Chapter 1: Hari Berhujan (Gilang)

469K 20.7K 607
                                    

Hujan lagi.

Hal itu yang pertama kali terlintas di pikiran Gilang saat hendak latihan basket bersama teman-temannya. Cowok berpostur tubuh tinggi, tegak dan kurus itu meremas rambut hitamnya yang pendek dengan gemas. Ia dan teman-temannya sudah berganti pakaian dari seragam sekolah—celana motif kotak-kotak hijau lumut dengan atasan kemeja putih plus rompi tanpa lengan yang senada dengan motif pada celananya, menjadi baju latihan tim basket kebanggaan sekolah—baju tanpa lengan berwarna merah dan biru. Beberapa dari mereka membawa bola basket di tangan mereka.

"Jadi gimana?" tanya salah seorang murid kelas sepuluh sambil menepuk pundak Gilang. Gilang memperhatikan sejenak hujan yang mengguyur lapangan basket dari basecamp tim basket—di lantai dua gedung yang berada tepat di sebelah lapangan basket.

"Kayaknya bakalan lama nih hujan," gumam Gilang. "Latihannya ditunda besok. Kalian kumpul di lapangan jam pulang sekolah," putusnya selaku kapten dadakan karena Dito, si kapten tim, sedang absen, Gilang didaulat mengawasi tim untuk latihan hari ini.

Gilang tau, itu hanya akal-akalan Dito saja agar dia datang latihan.

Satu persatu pamit pada Gilang dan keluar dari ruangan tersebut. Hanya butuh selang waktu 30 menit sampai ruangan itu hanya menyisakan dirinya dan Nando—teman kelasnya.

"Nggak pulang, bro?" Tanya Nando sambil menenteng tas ranselnya yang tampak ringan. Cowok itu berpostur tubuh tinggi, lebih tinggi dari Gilang. Kulitnya kecoklatan karena kegemarannya bersenang-senang dibawah matahari. Senyuman manisnya yang membuat lutut perempuan manapun bergetar—menjadikannya sebagai idola kaum cewek di sekolah.

"Nunggu hujan reda dulu." jawab Gilang. Ia duduk di bangku depan jendela yang menghadap ke lapangan basket sambil mengeluarkan headphone dan iPodnya.

"Galau lo?" Nando terkekeh.

"Sotoy." Gilang melemparkan sebuah bola, yang segera ditangkap Nando. "Masukin ke gudang, ya," pesan  Gilang.

"Siap, Bos. Gue duluan, ya," pamit Nando.

Sekarang hanya Gilang yang berada disana. Ia mengurungkan niatnya untuk mendengarkan lagu dan memutuskan untuk mengisi perut di kantin. 

--

Koridor sekolah sangat sepi. Pembelajaran memang telah selesai sejak satu jam yang lalu. Hanya beberapa murid yang terlihat disana, tampak sedang menunggu penjemput atau menunggu hujan reda seperti dirinya. 

BRAK!

Terdengar suara meja dibanting saat Gilang melewati koridor kelas X. Ia sontak menoleh lalu melongokkan kepala ke dalam kelas X-3, asal suara tadi.

Meja dan kursi di dalamnya berantakan. Di sudut ruangan, terdapat seorang gadis, berambut hitam panjang sedang berjongkok, memeluk lututnya dan membenamkan wajahnya disana. Beberapa helai rambutnya menyentuh lantai. Kedua tangan gadis itu menekan kuat-kuat kedua telinganya, seperti menolak untuk mendengar sesuatu.

Gilang terkesiap. Ia mungkin berpikir gadis itu bukan manusia kalau tidak melihat ujung kakinya yang jelas-jelas menapak pada lantai. Gilang menghampiri gadis itu dengan langkah ragu-ragu.

"Lo kenapa?" tanyanya. Gadis itu mendongak. Matanya yang cokelat terang tampak berkaca-kaca saat membalas tatapan Gilang.

Gilang mengulangi pertanyaannya. Gadis itu hanya menggeleng pelan sambil tetap menutup rapat kedua telinganya.

Gilang mengulurkan sebelah tangannya, bermaksud memberi gadis itu bantuan untuk berdiri. Tapi ia hanya menatap Gilang dengan sorot mata ketakutan.

“Hm?” Tangan Gilang masih terulur kearahnya. Gadis itu kembali menggeleng.

“Hujan—“ gumamnya, “Di luar hujan.”

Gilang mengernyit. Cewek aneh.

Ia melemparkan pandangan keluar lewat salah jendela yang berada di kelas tersebut. Hujan masih turun, tapi tidak sederas tadi.

“Hujannya sudah reda,” Gilang kembali mengulurkan kembali tangannya ke arah gadis itu. “Ayo, berdiri.”

Gadis itu melepaskan kedua tagannya dari telinganya dengan takut-takut. Hujan di luar sudah tidak menimbulkan efek suara di dalam ruangan tersebut. Ia menyambut uluran tangan Gilang dengan ragu.

Thanks,” katanya sambil merapikan seragamnya yang kusut akibat terlalu lama berjongkok.

No problem,” sahut Gilang. “Mau keluar?” tanyanya. Gadis itu mengangguk. Ia mengeluarkan jaket berwarna pink soft dari dalam tasnya lalu mengenakannya . Ia dan Gilang pun berjalan beriringan meninggalkan ruang kelas.

Hujan yang masih turun membuat efek suara di koridor sekolah. Lantas membuat gadis itu menutup telinganya rapat-rapat. Ia membalikkan badan, bersiap untuk kembali ke dalam kelasnya. Tapi lengannya dicegah oleh cowok disebelahnya.

Cowok itu heran. Kenapa mesti takut sama hujan gerimis?, pikirnya. Namun alih-alih mengajukan pertanyaan, ia menyodorkan headphone miliknya. "Nih,"

“Ma—makasih,” Gadis itu menerima headphone itu. Dengan gerakan cepat, ia memasangkannya ke telinga, menyambungkannya dengan handphone-nya lalu menyetel lagu secara acak dengan volume penuh. Kini ia merasa lebih baik.

“Gue Gilang, XI IPS 1. Kalau mau balikin, datang aja ke kelas gue,” kata setengah berteriak agar gadis itu mendengarnya.

Kedua sudut bibir gadis itu melengkung ke atas. Ia mengangguk, menandakan ia mendengarkan ucapan cowok yang berdiri disebelahnya itu.

Gadis itu berbalik, menyusuri koridor menuju halaman parkir sekolah. Tanpa menoleh ke belakang.

Cewek aneh, batin Gilang.

Gilang terus menatap punggung gadis itu yang semakin lama, semakin menjauh. 

Gilang terdiam. Tunggu. Kayaknya gue familiar sama mukanya. Tapi, siapa?

Ada sebersit rasa penasaran yang mencuat dalam diri Gilang. Ia masih memandang punggung gadis yang kini membawa headphone-nya. Rasa penasaran itu mendorongnya untuk mengejar gadis aneh itu.

"Hei!" teriaknya, tak membuahkan hasil.

Gilang mengejarnya dan berhasil menyentuh pundak gadis itu. Ia terlonjak kaget, sekaligus heran.

"Kenapa?" tanyanya, setengah berteriak.

"Nama lo siapa?" tanya Gilang.

"Apa?" Ia tidak mendengar pertanyaan Gilang.

Gilang menghela nafas, kembali mengulang pertanyaan yang sama, "Nama lo siapa?"

"Pelangi."

Rain SoundTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang