Part 1 - A Gold Box

1.4K 43 15
                                    

Dimitri memutar bolpoinnya. Ia sibuk dengan beberapa desain fasad dihadapannya. Beberapa jam yang lalu, ibunya menelpon dan mengatakan bahwa ia harus segera kembali ke Paris minggu ini karena ada sesuatu yang mendesak tentang wasiat kakeknya. Membuat laki-laki dua puluh tahun itu terpaksa berpikir lebih jauh tentang apa yang terjadi sebenarnya disana, di Paris.

Seorang laki-laki jangkung memasuki ruangan yang tak cukup besar itu dan duduk di hadapan Dimitri yang berada di sudut ruangan. Ruangan itu penuh dengan gulungan kertas dan poster-poster desain fasad gedung pencakar langit yang tertempel didinding dibelakang Dimitri. Ada dua buah tempat tidur berukuran sedang disisi kanan dan kirinya. Dan, dua meja belajar yang tak terlalu besar berada disudut-sudutnya yang sama-sama penuh dengan gulungan kertas.

"Mau kopi?" tanya Jim Bautista, dia adalah teman kuliah Dimitri di Harvard. Laki-laki itu menyesap kopinya setelah Dimitri menolak tawarannya. "Aku dengar Lisa akan pulang dari turnamen minggu ini."

"Dan aku harus ke Paris minggu ini." jawab Dimitri dengan santai. Ia tetap melanjutkan gambarnya dengan serius.

"Jadi, kau tidak bisa ikut menjemputnya?" kata Jim sarkastik. Ia melotot menatap Dimitri karena terlalu terkejut. Baru kali ini Dimitri terlihat santai mengenai Lisa.

Dimitri mengangkat wajahnya menatap Jim yang tengah melototinya. Jim berhenti melotot dan bergumam maaf pada Dimitri sebelum laki-laki itu melanjutkan kata-katanya. "Mr. Bautista dengar, itu tandanya kau yang harus menjemput Lisa dan bawa dia ke asrama dengan selamat."

Jim tertawa, ia menyibak rambutnya dengan sebelah tangannya yang bebas. "Kau tidak takut dia akan jatuh cinta padaku?"

"Tidak. Kau bukan standartnya." Kata Dimitri lagi-lagi dengan santai tanpa berpaling dari gambarnya.

Jim berdecak dan menyerahkan gelas kopinya yang kosong ke hadapan Dimitri. "Itu untukmu. Aku mau tidur." Sesaat Jim langsung melompat ke tempat tidurnya dan menenggelamkan dirinya dibawah selimut.

Dimitri kembali melanjutkan gambarnya tanpa terganggu sedikitpun oleh Jim. Matanya yang berwarna cokelat menatap layar ponselnya dengan sendu. Ada pesan dari Lisa yang membuyarkan konsentrasinya. Ia jadi tidak sabar membuka ponselnya dan membaca pesan dari gadis itu.

***

Emma nyaris tertidur ketika pertunjukkan musik klasik itu berlangsung. Tidak tidak, ia tidak boleh mengecewakan Loey. Laki-laki itu sangat menyukai pertunjukkan Yiruma, dia penggemar beratnya. Tapi sayang sekali, Emma kini justru tertidur.

"Emma..." suara itu mengejutkan Emma. Ia benar-benar tertidur, sial. Loey membangunkannya ketika gedung pertunjukkan itu sudah sedikit sepi. "Maaf, aku tidak bermaksud membangunkanmu. Tapi kita harus pulang." Loey memasang wajah bersalahnya dan membuat Emma semakin bersalah.

Emma merasa pipinya basah dan benar saja, liurnya tertinggal disana. Ia cepat-cepat membesihkannya dengan tangan dan tersenyum getir menatap Loey. "Maaf aku ketiduran. Musiknya benar-benar ballad jadi aku mengantuk."

Loey dan Emma makan malam disebuah restoran italy didekat Dongdaemun sebelum Loey mengantarkan gadis itu pulang. Loey memesan makanan seperti biasanya, ia sudah terlalu sering makan disana bersama Emma dan nyaris mengetahui semua yang biasa Emma pesan.

Loey berdeham, "Emma, jadi apakah kau bisa menjawabnya hari ini?"

Emma terkejut, tapi ia berusaha sesantai mungkin. Ia tersenyum menatap Loey. Bukankah ini terlalu cepat untuk menjawab perasaan laki-laki itu? Loey adalah temannya sejak ia SMA hingga kuliah. Mereka selalu bersama selama beberapa tahun ini dan tak menyangka bahwa Loey menyukai Emma selama itu juga. Emma? Tentu saja tidak. Ia sudah menikah.

Ma Petite FemmeOù les histoires vivent. Découvrez maintenant