Alois no Koi

1.3K 76 37
                                    

Musim dingin di akhir tahun 1888. Diana termangu memandangi pamannya, Viscount Druitt, berceloteh tentang indahnya kepingan salju yang turun dan bunga-bunga musim dingin. Karena sudah hampir seluruh hidup Diana tinggal dengannya, ia sanggup menahan diri. Tentunya ia merasa bosan, sama sekali tak tertarik dengan omong kosong Druitt. Diana melemparkan pandangan ke jendela sebelah utara. Mata birunya menangkap sebuah kereta kuda yang melintas. Sepasang mata berwarna emas tengah memandanginya, seakan memberi isyarat agar gadis kecil itu menghampirinya.

Diana bangkit dan berlari ke pintu utama. Druitt meneriakinya, tapi tak satupun ucapan sang paman dihiraukan Diana. Ia menginjak salju tebal dengan sepatu rumahnya yang berwarna ungu. Nafas Diana segera berubah warna menjadi putih. Ia mengeluh karena tidak mengambil cape hitamnya.

Sekonyong-konyong kereta kuda itu muncul di sudut jalan. Diana segera berlari menyongsongnya. Akal sehatnya seakan tak berfungsi; melintasi jalan raya yang dingin dengan selembar gaun rumah berwarna merah muda dan rambut biru yang berantakan. Ia sama sekali tak terlihat seperti putri bangsawan keponakan ahli estetis.

Perempuan berusia tiga belas tahun itu berbelok di tikungan jalan, dan mendapati kereta kuda itu menunggunya di sana. Seorang pria tinggi berbaju tailcoat hitam turun dari kereta kuda dan membukakan pintu untuk seorang anak laki-laki berambut pirang.

Diana mengenalnya. Buru-buru ditundukkannya kepala pada bangsawan terkemuka itu.

Alois Trancy memasang ekspresi angkuh, memandang Diana tanpa minat. Ia berpaling pada butler-nya dan menyuruhnya bergegas. Claude Faustus melangkah maju. Tangannya terulur hendak menyentuh Diana, namun gadis itu cepat-cepat menyingkir karena reflek.

Sejurus kemudian, tatapan tajam Claude menyadarkan Diana. Wajahnya berubah pucat dan kecemasan mengaliri dirinya.

“…maaf,” sahut Diana pelan. “Aku dididik agar tidak mudah disentuh… lelaki.”

“Well, sebaiknya kau menjaga sikapmu di depan Your Highness,” balas Claude. Ia mengulurkan tangannya lagi dan menyentuh pipi Diana yang dingin.

“Aku hargai kerja kerasmu mengejar kami, Cartlitte,” sela Alois. Ia melipat tangannya di belakang punggung dan berjalan mengitari Diana. Matanya memperhatikan Diana dari ujung kaki ke ujung rambut. “Juga pengorbananmu keluar rumah di hari sedingin ini.”

Kali ini Diana tidak berani bergerak maupun menepis tangan Alois yang meraih telapak tangannya. Alois merangsek maju, membiarkan wajahnya berada sangat dekat dengan wajah Diana yang kini terasa panas.

“Your Highness…”

Suara Diana terdengar gemetar. Kalau saja yang berada di hadapannya bukanlah pejabat, tentunya Diana telah melarikan diri. Namun ia tak bisa berkutik. Salah-salah, pamannya yang akan menanggung hukuman karena kedua orangtua Diana telah tiada.

“Kudengar, kau diasuh Druitt, ya?” Alois menarik-narik rambut biru Diana. “Heran, kok kamu bisa bertahan dengan orang aneh itu.”

Diana terdiam, tidak berani menanggapi. Namun sepertinya Alois justru mengharapkan tanggapan. Dengan seringai sinis ia menendang perut Diana. Sepatu boot coklatnya yang tinggi menghantam gadis kecil itu, membuatnya terduduk menahan perih.

“Kau seharusnya menanggapiku.”

“…maafkan saya, Your Highness,” Diana mencoba bersuara sementara rasa sakit menjalar ke organ-organ tubuhnya yang lain. Dengan segala ketidakberdayaannya, Diana digendong Claude dan diboyong ke dalam kereta kuda. “Your Highness?”

Alois duduk di samping Diana, menatap wajah pucat gadis itu. Claude duduk di kursi seberang, dan kereta kuda mulai menderap lagi. Selama perjalanan, Alois tak henti-henti memandangi dan menggoda Diana. Bocah bermata biru itu sangat menikmati waktunya untuk mempermainkan Diana.

Alois no KoiDär berättelser lever. Upptäck nu