Yang Selama Ini Ditutup-tutupi

5.4K 234 13
                                    


Bagian II

Yang Selama Ini Ditutup-tutupi

Menceritakan bagian ini kepadamu, seperti menoreh luka dalam yang sudah kering. Menulis penggalan ini membuat badanku mengigil, sakit dan perih... tapi aku sudah berniat mengatakan semuanya secara detail satu-persatu, supaya engkau tahu sejarah pahit ini. Satu hal yang ku mau, engkau tetap bangga atas asal-usulmu dan dengan kepercayaan diri engkau akan terus berjalan menuju masa depanmu.

Malam 30 September 1965 adalah malam yang mencekam buat Indonesia. Setelah hari itu politik negara jadi kocar-kacir dan banyak isu berdatangan yang kebenarannya tidak bisa dibuktikan. Isu yang kudengar sehari setelah pembantaian jenderal-jenderal di Jakarta adalah, Partai Komunis Indonesia yang menjadi dalang dari gerakan coupe terhadap Presiden Soekarno. PKI juga yang disebut-sebut bertanggung jawab atas pembunuhan keji atas keenam jenderal tersebut.

Setelah pimpinan tertinggi PKI, Dipa Nusantara Aidit, ditembak mati tanpa pernah diberi kesempatan untuk membela diri, keluarlah keputusan presiden untuk membubarkan PKI. Hanya saja situasi di Demak setelah 30 September tidak banyak berubah, berminggu–minggu sesudahnya pun tidak. Kegiatan-kegiatan berjalan seperti biasa. Tidak ada tanda-tanda pergolakan politik. Bapak tetap sibuk dan tetap jarang di rumah. Setiap pagi Bapak tetap pergi kerja dan aku tetap pergi ke sekolah serta melakukan kegiatan-kegiatanku, seperti tidak ada kejadian apapun.

Kira–kira sebulan setelah peristiwa 30 September 1965--tepatnya hari apa dan tanggal berapa aku sudah lupa, Bapak ditangkap dari kantor dinasnya dan dimasukan ke penjara. Aku yang waktu itu buta politik dan tidak mengerti pergolakan yang sedang terjadi, tidak mengerti mengapa Bapak harus ditahan. Merinding bulu kudukku saat mendengar dari radio bahwa PKI adalah pembunuh dan pengkhianat negara...aku seakan tak percaya. Seketika aku takut akan keselamatanku dan keselamatan Bapak. Memang akhir-akhir ini wajah Bapak terlihat tegang dan beliau tidak mau diganggu. Sudah lama Bapak tidak punya waktu untuk berbincang-bincang denganku, karena ia jarang sekali di rumah. Aku sungguh ragu, "Masakah PKI bisa membunuh sebegitu sadisnya? ....aku tidak bisa mengerti, dan ... mana mungkin Bapak menjadi anggota partai yang melakukan tindakan sekeji itu? Sangat tidak mungkin! Ini fitnah!" pikirku.

Sehari setelah penangkapan Bapak, di Demak ditetapkan jam malam. Tidak ada yang boleh keluar setelah jam sembilan malam. Aku yang biasanya kumpul-kumpul bersama Mas Dodi dan teman-teman untuk latihan rutin, harus tinggal di ruma. Anehnya, firasatku berkata akan ada peristiwa buruk yang menimpa keluarga kami, dan itu memang terjadi sekitar empat minggu setelah 30 September.

Karena adanya jam malam, aku tidak bisa kemana-mana walaupun di rumah aku sebenarnya sangat tidak betah. Pada suatu malam aku tidak bisa tidur. Sirine berbunyi keras dua kali, ini menandakan sudah jam sembilan malam tepat, artinya jam malam sudah mulai berlaku. Malam itu aku merasa ada yang berbeda, aku dengar sirine dibunyikan lagi berkali-kali, setelah itu kudengar suara senapan yang ditembakan di udara beruntutan. Selama jam malam, kami tidak boleh menyalakan listrik, hanya lilin saja. Aku tidur di lantai bersama adik-adikku di ruang tamu kami yang besar dan kami tidur berjejer seperti ikan asin yang sedang dijemur.

Walaupun malam sudah semakin larut, tetap saja aku tidak bisa memejamkan mata sedikitpun. Dalam kegelapan, suara selembut apapun bisa membuatku terjaga dan panca indraku seketika menjadi amat peka. Sesaat kudengar suara-suara yang mencurigakan dan dalam sekelebat tiba-tiba aku melihat sosok laki–laki masuk lewat jendela lalu loncat ke dalam kamar. Badan mereka hitam pekat dari atas sampai bawah kecuali bagian mata yang masih dapat melihat dengan jelas. Kejadiannya begitu cepat hingga kukira sedang bermimpi. Aku melihat dua mata yang dengan cepat memeriksa ruangan itu. Ia bergerak cekatan dengan senter kecil di tangannya... ia buka lemari-lemari yang berisi pakaian-pakaian kami. Aku hanya bisa menangkap siluet tubuhnya. Ia mengambil kemeja-kemeja dan jas-jas kerja Bapak yang digantung di dalam lemari. Ia lalu mengambil radio kecil di atas lemari, radio itu pemberian teman Bapak. Raket badmintonku juga diambil, dan aku tak tahu apalagi yang ia sudah jarah dari rumah kami malam itu. Ia bekerja dengan tangkas memasukkan barang-barang itu ke karung goni. Segera aku sadar kalau aku berhadapan dengan seorang garong yang sangat mahir. Saat itu juga aku menjadi sangat ketakutan, hingga bernafaspun tidak berani ... takut si garong mendengarnya. Sekelebat ia arahkan senternya ke wajahku dan secara refleks kututup kedua mataku dan pura-pura tidur. Jantungku berdetak kencang sementara aku berdoa semoga ia tidak melihatku membuka mata. Setelah menjarah apa yang ia mau, garong itu meloncat pergi. Tapi aku masih belum berani membuka mataku sampai subuh tiba. Paginya kami semua mengelus dada, tenyata ada saja orang yang mengambil kesempatan dalam kesempitan, seperti garong yang kulihat di rumah kami malam itu.

Beberapa hari setelah Bapak ditahan, datang seorang opsir CPM (Corps Polisi Militer) ke tempat kami dan juga ke rumah-rumah tetangga sekitar untuk memberitahu bahwa malam itu akan terjadi penculikan terhadap anggota PKI dan keluarganya. Kami berterima kasih atas kebaikannya dan langsung saat itu juga aku diungsikan ke tempat Eyang Santri, Pakde dari Ibu. Aku disembunyikan di dalam kamar dan tidak diperbolehkan keluar. Malamnya, datang sekelompok tentara militer ke rumah Eyang Santri mencariku. Yang membukakan pintu waktu itu Eyang Santri ditemani Eyang Jun, adiknya. Dari nada suaranya, tentara-tentara militer itut angkuh dan tergesa-gesa. Mereka bertanya, apakah Eyang mengetahui keberadaanku? Eyang Santri menjawab "Tidak, anak Pak Wahjoe tidak ada di sini" Tetapi seperti tidak percaya dengan jawaban Eyang Santri, mereka terus mencoba bertanya apakah Eyang sungguh tidak tahu. Dan jawaban Eyang tetap sama, bahwa ia memang tidak tahu-menahu tentang keberadaanku. Karena Eyang termasuk orang penting di Departemen Pendidikan dan Kebudayaan di Demak, beliau juga pemimpin agama yang dihormati di kota itu, akhirnya mereka segan untuk mendesak Eyang, kemudian mereka pergi.

Malam itu aku sangat ketakutan. Aku baru sadar kalau hidupku dalam bahaya, apalagi Bapak. Aku bertanya kepada Eyang Santri, "Eyang tahu di mana Bapakku? Aku mau ketemu Bapakku". Ia menjawab, "Sing sabar ya Nib, Bapakmu mungkin masih sibuk". "Eyang, aku mau pulang saja. Bagaimana kalau nanti malam ia pulang dan aku tidak ada, Eyang? Bapak pasti mencariku. Waktu itu Eyang Santripun menjawab, "Kami yang akan menggantikan Bapak mulai sekarang". Sepanjang malam itu aku terus bertanya-tanya tentang keberadaan Bapak, kapan ia pulang, kapan aku bisa ketemu Bapak,... aku tanyakan berkali-kali, tapi aku tidak mendapat jawaban yang pasti dari mereka.

Esok harinya, pagi-pagi dari rumah Eyang Santri, aku kembali pergi ke sekolah tanpa ada firasat apapun. Setelah istirahat siang, aku dipanggil untuk menghadap Kepala Sekolah. Tanpa curiga aku pun datang menghadap. Kepala Sekolah berkata bahwa beliau mengkhawatirkan keselamatanku, karena mendengar bahwa ada penculikan terhadap keluarga anggota PKI. Karena itu ia berinisiatif untuk membawaku ke kantor polisi untuk mencegah terjadinya pembunuhan terhadapku. Bapak kepala sekolah itu masih keluarga jauh bapakku, jadi aku percaya sepenuhnya pada keputusan yang diambilnya. Ia bahkan mengantarku dengan mobil dinasnya ke kantor polisi terdekat. Ternyata keputusan ini justru membawaku ke tangan musuh yang akhirnya memenjarakan jiwa dan ragaku.

Setelah diperiksa oleh pihak kepolisian, aku diantarkan ke penjara umum Demak. Di sana aku bertemu banyak tentara yang kebanyakan masih sangat muda. Ternyata aku tidak sendirian, banyak juga orang-orang yang sudah datang dari hari-hari sebelumnya. Kami semua diharuskan membuat barisan dan mengantri untuk akhirnya satu-persatu diperiksa. Opsir militer yang memeriksa kami duduk di kursi dengan sebuah meja kayu tua di depannya. Di sebelah kanan dan kirinya berdiri masing–masing dua opsir dengan senjata api di tangan. Di atas meja tua tersebut ada buku besar untuk mencatat nama kami semua. Aku diharuskan menyebutkan namaku, nama Bapak, pekerjaan Bapak, alamat tempat tinggal dan posisi Bapak di dalam partai. Setelah itu aku diberi nomor yang harus kuselipkan di bajuku setiap hari.

Inilah hidupku... malam sebelumnya aku selamat dari penculikan dan aksi pembunuhan terhadap orang–orang yang terkait PKI, esok harinya aku diantar ke penjara. Aku menyesal...seharusnya aku tidak pergi ke sekolah pagi itu. Andai saja ada yang memberi tahu apa yang akan terjadi, jalan hidupku mungkin akan berbeda.



Perempuan Berstempel MerahWhere stories live. Discover now