[1] What's Wrong with that Song

55 3 1
                                        


"Kalau membunuh itu tidak dosa, sudah ku bunuh dia di depan mataku tadi." Guaman itu terasa sangat keras ketika ia mengguam di sisi terotoar yang sepi di eve-street.

"Kalau saja membunuh itu di boleh kan seperti mengupas apel di siang bolong, aku akan kuliti manusia-manusia biadab itu. Tidak berpendidikan, tau apa dia soal uang. Berkerja untuk dirinya sendiri saja tidak. Memakai pakaian yang tidak pantas. Kotor, bau menyengat, tato di mana-mana. Memaksa agar diberi uang atas upahnya berteriak-teriak yang dia bilang menyanyi padahal memekakan telingaku. Sok tahu berkata akan sebuah keadilan, sok tahu akan sebuah keberhagaan. Sok tahu akan sebuah pendidikan. Dia kira sesepele itu? Bersihkan badan mu dulu brengsek! Baru kau bisa bersih kan mulut mu yang sok tahu itu. Jika berteriak-teriak sepertimu bisa membuat kaya, kenapa semua orang berebut mengambil pendidikan yang layak? Cih, kau berlaga makhluk paling tau. Tau apa kau?! Jika tidak diberikan uang kau memaki, berkata bahwa mereka yang tidak memberi mu uang itu miskin. Cih, miskin mana aku dan dirimu? Aku memang hanya memiliki uang sedikit, tapi aku memiliki otak dan kosa kata yang lebih banyak dari pada yang kau gunakan. Berkata 'dasar pelacur kampus' pada orang-orang yang tidak memberi mu uang. Apa-apaan in? Seakan kau tidak pernah berkaca. Kau lebih baik dari kami? Hingga memaki seperti itu. Jangan kan berfikir sepertinya, mandi dan memantaskan dirimu untuk orang lain saja kau tak bisa bukan? Lagi pula rugi aku jika aku memberimu uang. Paling-paling hanya dipakai untuk memberi 'tuhan 9 cm'-mu itu. Lalu narkoba? Atau tidur dengan orang-orang yang sama 'tidak mau berfikir'-nya denganmu. Jangan-jangan kau berbagi dosa dengan orang-orang yang memberi mu uang. Dasar. "

Rasanya takkan habis gerutuannya soal manusia yang dia bilang tidak berguna itu. Tetap ia selusuri jalan.

***

"Hei, Ren. Selamat pagi nona jaksa." Suara itu begitu jelas dibelakang ku, ku menoleh ke belakang menemukan temanku yang berambut panjang ini sedang berjalan menghampiriku.

"Eh, hai Nobita."

"Sudah kubilang berulang kali nama ku Nobuko. Bukan Nobita. Huh!"

"Pronun-nya hampir sama bukan? Sudah sama kan saja." Kata ku sambil tertawa dan menepuk bahunya.

"Huh! Dasar hakim jahat." Katanya sambil menunjukan wajah tidak sukanya. "Oh ya Ren, kau ingat preman yang biasa berkeliaran di jalan Pokorin?"

"Iya aku ingat. Kenapa?"

"Tiga preman disana bunuh diri di tempat yang berbeda." Kata Nobuko dengan antusias. "Satu ditemukan di belakang gedung club malam, satu ditemukan di kamar mandi love hotel, dan satu lagi terkapar disamping tempat pembuangan sampah." Tambahnya. Aku melihat sisi antusiasnya sangat terang diwajahnya.

"Apa itu benar-bunuh diri? Bukan di bunuh oleh geng jalanan lainnya?" kataku sambil melangkah menuju gedung bertuliskan 'Fakultas Hukum'.

"Benar, Ren. Tidak ditemukan apapun di sekeliling TKP, bahkan sidik jari pun tidak ada sama sekali, hanya sidik jari si korban sendiri saja." Nobuko terhenti dibelakangku. "Ah, kau terlihat tidak tertarik ibu Jaksa."

"Nobuko-chan, bukan kah itu bagus, setidaknya angka kejahatan di Tokyo ini berkurang sedikit. Mungkin para brengsek yang mati bunuh diri itu sudah menyadari bahwa mereka tidak berguna untuk hidup, maka dari itu mereka bunuh diri. Iya kan?"

"Tapi tetap saja mencurigakan Ren-chan. Polisi sedang menyelidikinya." Tambahnya.

"Hmm..." singkatku menjawabnya.

Kami pun memasuki kelas untuk mengikuti perkuliahan.

Terlintas terpikir tentang apa yang dikatakan Nobuko, apapun alasannya kematian yang seperti itu tetap tidak bisa diwajarkan. Apa lagi kalau ini termasuk pembunuhan. Ya, entah lah, ini sudah jadi urusan polisi. Aku kan cuma mahasiswa semester akhir.

RANDOMWhere stories live. Discover now