2. Andrea Maharani, Istriku

15K 668 5
                                    

Tetesan embun menyambut pagi, udara yang basah menyeruak menyejukkan. Aku meregangkan otot-otot tanganku. Berlari pagi mengelilingi kompleks membuat badanku terasa lebih segar. Para tetangga agak heran melihatku pagi ini. Secara aku pengantin baru, tetapi pagi-pagi sudah di luar rumah. Beberapa dari mereka terdengar meledekku dalam sapaannya. Aku hanya mengulum senyum. Mesum sekali mereka...

Yah, aku sengaja bangun lebih pagi, emm...bukan tanpa sebab, melainkan takut khilaf. Lebih dari 8 jam berada dalam satu kamar dengan seorang wanita, tetapi harus menahan untuk tidak melakukan apapun. Itu sungguh menyiksa.

Semalaman bahkan aku tidak bisa tidur, tidak mudah meredam hasrat yang...ckk...menggila.
Aku bisa saja merenggut paksa, toh dia sudah halal bagiku. Hmm, disini nalarku melarangnya. Aku akan membuatnya menyerahkan dirinya dengan sukarela.

Hey, kulihat wanita pembangkang itu sudah bangun. Sedang apa dia, hmm...sedikit mengganggunya akan membuat pagiku lebih indah. Aku berjalan mendekat ke meja makan, kusambar roti tawar di tangannya yang hampir masuk mulutnya.

"Oughh..." Dia terkejut sangat, namun tanpa mengucapkan sepatah katapun. Hmm...begitu kan manis.

"Makasih," kataku sambil berlalu meninggalkannya.

"Re, sini?" terdengar suara panggilan dari belakang. Langkahku terhenti.

"Ya, ma," jawabku sambil mengunyah roti buatan...istriku. Andrea hanya menundukkan kepalanya.

"Ini mama sudah seduhin minuman buat kalian, segelas buat kamu, segelas buat Andrea," ucap mama girang. Bukan hanya aku, Andrea pun nampak terkejut.

"Loh, malah bengong...haduhh udah buruan diminum," perintah mama gemas.
Aku dan Andrea menuruti perintah mama, menenggak cairan kecoklatan itu sampai tandas. Baunya aneh.

"Ma, ini minuman apa ya?" tanya Andrea penuh kehati-hatian, sembari mengamati gelas yang telah kosong. Mama hanya tersenyum lebar. Mencurigakan.

"Itu jamu ke-su-bu-ran, biar kalian joss. Mama ngebet pengen punya cucu," ujarnya tertawa bahagia.

"What?" Aku tersedak roti yang masih ada di tenggorokanku. Andrea hanya terdiam dengan wajah memucat.

"Jamu kuat!" teriakku.

"Hushh...pelankan suaramu!" Mama menjewer telingaku. "Itu cuma untuk menambah vitalitas anak ganteng. Mama pengen kayak Bu Listri, menantunya hanya butuh satu kali cuss, langsung hamil, karena minum jamu itu," terang mama panjang, bangga akan minuman sialan yang terpaksa sudah masuk ke perutku. Aduh mama, mempermalukanku.

....

Kurebahkan tubuhku di ranjang, sambil mengutak atik gawaiku. Kulirik wanita yang barusan masuk. Dia berjalan mendekatiku. Aku pura-pura mengacuhkannya. Bukan aku munafik, secara fisik, istriku ini begitu menggoda. Dari semalam juga aku berusaha menahan hasrat untuk tidak menerkamnya. Hatiku melarang, ada yang belum terselesaikan di antara kami. Sebuah kesalahpahaman besar, sebelum kami terperangkap dalam perjodohan ini. Ya, namun aku tak menyesal, dia lawanku yang seimbang. Susah ditaklukan.

"Aku mau bicara denganmu," ucapnya tanpa menatapku. Masih kuacuhkan tanpa menghentikan aktifitasku.
"Kita harus bicara," ulangnya.
Kuletakkan benda pipih itu di nakas. Bangkit kemudian duduk di tepi ranjang.

"...tentang?" tanyaku, dingin. Dia berdiri di dekat lemari. Menjaga jarak, bersikap siaga dua. Keterlaluan! aku ini suamimu! hardikku dalam hati.

"Aku mau membuat kesepakatan denganmu," ujarnya. Aku tak bereaksi, selain menatapnya lekat. "Kita memang suami istri, tapi kamu boleh kok melakukan apapun sesuai maumu. Itu aku tidak keberatan," lanjutnya. Masih terdiam, aku mencoba membaca ke arah mana pembicaraan wanita keras kepala ini, "...tapi, aku nggak mau kamu nyentuh aku." Seperti dugaanku...

"Hahahaha...." tawaku pecah, memenuhi seisi ruang kamar. Perlahan aku mendekatinya, tatapku tak lepas dari manik matanya. Dia melangkah mundur. Kuraih pinggangnya kasar, tubuh mungilnya membentur tubuhku. Tangannya mencoba memberi pembatas dengan menekan dadaku.

"Kamu pikir kamu siapa? berani memerintahku? ha? kamu lupa? siapa aku?" bisikku. Aku tahu dia gugup, ketakutan terpancar jelas pada rautnya. Well, kamu harus takut padaku, istriku.

"Kamu istriku, aku berhak apapun padamu? kau tak perlu mengajariku tentang apa yang harus aku lakukan dan tidak," ujarku. Dia mulai berontak, berusaha melepaskan diri.

"Lepaskan," ucapnya lirih. Tanganku mencekram erat pergelangan tangannya. Dia merintih kesakitan.

"Jadilah istri yang shalihah, kau tahu kan bagaimana caranya?" Aku tersenyum. sinis.
"Sakit, lepas," ucapnya lirih, namun tatapannya tajam menusuk. Aku...justru suka.

"Oh ya, ada hadiah buatmu, Andrea," ujarku, melepaskan tangannya. Kuambil sebuah amplop di laci nakas. Kuserahkan padanya

"A...apa ini," tanyanya terkejut. Aku tahu keterkejuatannya itu karena amplop itu berlogo sebuah yayasan sekolah.

"Bukalah," perintahku, tatapku masih padanya. Aku menghitung detik-detik dia histeris setelah membaca isinya. Hatiku bersiap bersorak. "Spesial dariku, hadiah perkawinan," kutekankan dua kata terakhir. Dibukalah amplop itu tergesa, matanya kembali membulat, mulutnya sedikit terbuka. Matanya menatapku nanar.

"Apa ini ulahmu? aku sudah mengajar dengan baik disana selama setahun ... kenapa aku diberhentikan?" tanyanya frustasi. Dia menatapku tak percaya, kedua pipinya bahkan telah basah oleh air mata.

"Pemilik yayasan menginginkanmu, Nyonya Aditya," bisikku tepat di telinganya. Ini salah satu pembalasanku dengan merenggut kebebasanmu, istriku. Kuukir senyuman kemenangan.

14042018
Kusuma Cantik

Karena Jodoh Tak Pernah SalahTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang