Part 10 - Tentang paman & kenyataan sebenarnya

806 36 0
                                    

Note : Mohon bantuannya jika ada kata dan penulisan yang salah agar segera diperbaiki ^^

.
.

Anindi menaiki anak tangga setelah pulang dari mengerjakan tugas kelompok yang besok pagi di jam pertama akan di kumpul. Kakinya berhenti menapak di pertengahan tangga akibat mendengar suara pertengkaran dan suara benda berjatuhan.

Anindi memutuskan pergi melihat, karena rasa penasarannya yang cukup tinggi. Setelah sampai di ruang kerja ayahnya yang tidak di tutup sempurna pintunya dan hanya bisa melihat tubuh ibunya, Anindi dapat melihat kondisi ibunya yang telah terduduk di lantai bersimpah darah di sisi pelipis dan sudut bibir.

Tubuh Anindi membeku, air matanya mengalir tanpa isakan, ada rasa takut, sedih dan marah disaat yang sama. "Kamu ngak bisa terus-terusan maksa aku mas, seharusnya kamu bersyukur karena aku mau ngurus dia " Suara ibunya terdengar di pendengarannya.

Tapi bukan soal itu. Ia tahu ayah dan ibu sering bertengkar dan beradu argumen soal pekerjaan atau soal dirinya, tapi ayahnya kenapa tega memukul ibunya sampai seperti itu. Ini keterlaluan. Biarpun Anindi selalu diacuhkan, dirinya sebagai anak tak akan tega melihat ibunya di pukuli.

"Aku udah bilang sama kamu untuk ngurus dia dengan baik, tapi apa ini, ini ngak sesuai " Suara ayahnya mengelegar, masih dilihat Anindi jika ibunya hanya mampu menangis.

Segera, Anindi membuka pintu ingin menahan tangan orang yang ingin memukul ibunya, dari topik yang mereka bicarakan Anindi sangat yakin jika itu bukan ayahnya yang melayangkan sebuah buku seukuran kamus kearah ibunya, tapi langkah kaki Anindi harus terhenti melihat kenyataan di hadapannya.

Kedua sosok tadi terkejut akan kedatangan Anindi, karena yang mereka tahu Anindi akan pulang dari mengerjakan tugas sejam lagi. Apa lagi sosok yang menghentikan tangannya untuk melempar buku di tangannya.

Anindi menggeleng tak percaya akan apa yang dilihatnya, air matanya jatuh. Bagaimana bisa orang yang selalu menjadi alasannya bertahan, orang yang selalu menjadi alasan Anindi tersenyum dengan penuh ketulusan, orang yang di percayanya melakukan ini pada ibunya.

"Nindi.." Suaranya melemah tak setinggi membentak kakak iparnya tadi. Tangannya ingin menggapai Anindi, tapi mungkin Anindi telah melihat semuanya, dijelaskan pun tak ada gunanya lagi.

"Apa yang paman lakukan pada ibu?" Untuk saat ini Anindi hanya ingin bertanya satu hal itu, kenapa pamannya melakukan ini semua. Ini diluar akal pemikiran Anindi. Ada hubungan apa ibunya dan juga pamannya dimasa lalu, tapi kenapa harus pamannya. "Nindi, dengarkan paman. Pa-..."

"JAWAB SAJA PERTANYAAN KU.." Belum sempat Hendrik menyelesaikan perkataannya, ia harus menghentikannya akibat suara bentakan keponakan kesayangannya, oh ayolah sebentar lagi mungkin dia tak akan dianggap paman lagi.

Paman mana yang memperlakukan ibu dari keponakannya seperti ini, mungkin hanya dirinya, diyakini dari suara Anindi barusan, Hendrik yakin Anindi sekarang telah membencinya.

"Nindi, kekamar kamu sekarang, biar mama yang urus.." Marisa akhirnya mengeluarkan suaranya, lebih baik dia dan Hendrik saja yang mengatasi ini semua. "Ngak,  Anindi ngak akan pergi sebelum Anindi mendapat jawaban.." Walau dirinya berkata pada ibunya, tapi sorot mata kekecewaan dan amarahnya hanya tersorot pada satu titik.

"Nindi mama bilang masuk, anak kecil kaya kamu ngak tau apa-apa tentang masalah orang dewasa.." Marisa meninggikan suaranya yang bahkan diabaikan Anindi, tapi hanya sesaat karena setelahnya Anindi menghadap pada ibunya dengan tatapan sama kecewa dan marah, namun dalam porsi yang lebih besar.
"Kenapa? Mama takut Nindi tau soal masalah mama sama orang ini.."

"Nindi.."
"Nindi.."
Panggil mereka berdua dengan tekanan berbeda-beda. "Pasti ini salah satu sebab mama ngak pernah anggap Nindi ada.." Marisa ingin membantah, tapi apalah dayanya jika yang anaknya katakan adalah yang sebenarnya.

Hendrik menatap Marisa yang menunduk, tapi mulutnya menjadi kaku dan hanya terdiam. "Lihat, kalian diam, itu artinya ia" Anindi tertawa, katakan saja jika ia gila sekarang, jika orang waras, mana mungkin ia akan tertawa disaat suasana seperti ini.

"Nindi, paman minta maaf. Paman bena-..." Lagi, kata-kata Hendri harus terhentikan. "Simpan kata-kata anda tuan, aku hanya ingin mendengar jawaban dari pertanyaan ku.." Datar, itu yang saat ini Hendrik rasakan dari nada suara keponakannya. Mereka semua terdiam cukup lama hingga suara Anindi mengejutkan Marisa dan Hendrik.

"Katakan dengan jujur, Nindi anak siapa?" Anindi menunduk dan menutup mata, berharap apa yang ia tahu sejak ia kecil tentang surat dan foto di laci lemari pakaian ibunya bukanlah kenyatannya.

"Apa maksud kamu Nindi, tentu saja kamu anak papa dan mama" Marisa menjawab Anindi tak karuan lagi. Tapi satu suara disampingnya mematahkan segalanya.

"Kamu anak paman Nindi, kamu anak dari Hendrik Wijaya" Mata Hendrik menatap lekat Anindi, ini semua harus segera berakhir, ia lelah dengan semua ini. Hendrik tak ingin selamanya dirinya hanya dianggap paman oleh putrinya sendiri. Hendrik tak ingin hal itu terjadi.

"Mas kamu gila hah, apa yang kamu bicarakan.." Hendrik menghadap pada Marisa, dia harus segera meluruskan segalanya. "Kamu mau bohong sampai mana Marisa, dia harus tau siapa ayah dan ibu kandungnya"

Seketika tubuh Anindi menegang, katakan padanya sekarang juga jika pendengarannya untuk kedua kalinya salah mendengar, tapi kenapa otaknya tak mampu memproses dan mengeluarkan sepatak kata saja. Tolong katakan pada seseorang untuk membantunya mengatakan pada dua sosok dihadapannya untuk berhenti mengeluarkan kenyataan yang menghantam diri Anindi.

"Itulah sebabnya aku tidak ingin mengurus anakmu, jika dia tidak merampasmu dariku, dan jika saja aku tidak kehilangan anakku saat melahirkan dan juga jika bukan karena aku masih mencintaimu, aku tak akan mengurusnya.." Satu kalimat terakhir dari Marisa telah betul-betul menghancurkan jiwa raga Anindi.

Anindi melangkah keluar dengan cepat tanpa memperdulikan panggilan pamannya. Ahhh ralat ayah kandungnya. Anindi menulikan telinga dan terus berlari keluar dari dalam rumah, tak perduli hujan deras yang mengguyur, mungkin sejak tadi sedang hujan hanya saja Anindi tak tahu akan hal itu karena sibuk mengosongkan setiap inci pikirannya.

Kakinya terus dipacu untuk dapat berlari lebih kencang lagi, nafas yang memburu serta oksigen yang terasa terhimpit sangat sulit di hirup Anindi, ia hanya ingin berlari asalkan dengan begitu ia bisa pergi dari kenyataan yang di hadapinya.

Ohh ayolah Anindi, ini dunia nyata, bukan dunia dongenmu yang dapat di atur sesuka hatimu, sejauh apapun kau berlari kenyataan itu tak akan jauh dari mu, karena kenyataan itu ada pada dirimu.

"Hikk... Hikkk" Isakan perlahan keluar, kenapa gue ngak pernah bahagia... Kenapa? Apa gue ngak  pantas memperoleh kebahagiaan. Tuhan, kenapa Kau begitu kejam padaku, apa salahku ..
"Hik..hikkk" Anindi berhenti berlari saat dirasa kakinya sudah benar-benar tak mampu lagi untuk dipacu.

"Apa salah gue.. Kenapa hidup gue begitu sulit.. Apa kurang penderitaan gue selama ini"
Anindi mencoba berdiri dan kembali memacuh kakinya pergi jauh dari areh komplek rumahnya.

.
.
.
.

Jangan lupa vote and commen

AnindiBara - Ini Tentang Perbedaan Kita (Lengkap)Where stories live. Discover now