Part 33 - menerima kenyataan?!

596 24 0
                                    

Note : Mohon bantuannya jika ada kata dan penulisan yang salah agar segera diperbaiki ^^
.
.


1 bulan kemudian.

"Bar, lo ngak ikutan main basket di lapangan?" Bili segera menyambar  botol air mineral yang bertengger manis di atas bangku di sudut lapangan.

Bara menggeleng. Ia sama sekali tak berselera, hanya maklhuk dengan tubuh kebal terhadap panas saja yang mampu berjemur di bawah sinar matahari yang begitu menyengat kulit.

Bili kembali berlari ke area lapangan. Keringan telah membasahi tubuh atasnya. Sebenarnya Bara juga ingin sedikit berolahraga, tapi tidak dalam keadaan panas yang mungkin bisa merebus air.

Bara menengok ke arah samping, dua orang cewek baru saja ikut bergabung dengannya. Matanya melirik cewek bertongkat di samping Luna.

Bara tertegum, memandang wajah tanpa senyum yang tulus, tanpa raut cuek yang selalu ia kenal.

"An, lo duduk disini dulu, gue mau beli minuman dingin.." Anindi mengangguk, tanpa ia tahu di mana keberadaan Luna sebenarnya. "Bar, titip Anindi.." Luna berlari pelan tanpa menunggu anggukan setuju dari Bara.

Anindi terdiam. Tidak. Bukan karena ia tak memiliki bahan obrolan dengan Bara, tapi karena ia telah menjadi sosok pendiam. Tanpa mau bicara banyak dengan yang lainnya.

Anindi, ia hanya akan bicara seadanya jika ia perlu. Tak lebih. Dan hal itu malah memukul telak hati Bara.

"An.."
Anindi menoleh, tapi tidak pada arah tepat dimana Bara duduk. Miris rasanya Bara melihat Anindi yang sekarang. Cewek yang disukanya.

"Lo ingat, dulu, kita saling cueknya luar biasa. Ngak mau kalah satu sama lain. Lo ingat lo sama gue sering tabrakan mulu di koridor.." Anindi terdiam, mungkin ia sedang mengingat-ingat kejadian itu.

"Gue ingat kok. Tapi sayang gue ngak bisa kaya dulu lagi" Miris rasanya Anindi mengatakan hal itu pada Bara dan juga dirinya. Yah dulu. Bukan sekarang.

"Bagi gue lo tetap Anindi yang gue kenal" Anindi menggeleng pelan. Menepis semua ucapan Bara. "Lo salah Bar, gue bukan Anindi yang lo kenal dulu. Anindi yang lo kenal sempurna, dan yang sekarang buta.."

Luna terdiam, mendengar tiap ucapan Anindi. Ia menghilangkan raut terpuruknya saat Bili berlari pelan ke arah mereka bertiga.

"An.. Lo tau, gue bisa kalahin teman gue kali ini.." Anindi tersenyum, namun hanya sesaat.
"Benarkah.. Selamat yah.."
Anindi mengangkat tangan agar bisa menjabah tangan Bili.

Bili yang berada di sampingnya menatap sedih arah tangan Anindi. Segera di berikannya senyuman pada Anindi, walau ia tahu Anindi tak mampu melihat senyum piluhnya.

Bili bangkin dan berdiri tepat di mana tangan Anindi mengarah, ia menyalami Anindi dengan semangat. "Thanks An.."

"Gue bawa minuman nih, pada mau ngak.." Semua mengangguki, termasuk Anindi.

......

Bara berbaring terlentang di atas kasur empuknya. Pikirannya terus tak ingin beralih dari keadaan Anindi yang sekarang. Masih di ingatnya dengan jelas, Anindi terguling dari lantai atas. Tepat dihadapannya. Itu menjadi trauma tersendiri baginya.

"Mama boleh masuk?" Bara terbengong sesaat sebelum mengangguk. Sejak kejadian Anindi waktu lalu, Perubahan sikap mama dan papanya padanya menjadi lebih baik.

Tapi, walau demikian, Bara masih merasa canggung untuk itu semua. "Bara lagi mikirin apa? Sampai-sampai mama panggil Bara dari ruang makan ngak di jawab-jawab.."

"Ngak ko mah, Bara ngak mikirin apa-apa" Gelen Bara pelan, menatap mamanya dengan lembut. Sosok wanita yang dulu selalu menjadikannya bahan amukan kini menjadi sosok mama yang selalu di dambakan oleh Bara.

Lisa menatap anaknya dengan sayang, mungkin baginya dan juga Bara, putranya ini masih canggung. Tapi ia hanya ingin menjadi mama yang berguna bagi anaknya. Tidak seperti dulu.

Dan hal pertama yang harus dilakukannya hanya mencoba mendekatkan diri dengan anaknya. "Mama tau, kamu masih canggung dengan keadaan ini, tapi mama hanya ingin tau hal apa yang membuat Bara berfikir keras."

"Bara... Bara hanya memikirkan tugas yang ngak Bara ngerti ma" Lisa menatal Bara dengan lembut. Ia tahu bukan itu yang di pikirkan anaknya. Tapi ia tak bisa memaksa Bara untuk bercerita padanya.

Lisa tersenyum, mengelus pelan rambut Bara. Bara tertegum merasakan sensasi yang sudah lama tak ia rasakan. "Yah udah, Bara turun sama mama, udah ada papa sama Gara di meja makan.."

Bara mengangguk, kakinya ia langkahkan mengikuti mamanya. Benar kata Lisa, mamanya jika papa serta kembarannya telah menunggu di bawah.

Bara duduk. Menatap makanan yang telah di sendokan mama untuknya.
"Ayo sayang dimakan. Ini masakan kesukaan kamu kan?" Bara mengangguk dalam diam.

Beberapa menit berlalu, Bara serta kaluarganya telah selesai makan malam. Kini Gara mengajak Bara ikut bergabung bersama di ruang keluarga.

"Bar, besok lo libur kan? Gimana kalau lo ajak Bili, Luna dan Anindi ke sini?" Bara berpikir sejenak, ia tersenyum dan mengangguki hal itu. Toh ia pun ingin melihat Anindi besok.

Bara tersenyum senang saat dirinya baru sampai di kamar. Setidaknya malam ini ia masih memiliki cara untuk bertemu dengan Anindi.
.
.
.
.
.

Sorry🙏 part ini cuman 750 kata aja. Karena kelanjutannya punya judul yang baru😉

Jangan lupa vote and coment

AnindiBara - Ini Tentang Perbedaan Kita (Lengkap)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang