Lepasin!" kukibaskan tangan pemuda yang berjalan disamping Andrea, tepatnya memapahnya. Didin, sedikit tersentak, kemudian menundukkan kepalanya.

"Ma, maaf, Den," ujarnya takut.

Aku mengacuhkannya, menoleh pada Andrea, "dari mana kamu?" tanyaku ketus.

Bukannya menjawab pertanyaanku, tapi malah membalas tatapanku dengan sengit. Huufff wanita ini...

"Makasih ya A," ucapnya pada Didin, mengabaikan pertanyaaku.

Kemudian dengan tertatih, melangkah ke dalam rumah. Apa yang terjadi dengannya. Aku menatap Didin meminta penjelasan.

"Maaf, Neng Andrea jatuh tadi, di pinggir sungai, kakinya terkilir sepertinya," ucapnya takut-takut.

Lalu, tanpa komentar apapun, kutinggalkan pemuda itu. Kutemukan Andrea sedang duduk di tepi ranjang sambil mengurut-urut pergelangan kakinya.

"Itu ganjarannya kalo pergi nggak pamit suami."

Dia hanya membisu, rautnya terlihat kesal.

"Jadi, pagi ini kamu jalan-jalan, sama Didin, sampai pegang-pegangan gitu?" ucapku sinis. Tentu saja aku tahu kata-kata terakhirku itu tidak benar. Entahlah kenapa hatiku sangat...kesal.

"Terserah anggapanmu, nggak penting bagiku," gumamnya pelan, namun terdengar jelas di telingaku

"Andrea!" teriakku emosi, kudekati dia dan kupegang kasar rahangnya dengan satu tanganku. "Dengar, kau pikir aku peduli padamu, hah! Aku hanya peduli nama baikku, jaga sikapmu, kamu is-tri-ku," ucapku penuh penekanan.

Kulepaskan tanganku, kulihat matanya mulai berkaca-kaca.

Kuambil kotak obat di dalam koper, lalu jongkok dihadapannya. Tanpa kata, kuraih kakinya agak kasar.

Karena Jodoh Tak Pernah SalahTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang