Chapter 8 - Ada Apa?

Mulai dari awal
                                    

Bunda beranjak meninggalkan dua laki-laki tersayangnya mengobrol berdua. Tak ingin ikut campur.

"Baru saja keluarga Ana menelepon, jika kamu tak keberatan. Adiknya Ana ingin menggantikan posisi Ana."

Mendengkus kasar, Arzan menyandarkan tubuh di sofa. Dia tadahkan kepala pada sandaran sofa. Lengan kirinya dia angkat untuk menutupi sebagian wajahnya.

"Aku tak tertarik lagi dengan perjodohan ini, Ayah."

"Kamu menolak?"

"Lebih tepatnya, tak ingin membuat dua hati bukan dua, tapi tiga hati menelan pahit dan getir."

Dahi ayah berkerut. Dia tak begitu mengerti dengan ucapan sang anak.

Arzan mencoba menjelaskannya, "Jika kupaksakan memilih satu di antara mereka, akankah mawar dalam hatiku ini bisa mekar? Layaknya sebuah kuncup bunga di taman yang tak mendapat air dan matari sebagai makanannya." Arzan menjeda kalimatnya. Dia embuskan napas, menyingkirkan lengan kemudia dia tegakkan punggung. "Kalau aku ingin, sudah kurenggut lara itu dari ronanya. Kugantikan dengan kebahagiaan. Namun, apa yang kulihat sudah jelas, Ayah. Dia masih ingin menjaganya rapi." Ditatapnya ayah lekat-lekat. "Sedangkan bunga lain yang baru mekar itu, hanya sebuah keindahan yang dimilikinya. Dia belum merasakan terpaan angin yang mencoba menggugurkan kelopaknya." Ayah mencoba memahami seluruh perkataan Arzan. Sedikit banyak, dia paham. "Aku, tak sanggup menghancurkan semua itu."

Ayah mengangguk. "Kamu tak ingin mencobanya?" Ayah bertanya memastikan.

"Tidak, Yah."

Ayah mengangguk paham. Ini sudah bukan kiprahnya lagi. Semua keputusan sudah diambil, dan dia menghargai keputusan anaknya. Dirogohnya saku mengambil sebuah benda persegi canggih. Di-swipe layarnya, dia sentuh icon call di sana. Dihubunginya seseorang yang berada di panggilan teratasnya. Ayah dengan lugas menjelaskan semua perkataan Arzan.

Arzan menatap dan mendengarkan seluruh perbincangan ayah. Bukan kelegaan yang dia dapat, tetapi sebuah rasa yang tak mampu dia ungkapkan. Rasa yang menggerogoti hatinya. Arzan beranjak meninggalkan ayah setelah memberikan isyarat kepada ayah.

***

Suasa pagi itu begitu hening. Entah hanya perasaan Meesha atau bagaimana. Meesha merasa hampa. Dengan malas-malasan, dinyalakannya komputer. Begitu komputer menyala dan tersambung dengan koneksi internet kantor. Sebuah notifikasi email masuk.

Sang dewi malam membisikkan untaian madah untukku,
melindaplah ronanya tergelincir jahatnya mega,
seorang perempuan, menadahkan tangan,
meminta sebuah asa untuknya.

"Oh, Dewi Malam, kembali, terangilah malam-malam gelap nan sunyiku ini dengan cahyamu."
Tak ragu, dewi malam yang mendengar ratapan pilu itu kini muncul kembali dengan paras ayunya.
Memancarkan kembali kekuatannya.
Walau jahatnya mega tetap mencoba mengusik.
Ia tetap bertahan, demi gadisnya yang sentiasa memintanya menemani.

Meesha tertegun membacanya. Entah kenapa, baru kali ini dia bisa merasakan perasaan mendalam dari untaian kata itu. Kalbunya terusik.

"Mbak Meesha ...," panggil seseorang.

"Iya, Pak?" Meesha tersentak mendengarnya.

"Pagi-pagi kok sudah melamun, nanti kesambet."

Meesha tersenyum menanggapi.

"Ini berkas-berkas milik Pak Arzan yang harus dipelajari dan ditandatangani."

"Oh iya, baik. Nanti saya berikan pada Pak Arzan."

"Terima kasih, Mbak Meesha. Mbak, kalau banyak pikiran, lebih baik tenangin diri dulu aja nggak apa-apa. Daripada nggak fokus kerjanya."

"Iya, terima kasih, Pak Arief sarannya."

Arief meninggalkan Meesha yang menatap setumpuk berkas di mejanya. Dengan berat hati, ia mengambilnya. Dibawanya berkas itu untuk diserahkan pada Arzan. Belum sempat kakinya melangkah, sebuah dering panggilan menghentikan.

"Najwa ... ada apa?" gumamnya. Di-swipe-nya layar ke icon call berwarna hijau. Seketika panggilan itu tersambung.

"Assalamu'alaikum, Dek ...."

"Wa'alaikumsalam," ketus di seberang.

Meesha merasa tak enak hati. 'Ada apa dengan Najwa? Apakah aku berbuat kesalahan.' batinnya bergemuruh bingung.

"Nanti siang Najwa tunggu di cafe seberang kantor, Mbak. Najwa ingin membicarakan sesuatu."

"Iya, nanti, Mbak ke sana. Kalau Mbak boleh tahu, ada apa, Dek? Apa ada sesuatu yang terjadi?"

Sebuah dengkusan kasar Meesha dengar. "Nanti saja." Sambungan telepon itu terputus.

"Astagfirullah," ucap Meesha. Batinnya terus bertanya, ada apa.

Meesha segera mengenyahkan pikiran-pikiran yang berseliweran di kepala. Dia bergegas menyelesaikan tugasnya.

Waktu dirasa Meesha begitu cepat. Belum juga selesai laporannya, Najwa kembali menelepon jika dia sudah menunggu di cafe. Sedikit terseok, Meesha menyeret langkah. Dia benar-benar dibuat bingung dengan perubahan sikap adiknya.

Bunyi lonceng yang dipasang di atas pintu membuat semua orang di sana mengalihkan atensi ke pintu. Ada yang berharap seseorang yang ditunggunya datang. Ada pula yang hanya ingin tahu siapa yang datang.

Begitu memasuki kafe, Meesha mengedarkan pandangannya ke sekeliling. Dia mendapati adiknya itu dalam balutan gamis kuning dengan terusan denim telah menunggunya. Dihampirinya Najwa dengan senyum terulas manis di bibir.

"Assalamu'alaikum, Dek," salam Meesha.

"Wa'alaikumsalam," ucap Najwa ketus.

Mengabaikan nada ketus adiknya, Meesha memanggil pelayan untuk memesan makanan. Begitu pelayan pergi, Meesha bertanya, "Ada apa?"

"Huh ...." Najwa mendengkus menatap kakaknya. "Mbak yang apa-apa, bukan aku." Tegas dan penuh penekanan. Meesha pun terkesiap mendengarnya.

"Mbak?" tanya Meesha menunjuk dirinya sendiri dengan suara mengantung di akhir.

"Ya."

"Mbak nggak ngerti, Dek." Dahi Meesha berkerut menatap adiknya.

"Mbak ...." Najwa mengalihkan pandangannya dari Meesha. Mencoba menyembunyikan dan menghalau lapisan cair di matanya untuk tak meluruh.

Meesha semakin tak enak hati. Hatinya menjerit melihat adiknya seperti ini.

"Mbak jahat!"

To be continued.

Monday, 23 April 2018
06.13 AM
1.164 words

Memeluk Janji [Complete]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang