Wounds Heal, Scar Left (2/8)

450 51 1
                                    

Ketika pandangan laki-laki itu tidak lagi memperhatikan keramaian di depan rumah makan tempat dia bekerja, kepalanya beralih menghadap lurus senada tubuhnya kini. Dia tertegun mendapati si Gadis yang barusan terjatuh menatapnya tanpa berkedip. Kontak mata mereka pun tersambung setidaknya beberapa detik. Kening laki-laki yang mengenakan celemek itupun berkerut menyadari sepasang mata itu mendadak berlinang. Dari jarak mereka yang dekat, dia yakin gadis itu sedang melihat ke arahnya. Tapi apakah mereka saling mengenal?

Berkedip seolah tersadar dari lamunan, gadis itulah yang duluan memutus kontak mata mereka. Dia menoleh ke samping, tepatnya ke bagian bawah. Laki-laki itupun mengikuti arah pandang gadis itu dan dia menemukan banyak tangkai mawar yang agak berserakan, keluar dari kertas pembungkusnya.

Si Gadis berjongkok memunguti mawar-mawarnya dengan hati-hati. Sebagian kelopak yang terlepas juga dipungutnya. Bahkan hanya dari sudut matanya pun si Laki-laki tahu, gadis itu merasa sangat sedih. Sorot matanya yang sendu tampak begitu menyayat hatinya. Berinisiatif, dia pun segera keluar dari dalam rumah makan untuk membantunya.

Laki-laki itu menyingsingkan lengan lalu berjongkok di depan si Gadis dan membereskan mawar-mawar tadi dengan cepat tanpa merusaknya. Warna merah kelopaknya mulai menggelap diterpa panas. Laki-laki itupun berpikir, jika terlihat begitu sedih, gadis itu pastilah membeli mawar tadi untuk sesuatu yang amat penting.

"Kau harus cepat-cepat menaruhnya dalam vas yang berisi air," kata si Laki-laki, membuat gadis tadi menatapnya kembali.

Mereka bersamaan berdiri dan gadis itu memeluk erat bungkusan mawarnya di depan tubuh.

"Tasmu dicopet kan? Bagaimana kalau kau lapor polisi dulu?"

Alih-alih menjawab, genangan air di pelupuk mata gadis itu bertambah. Kelopak mata bawahnya tidak lagi bisa menampung hingga akhirnya setitik air matanya jatuh, mengalir di pipi kanan. Laki-laki itu terkejut lalu panik. Gadis di hadapannya menangis tanpa suara.

"Kau terluka? Mau masuk ke dalam dulu?"

Gadis itu lagi-lagi tidak menjawab. Namun kali ini kedua tangannya kemudian terangkat mengulurkan bungkusan mawar miliknya. Ke arah mana bunga merah itu disodorkan, membuat laki-laki di depannya tertegun tidak mengerti.

"Ambillah..," kata gadis itu pelan. Mata sendunya semakin kuat menyorot. Secara tidak langsung memaksa si Laki-laki menerima pemberiannya tanpa perlu bertanya.

Setelah bungkusan mawar itu diambil, kedua sudut bibir gadis itu terangkat membentuk seulas senyum walaupun dua garis kemilau menghiasi pipinya. Senyum itu tidak hanya sekedar bermakna senang, namun melukiskan kebahagiaan tidak terkira meskipun laki-laki itu sendiri tidak tahu sebabnya.

Seolah-olah sebelum detik ini mereka bertemu, kehidupannya berkubang dalam air yang keruh dan mengental. Siapa pun tidak akan hidup lama di dalamnya. Tidak ada cahaya yang bisa meringsek masuk, juga tidak ada udara yang bisa dihirup.

"Chan! Chan! Dipanggil bos tuh!" seru seseorang dari dalam rumah makan.

Mendengar namanya disebut, laki-laki itupun mendesah keras. Awalnya dia bersyukur karena rumah makan mereka sepi pengunjung. Memang bukan hal yang menguntungkan, tapi setidaknya dia bisa melakukan aktivitas yang lain, seperti... melanjutkan pahatan kemarin?

"Kau mau masuk ke dalam?" tawar laki-laki bernama Chan itu. "Aku bisa membuatkanmu teh hangat." Buru-buru dia menambahkan saat teringat tas gadis itu baru saja dicuri. "Gratis."

Gadis itu tersenyum pertanda merespon baik. Mereka lalu masuk ke dalam. Chan langsung menghambur ke ruangan dalam, meninggalkan gadis yang diajaknya—yang bahkan belum dipersilakan duduk. Satu orang lagi laki-laki di sana yang sepertinya pelayan berlari kecil menghampirinya lalu menarik sebuah kursi.

GlasshouseTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang