Moment 1

2K 201 184
                                    

Kim Eungi memukul-mukul pundaknya yang lelah sambil memejamkan mata. Suasana yang awalnya terang berganti menjadi hitam. Layar gelap di balik mata itu memutar kegiatannya seharian. Siapa sangka bekerja sebagai seorang kasir di sebuah mini market akan sangat melelahkan. Sebenarnya berjalan di jalanan menanjak menuju rumahnya pun adalah sebuah tantangan besar. Kedua otot kakinya terasa dipelintir kejam; sangat sakit dan pegal. Belum lagi ia sempat mampir ke rumah sahabatnya—Jung Hoseok—untuk melakukan pekerjaan tambahan.

Jangan berpikir jika pekerjaannya adalah macam-macam, ia hanya dimintai bantuan untuk menenangkan dan menidurkan putranya yang rewel ketika malam. Laki-laki berumur dua puluh lima tahun tersebut bahkan tidak pernah berpikir untuk mengurus seorang bayi berusia satu tahun secepat itu sendirian. Namun, Tuhan sangat berbaik hati sehingga menitipkan seorang anak padanya. Sebagai sahabat, Eungi tentu tidak bisa menolak permohonan tersebut.

Kasihan, katanya. Sebab Jung Hoseok tinggal sendirian di Seoul. Bibi Jung dan adiknya—Jimin—memilih pindah ke Gangnam mengikuti suami baru ibunya yang dipindah tugaskan di sana. Jadi dia rela saja ketika para tetangga, bahkan ibunya sendiri menyebutnya sebagai ibu pengganti. Julukan itu tidak buruk, karena pada dasarnya gadis berambut panjang agak bergelombang itu menyukai anak kecil. Hyuka adalah bayi yang lucu dan menggemaskan, bocah itu bisa menjadi pelipur lara dan lelah dari penatnya kehidupan.

Justru ia akan sangat risi jika ibunya sudah berceloteh sangat menggemaskan tentang, “Kapan kamu akan punya pasangan?”

Lalu gadis itu akan menjawab dengan tensi masih santai. “Pertanyaan itu sama seperti, ‘Kapan kamu akan mati?’”

Karena memang sejak kejadian memalukan saat sekolah dulu, membuatnya mengalami perundungan dan hampir depresi, Eungi belum berani untuk membuka hatinya lagi. Sudah cukup sampai di sana ia menjadi bahan lelucon. Baginya semua laki-laki sama saja, hanya menilai penampilan wanita dari luar.

“Ya, Ibu tidak sedang mengajakmu bercanda.” Kim Seo Jung mulai kesal. “Ibu rasa umurmu sudah cukup untuk mulai membuka diri dan mengenal laki-laki. Tapi, sampai saat ini belum ada satu orang pun yang kamu kenalkan sebagai seorang pacar. Ibu sangat khawatir, kamu masih normal, bukan?”

Eungi yang selalu melakukan ritual minum saat tiba di rumah batuk-batuk karena tersedak. Entah teori dari mana sehingga ibunya itu memikirkan kenyataan jika dirinya adalah penyuka sesama jenis? Sepertinya Kim Seokjin ada dalam konvensi tersebut. Awas saja akan kuberi perhitungan.

“Ibu, berhentilah menelan mentah-mentah perkataan Kak Jin. Dia itu tidak beres, sepertinua ada yang salah pada otaknya. Tentu saja putrimu ini masih normal,” protesnya dengan nada kesal lalu mengerucutkan bibir sambil melipat kedua tangan di depan dada. Satu pukulan keras langsung mendarat di puncak kepalanya.

Dalam benak dia sudah merencanakan akal jahat untuk menjahit bibir kakaknya itu agar tidak lagi berkata seenaknya saja jika ada kesempatan. Sialnya hari ini ia mendapat kabar sebelum pulang kalau Seokjin akan lembur dan pulang larut malam.

“Jika kamu merasa begitu, maka cepatlah mencari pasangan. Beban Ibu pasti akan berkurang, kamu mengerti?” Eungi memutar bola matanya gemas. “Kamu tidak berniat untuk terus menjadi Ibu pengganti bagi Hyuka dan melupakan mengurus diri sendiri bukan? Ah, tidak-tidak. Aku tidak bisa membayangkan jika itu benar terjadi.”

Napasnya tertahan. Kedua irisnya sempat mengawasi bagaimana perubahan ekspresi ibunya yang benar-benar keki. Rasanya Eungi sudah lelah untuk menjelaskan perihal hubungannya dengan Hoseok. Juga tentang karakter laki-laki itu yang dipandang buruk dan rendah oleh ibunya.

Mungkin benar, dulu Hoseok pernah melakukan kesalahan. Terjebak dalam permainan perasaan sampai memiliki seorang anak dan membuat masa depannya berantakan. Namun, itu bukan masalah besar, saat ini masa sulit itu sudah berlalu. Hoseok sedang berusaha meniti kehidupannya lagi, yang jauh lebih baik. Kenapa Ibu tidak bisa menilainya dari sisi itu?

“Sebenarnya aku sangat tahu apa yang menjadi kekhawatiran Ibu,” kata Eungi kemudian sambil mencondongkan punggungnya agak ke depan. Meletakkan kedua lengannya yang menyilang ke atas meja, “Yang Ibu takutkan hanya suatu saat nanti aku bisa benar-benar jatuh cinta pada Hoseok. Benar, bukan?” Seo Jung terdiam. Dugaan Eungi tentu saja benar. “Ayolah Ibu ... aku tidak sebodoh itu mengharapkan cinta dari laki-laki yang sampai sekarang atau mungkin selamanya hanya mencintai satu wanita saja, yaitu ibunya Hyuka.”

Sudut mata ibunya sempat menilik, lalu berdehem dan berkata, “Baik, Ibu akan memegang perkataanmu. Tapi, untuk kali ini datanglah ke pesta ulang tahun teman sekolahmu itu.” Seo Jung mengeluarkan amplop undangan berwarna merah muda dari saku baju hangatnya dan menggesernya lebih dekat pada Eungi. “Siapa tahu di sana kamu akan menemukan laki-laki yang tepat untuk diajak berkencan,”

Eungi memerhatikan amplop itu. Masih sama; warnanya, motifnya, bentuknya pun masih terasa sama. Huh ... Sudah Eungi duga, undangan itu pasti dari orang yang sama—yang setiap tahun sejak tiga tahun lalu selalu mengirim undangan tersebut dan mengaku adalah temannya. Yang benar saja? Bahkan Eungi tidak sudi menganggapnya sejengkal saja sebagai seorang teman.

Sehingga barang tentu, tanpa menyentuh apa lagi membacanya, Eungi lantas mengatakan, “Aku tidak akan datang.”

Dengan sisa amarah yang selalu muncul saat mengingat orang itu dan kenangan di masa lalu, Eungi pun beranjak dari kursinya dan berjalan tanpa peduli—saat ibunya kembali protes dan bingung—menuju kamar. Tidak akan.[]

Beautiful Moment [JH]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang