svr || 00

109 11 0
                                    

Hujan badai disertai petir tak kunjung berhenti sejak tadi. Kilat terus menyambar secara bersahut sahutan.

Udara dingin memenuhi sebuah ruangan minimalis yang biasa disebut kamar. Terlihat sosok gadis yang beranjak dewasa dengan surai coklat terang dan juga iris caramel duduk gusar di tempat tidurnya. Bibirnya terus meracau sambil sesekali menengok pada jarum jam dan ponsel digenggamannya.

"Ibu, ayah cepatlah sampai rumah"

Anesta Zhapirre. Nama gadis itu.

"Semoga tak ada apa apa"

Entah sejak tadi perasaannya tak enak. Seperti akan ada sesuatu yang besar terjadi.

Tiba tiba pintu kamarnya terbuka lebar dengan sosok wanita paruh baya yang tergesa gesa. Wajahnya muram. Tampak seperti menaham sesuatu.

Anesta menoleh kaget, "Ada apa bi? Tumben bibi tidak mengetuk pintu dulu"

"Mmaaf nona. Bibi sedang kalut"

Anesta turun dari ranjang dan menghampirinya.

"Tenanglah bibi. Katakan ada apa pelan pelan"

"Aanu nona. Tuuan_ tuann" Bukannya tenang wanita paruh baya tersebut malah bertambah gugup.

Anesta tiba tiba dihinggapi kecemasan yang amat parah. Perasaannya semakin tak karuan.

"Anu apa bi, ayah kenapa?"

Bibi Dapne menarik napas panjang dan menghembuskannya kasar sebelum menjawab, "Tuan, tuan dan nyonya kecelakaan nona. Tuan meninggal ditempat sedangkan nyonya tengah dilarikan ke rumah sakit" lalu bunyi petir memekakkan telinga terdengar tepat saat bibi dapne menyelesaikan kalimatnya. Petir seolah mengejek dengan apa yang terjadi pada hidupnya saat ini.

Deg. Jantungnya serasa tertimpa puluhan ribu ton batu. Berhenti berdetak untuk sesaat. Napasnya sesak dan pendek pendek. Merintih. Seluruh tubuhnya kaku. Matanya memerah menahan tangis.

"Aapa? Aayah, ayah meninggal?" Dengan susah payah ia berusaha berucap.

Bibi dapne berusaha menopang anesta agar tetap berdiri.

"Bbaggaimana bisa terjadi? Ini tidak benar. Tidak!" Racau anesta tak percaya.

"Entahlah nona. Petugas mengatakan jika mobil tuan dan nyonya ada yang bermasalah. Mereka melaju dengan kencang sebelum akhirnga menabrak pembatas jalan. Dan petugas juga mengatakan bahwa ini merupakan kecelakaan tunggal"

Anesta berusaha mencerna di sisa sisa kesadarannya.

"Bukankah mobil ayah baru saja diperbaiki kemarin? Kenapa bisa ada yang rusak!"

Bibi dapne hanya menggeleng lemah.

Anesta semakin kalut, "Bibi antarkan aku kesana sekarang bi. Ayah, aku harus menemui ayah. Ayahku pasti tak apa. Ia hanya tertidur karna lelah. Dan mungkin setelah sadar ia akan menacariku"

"Ah tidak. Ibu juga. Ibu pasti menghawatirkanku sekarang. Ibu paling benci jika aku menangis. Ayo bibi antarkan aku. Jangan buat ibuku marah. Ayo kumohon" lalu anesta meraung keras melampiaskan rasa sesaknya.

"Nona tenanglah. Paman Sam akan mengantarkan nona nanti. Biarkan badai sedikit reda. Jangan sampai nanti nona juga akan kenapa napa"

Dua jam kemudian anesta sampai di rumah sakit tempat ayah dan ibunya dirawat. Penampilannya sungguh berantakan. Masih memakai piyama tidur. Sandal berbulu. Dan rambut acak acakan. Masa bodoh dengan pandangan orang disekitarnya ia tak peduli.

"Nona anesta?" Tanya seseorang. Mungkin bawahan ayahnya. Anesta mengangguk.

"Mari ikuti saya nona"

"Nona, anda tunggu di sini sebentar. Nyonya Anthea sedang ditangani oleh dokter. Saya akan mengurus administrasi dan lainnya"

Hampir setengah jam kemudian pintu tempat anthea dirawat terbuka. Dokter beserta suster suster yang membantu menangani anthea berhambur keluar dengan sisa peralatan yang berlumur darah.

Anesta beranjak, "Dokter, bagaimana dengan ibu saya?"

"Maafkan saya nona, nyonya anthea masih kritis. Jika anda ingin anda bisa menunggunya didalam" anesta mengangguk dan berterima kasih.

Ceklek. Di ruangan serba putih ini bau obat menyengat di mana mana. Bunyi alat alat medis begitu menyesakkan ditelinga. Sesak lantaran takut jika alat itu tiba tiba berhenti berbunyi. Lalu apa yang akan terjadi padanya?

Anesta mendekat. Duduk tepat dikursi samping brankar ibunya. Matanya menelisik. Ibunya selalu cantik. Bahkan dengan semua lebam dan bekas darah mengering di wajahnya.

"Ibu, anesta tau ibu kuat. Ibu selalu nurutin apa yang anesta mau. Anesta sayang ibu sama ayah. Anesta minta ibu bangun ya? Anesta gamau ibu tidur terus kayak ayah terus ninggalin anesta. Ato ibu marah ya sama anesta? soalnya tadi anesta nangis jadi ibu gamau bangun? Anesta janji gak akan nangis lagi!"

Setelah mengatakannya anesta menunduk sambil menggemgam tangan anthea. Dia terisak. Lagi. Bahkan semakin keras ia menahan isak rasanya semakin sesak.

"Anne" panggilnya sambil mengusap kepala anesta dengan tangan lainnya.

Anesta mendongak, "Ibu udah bangun? Ibu mau apa biar aku ambilin"

Anthea menggeleng samar.

"Kamu nangis anne? Ibu benci lihat kamu nangis. Jelek!" katanya sambil terkekeh dipaksakan.

"Enggak kok. Tadi cuma kelilipan doang waktu kesini"

Anthea mengangguk lemah, "Yauda kali ini ibu percaya sama kamu"

"Anesta"

Tidak biasanya anthea memanggil nama asli anesta bukan dengan nama kecilnya. Kecuali jika itu menyangkut hal penting dan serius.

"Kalo nanti ada apa apa sama ibu kamu janji jangan nangis ya. Kamu harus tetep kuat. Jangan pernah percaya sama orang. Termasuk om Dreynan. Dia jahat anne"

Anthea meraih amplop kecil dinakas lalu memberikannya pada anesta.

"Anne, jika mereka mengambil semuanya. Termasuk rumah kita. Pergilah ke alamat ini. Mereka tak akan bisa menemukanmu. Hanya ibu dan nenek yang tau rumah itu. Kamu tak perlu kaya. Hiduplah bahagia itu sudah cukup anne. Ibu juga sudah nyiapin tabungan ini buat kamu untuk jaga jaga"

"Ibu ngomong apaan sih. Ibu gak akan kenapa napa dan gak akan pernah kemana mana"

Sekarang satu yang ada dipikiran anesta. Mungkinkah penyebab kecelakaan orangtuanya adalah Dreynan? Kakak dari ayahnya sendiri.

"Anne, ibu sudah tau dari awal. Semuanya"

Anesta mulai panik. Tangisnya pecah lagi.

"Lalu kenapa ibu diam saja?"

"Ini takdir anne. Seberapa kuat ibu berusaha takdir akan selalu menang. Ibu telah kalah. Uhukk. Anne, waktu ibu terbatas. Ayah udah nunggu ibu di sana. Jaga diri kamu baik baik"

"Ibu. Ibu janji gak akan ninggalin anesta. Anesta gamau sendiri bu"

Anthea tersenyum, "Kamu nggak akan sendiri anne. Ibu sama ayah akan selalu sama kamu. Di sini" anthea menunjuk hati anne dan masih berusaha bicara dengan napas tersenggal.

"Kami berdua sayang kamu. Ibu janji nanti kalo udah waktunya kita bakal berkumpul lagi kayak dulu. Berbahagialah anne. Gadis kecil ibu"

Lalu perlahan anthea menutup mata dan helai napasnya mulai menipis hingga tak terasa lagi. Dia telah pergi bersama terkasihnya.

Tit titt titttt_______

Tbc. . .

THE SAVIOURTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang