1

175 23 4
                                    

Dalam diam, dia ada. Dalam temaram, dia ada. Dalam ingin, dia ada. Dalam ketidakrelaan, dia ada. Dan dalam kehilangan, dia takkan pernah ada.

***

Di dalam segala ketidakberdayaan, Irama tahu Melodi lebih dari apa pun untuknya. Irama ada untuk Melodi, di mana pun serta kapan pun Melodi membutuhkannya. Irama ada dalam tangis gadis itu. Irama ada dalam setiap tawa—yang walau hanya bisa terhitung jari—gadis itu. Semua terekam jelas dalam benak Irama. Irama ada untuk Melodi bagaimanapun bentuknya gadis itu. Dalam setiap rasa yang muka bumi ciptakan, berulang kali Irama berkata, dia ada. Hanya untuk Melodi.

"Jangan ganggu gue lagi. Tolong pergi, Rama. Pergi sejauh-jauhnya! Gue benci sama lo! Gue benci!"

Dari sekian banyak kata yang dunia berikan, Irama tidak mengerti mengapa hanya kata itu yang mampu tertuturkan dari bibir Melodi. Dari banyaknya rasa sakit yang ada, mendengar Melodi mengucapkan kata benci kepadanya, adalah sakit yang tidak bisa dia artikan lagi bagaimana.

"Gue mungkin brengsek. Gue mungkin nggak baik untuk lo. Tapi, lo harus tau, gua ada. Berapa kali pun lo bilang benci gue, itu nggak akan cukup buat usir gue."

Gadis berambut hitam panjang yang menggunakan seragam kerjanya itu menatap Irama sekilas, dengan segala amarah yang dipancarkan, serta seluruh pasrah yang diberikan. Irama tahu, dia sangat memaksa Melodi untuknya. Namun, hanya ini yang mampu dia lakukan agar Melodi tidak pernah beranjak darinya. Irama ingin, sekali saja, hanya sekali, agar diberi kesempatan. Untuk tidak menyiakan siapa pun perempuan yang dia sayangi, sekali lagi.

Di bawah redup cahaya depan cafe di mana Melodi bekerja, Irama sedikitnya bersyukur dalam hati, karena tidak bisa melihat wajah gadis itu dengan jelas, sehingga tidak perlu melihat air mata turun karena keegoisannya.

"Lo brengsek. Lo buat hidup gue berantakan karena ada lo. Lo buat gua kesusahan bahkan cuma sekedar ngusir lo. Jadi, pergi ya? Pergi dari hidup gue."

"Maaf, untuk kali ini gue nggak bisa dengerin lo. Gue bisa turutin semua kemauan lo, asal jangan ini."

Melodi menatap kalut. Dia tidak tahu bagaimana lagi caranya mengusir Irama pergi.

"Gue bukan siapa-siapa. Cuma cewek biasa yang nggak punya apa-apa. Kenapa lo segininya nggak mau pergi? Kenapa segininya cuma untuk gue ada?"

"Karena lo adalah Melodi."

Hanya itu. Sisanya Irama pergi. Menyisakan Melodi di belakang, tanpa penjelasan agar gadis itu mengerti.

***

Melodi memperhatikan papan tulis di depannya dengan teliti. Dia menyalin semua yang ditulis oleh gurunya. Melodi mengenyahkan semua kebisingan di sekitarnya karena Bu Rani—guru yang mengajar—sedang izin keluar sebentar, dia hanya harus seperti itu.

Irama memperhatikan Melodi yang sedari tadi hanya diam di saat yang lain bersenang-senang. Bukannya tidak boleh, hanya saja itu adalah sesuatu yang janggal di mata Irama. Harusnya ketika guru tidak ada di kelas, kita bisa terbebas dari tugas ataupun lainnya bukan? Namun Melodi tetap saja bersikap seakan guru masih ada di dalam kelasnya.

Irama turun dari meja yang sedari tadi didudukinya. Dia hanya ada di barisan kedua dari belakang tempat duduk Melodi. Irama keluar dari kerumunan teman-temannya yang sedang saling menghina. Sontak membuat semua teman-temannya diam dan memperhatikan langkahnya.

Irama berdiri di depan meja Melodi yang terletak di paling depan. Dia menutupi papan tulis yang sedari tadi terus gadis itu lihat membuat Melodi menatapnya lama dengan wajah datarnya.

"Nggak usah halangin papan tulis," desis Melodi kecil.

"Akhirnya gue bisa diliaat sama lo. Ternyata gampang ya? Cukup tutupin aja papan tulis yang selama ini selalu lo liat."

Irama mengambil catatan Melodi yang ada di atas meja dan berdecak kagum ketika membuka satu per satu halaman. "Lo nggak capek nulis sebanyak ini?"

Melodi tersenyum kecil. "Lebih baik gue nulis sebanyak itu daripada harus liat muka lo kaya gini. Cepet balikin catetan gue."

Irama menutup kembali buku catatan milik Melodi. "Kalo gue ancurin catetan ini, lo bisa liat gue?"

Irama tidak suka ada hal apa pun yang menjadikannya tidak lebih penting, membuatnya melakukan apa pun untuk mengenyahkannya. Irama berjalan ke depan kelas yang hanya beberapa langkah dengan kaki panjangnya, membuat Melodi membuang napas kasar. Melodi mengikuti langkah Irama dengan kesal. Tidak ada hari ketenangan bagi Melodi jika ada Irama di sekitarnya.

Irama tersenyum begitu Melodi sampai di depannya. Dia langsung merobek semua buku itu hingga Melodi terperangah di tempatnya. Irama membuang satu per satu lembaran ke dalam kotak sampah di depannya, masih dengan senyum yang sama.

"Lo gila ya?" Melodi teriak kepadanya.

Melodi langsung mengambil sisa-sisa kertas yang belum tersobek oleh Irama. Matanya berkaca-kaca karena menahan kesal. Melodi malah merobek semua yang ada di tangannya dan membuangnya ke kotak sampah.

"Puas? Puas gangguin hidup gue, Rama?" teriak Melodi lagi dengan suara yang tinggi.

Seisi kelas mengintip dari balik jendela. Mereka tahu bahwa selalu ada hal yang mengejutkan jika Irama selalu mengganggu Melodi.

"Gue udah pernah bilang, kalo lo nggak mau anggep keberadaan gue ataupun nggak mau liat gue, gua bakalan cari apa pun cara biar mata lo cuma mandang satu arah, gue."

"Lo memang pengganggu banget ya? Bisa nggak lo pergi dari hidup gue? Atau lo maunya gue yang pergi?"

Melodi meneteskan air matanya. Dia benci menangis di hadapan Irama. Namun, dia terus memikirkan bagaimana cara mendapatkan semua catatan itu kembali jika sudah hancur oleh Irama. Saat melihat air mata jatuh, saat itu juga Irama tersadar bahwa dia telah melakukan kesalahn bodoh, lagi. Tangis Melodi seakan menarik kesadarannya yang telah tertutup sebelumnya.

"Gue bukan orang yang suka sia-siain waktu gue dengan hal nggak berguna kaya lo. Sekarang jawab gue! Gimana caranya gue belajar di rumah kalau semua catatan lo sobek, hah? Gimana gue bisa dapet nilai dari Bu Rani kalau dia nyuruh untuk ngumpul catetan? Di mana otak lo? Gue bukan orang kaya yang bisa beli semua buku dan gunain internet seenaknya macam lo!"

Napasnya memburu. Di mata Melodi hanyalah ada kebencian untuk Irama. Irama hanya diam menatap Melodi yang penuh amarah.

Melodi pergi dari hadapannya. Menyusuri koridor yang sepi karena semua orang berada di dalam kelasnya masing-masing. Melodi tahu, bahwa suaranya pasti cukup terdengar untuk telinga orang lain. Namun, dia tidak peduli. Dia menaiki tangga untuk menuju rooftop sekolahnya. Hanya sebuah bangunan kosong yang jarang disinggahi.

Melodi menarik napasnya panjang dan menghapus sisa air matanya. Dia hanya ingin membuktikan kalau dia mampu untuk melebihi siapa pun. Dia tidak ingin ada seseorang pun merusak hidupnya yang telah dia susun dengan sangat sulit agar terlihat rapi. Melodi menatap langit biru yang terlihat cerah, tidak seperti kehidupannya. Dia berdiri di ujung gedung, melihat ke bawah dari ketinggian. Di benaknya hanya ada satu hal, apakah bila hidupnya berakhir dia tidak akan merasakan sakit yang sama?



Melodi IramaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang