Kisah Abdul

16 1 0
                                    



Seorang pemuda tergeletak tak berdaya di sebuah gang sepi. Rambut gondrongnya tergerai berantakan. Napasnya tersengal satu-satu, perlahan, dari hidungnya yang lancip. Tangan kanannya terkulai lemah di sisinya, sedang tangan kirinya mencengkram erat perut kurusnya—yang jarang terisi, berusaha menahan laju darah merah pekat yang berusaha menghambur ke luar tubuhnya. Tatapan matanya yang tajam tampak meredup. Telah berkali-kali dia, Abdul, mencurangi kematian. Tampaknya, kini jemputannya telah tiba.

Seorang anak kecil, berumur sekitar delapan tahun, menatapnya dengan wajah pucat. Berpakaian kaos dan celana pendek seadanya, dengan tatapan khawatir mengamati Abdul. Kepanikan memenuhi kepala kecilnya yang botak plontos. Bendu namanya, namun Abdul selalu memanggilnya dengan sebutan Tengil. Sesuai dengan tingkahnya yang selalu jenaka namun memancing jitakan di kepala plontosnya. Anak ini kabur dari rumahnya, tiga hari yang lalu. Tidak tahan karena selalu diganggu hantu di sana, katanya. Tapi di jaman modern macam ini, mana ada yang percaya?

Abah dan Ambunya, selalu menceramahi Bendu tiap dia menceritakan apa yang dia lihat dan alami. Namun tidak pernah memberikan solusi padanya. Hingga suatu malam tiga hari yang lalu, saat dia ditinggal sendiri oleh orangtuanya, makhluk dari dalam cermin tersebut mencengkramnya erat. Entah kekuatan dari mana, si Tengil berhasil meloloskan diri, dan kabur tanpa arah.

Takdir mempertemukannya dengan Abdul, seorang tukang parkir di mini market, seberang masjid Ar Rahman, sekitar 15km dari rumah Tengil. Abdul sendiri tinggal menumpang di masjid tersebut, sebuah kamar berukuran 2x3 meter di belakang toilet menjadi tempatnya melepas lelah di malam hari. Kamar itu gratis digunakan olehnya, dengan syarat setiap pagi dan sore, dia harus menyapu dan mengepel masjid. Mendapat kamar gratis di kota Jakarta, tentu Abdul langsung setuju. Hari ini, genap satu tahun ia tinggal di sana.

Ya, tepat pada tanggal ini, setahun yang lalu. Abdul turun dari bus AKAP yang mengantarnya ke ibukota Indonesia, Jakarta. Sebuah kota dengan seribu mimpi, dengan jutaan peluang. Tapi tentu, bukan itu yang Abdul cari. Dia hanya pengecut yang melarikan diri dari kampung, setelah melakukan kesalahan fatal di sana. Hanya berbekal uang seadanya, pakaian pun hanya yang melekat di badan, dia nekat pergi ke Jakarta.

Sebuah pertemuan yang unik, ketika Abdul berhasil mencegah pencopetan yang akan dialami oleh seorang ibu-ibu di bus AKAP tersebut. Bu Haji, Abdul memanggilnya, dengan tubuh yang berukuran ekstra besar tersebut, tengah kerepotan menurunkan bawaannya. Ketika itu, seorang lelaki dengan dandanan rapi layaknya pekerja kantoran, menabrak Bu Haji, dan dengan gerakan lincah berhasil memindahkan dompet dari tas Bu Haji ke dalam kemejanya. Beruntung, Abdul melihatnya. Dua buah bogem mentah dari Abdul yang biasa bercocok tanam di kampung halaman, berhasil membuat copet tersebut jera.

Setelah membawa pencopet ke pihak berwajib, kemudian mengalami interogasi yang intens—sebuah prejudice pada penampilan Abdul, mungkin—dari polisi dan Bu Haji, akhirnya Bu Haji memaksa Abdul untuk mengikutinya ke rumahnya di kawasan Tomang. Di sana, ia disambut oleh keluarga Bu Haji; Pak Haji Zain, suami Bu Haji, juga Ma'ruf dan Samsul, dua anak lelaki mereka. Rupanya Bu Haji telah menceritakan pengalamannya pada keluarganya, sehingga mereka telah menyiapkan hidangan mewah—menurut Abdul—untuk makan malam. Abdul yang belum mendapat pasokan nasi sejak dua hari yang lalu, tentu segera mengiyakan saat diundang makan. Santap makan tersebut diakhiri dengan amanah Pak Haji Zain pada Abdul, untuk membantu merawat Masjid Ar Rahman.

Mendadak rasa sakit pada luka di perutnya terasa menyengat, membuat lamunannya akan hari kedatangannya di kota metropolitan ini terganggu. Abdul hanya bisa menggeram menahan sakit yang teramat sangat. Tusukan pisau tersebut cukup dalam, kemungkinannya merobek usus besar, cukup tinggi. Beruntung, lebar tusukan hanya beberapa senti. Sial, tenaganya telah habis, dan kini hanya bisa menunggu ajal. Darah yang berusaha dihentikannya, terus merembes deras. Tengil, dalam panik, berusaha menyemangati Abdul. Kemudian setelah mengucapkan kata-kata yang tak jelas, dia berlari dari gang tersebut.

Sore itu, Abdul mengajak Tengil untuk makan bakso di warung Kang Manja, sebuah warung bakso yang sedang naik daun karena kelezatannya. Warung tersebut bahkan sempat diliput oleh tayangan kuliner di televisi. Abdul menyaksikannya saat makan siang di warteg sebelah rumah Pak Haji Zain. Di hari biasa, tidak mungkin Abdul mengajak Tengil makan 'mewah' seperti ini. Tapi sebagai syukuran satu tahun ia menetap di Jakarta—dan masih bertahan hidup, tanpa seorang pun sanak saudara di sini—Abdul pun membuka celengan kalengnya untuk mengajak Tengil makan di tempat ini. Ia berencana menggunakan kelezatan bakso untuk membujuk Tengil agar kembali ke rumahnya. 

Malang tak dapat ditolak, beberapa meter sebelum tiba di warung, di tempat ia tergeletak kini, ia melihat seorang lelaki dewasa tengah mengancam anak laki-laki berumur belasan tahun dengan pisau tajam. Anak laki-laki kurus berkacamata itu terlihat tidak panik di bawah todongan pisau, dia malah mengucapkan sesuatu yang membuat si pengancam mengamuk.

Melihat gelagat yang tidak baik tersebut, Abdul segera melesat dan mencengkram tangan si pengancam. Tak dinyana, reflek si pengancam sangat bagus, sebuah bogem mentah mendarat di rahang Abdul, membuatnya berkunang beberapa detik. Dan dalam detik-detik tersebut, situasi berubah dari runyam, menjadi bencana. Anak laki-laki tersebut meninju ulu hati si pengancam, kemudian melesat berlari menjauh. Si pengancam menusuk perut Abdul dengan pisau tajamnya, kemudian berlari mengejar anak laki-laki tadi. Abdul langsung jatuh tergeletak dengan perut penuh darah. Sedangkan Tengil, berteriak panik dan mengoceh tak karuan.

Matahari senja bersinar jingga, menemani napas Abdul yang semakin terbata. Bising keramaian kota mengalun indah, bagai musik pengantar kematian untuknya. Di tengah pandangan yang semakin kabur, Abdul memerhatikan sosok Tengil yang tengah sibuk mencegat orang-orang di jalanan. Larik demi larik terpampang di benaknya, menggambarkan perasaannya saat ini.


Bising kota melebur, menyatu

Jadikan orkestra, nyanyian, lagu

Bagi jiwa, kini meregang, membisu

Tergeletak ditangisi Bendu


Abdul namanya, Tuan; kau kata

Sekarat akibat tusukan; ibamu, jeri

Berharap ulur tangan dari baik hati

Namun lalu lalang, tiada henti

Bagi laknat macam kita, acuh tiada


Cukup usahamu, Tengil

Maut telah menyapaku, centil

Kuyakin neraka, t'lah memanggil

Bagi jiwa kotor, bernoda, terkucil

Kan kusambut, meski menggigil


Tengil, kuharap bahagiamu nanti

Kembalilah pada terang dunia

Cukuplah diri meregang dalam sepi

Abah Ambu, butuh kau, ceria.


Usai meracau demikian, tubuh Abdul menegang. Rasa sakit yang teramat kembali menyerangnya. Kesadaran yang telah dijaganya cukup lama, semakin menjauh. Saat kesadaran semakin menipis, dan kegelapan melanda dunianya, terdengar sayup-sayup suara orang panik. Ah, Tengil, terima kasih. Membawa senyuman, Abdul mendekap gelap.


Saat gelap telah ia dekap, entah dari mana terdengar bisikan halus, "Puisi bagus. Kau mau, mengubah takdir?"

Short StoriesWhere stories live. Discover now