BAB XXI

2.6K 97 22
                                    

Hari sudah petang, Ayuna masih terduduk di meja kerjanya yang terlihat gelap. Hanya ada sedikit cahaya dari layar laptopnya. Dia mencoba menuliskan perencanaan untuk penelitian yang akan dilakukan. Tetapi, Ia hanya menatap laptopnya kosong. Ia masih teringat kejadian tadi siang, ketika Driyan datang ke rumahnya dan mengajukan persyaratan yang dengan mudah telah disetujui oleh dirinya sendiri. 

"Apakah aku akan sanggup menjalaninya, Ya Tuhan?", Ayuna berujar lirih di tengah isak tangisnya. Membayangkan Ia hidup tanpa darah dagingnya. Membayangkan Ia tidak bisa melihat perkembangan dan pertumbuhan anaknya. Membayangkan anaknya nanti diasuh oleh wanita lain kekasih Driyan. Ayuna ternyata tidak sekuat itu. Ia tak sanggup membayangkan itu semua. Ayuna menumpahkan semua airmatanya. Ia menangis sejadi-jadinya. 

" Kenapa harus sesakit ini jalan hidupku Tuhan, apa salahku? Apa salahku?",keluhnya di tengah isaknya. Di rumah sebesar itu ia menangis sendiri. Ia selalu menanggung semua kepedihan sendiri.

--------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------

 Pagi-pagi sekali Driyan sudah tiba di kantor. Tubuhnya terasa letih dan lesu mengingat kenyataan Ayuna yang ternyata lebih peduli dengan penelitian itu daripada darah dagingnya sendiri. Ia tega melepaskan darah dagingnya dengan sebegitu mudahnya. Driyan terluka mengingat itu semua. 

" Driyan, ini dokumen yang harus kamu cek?", Arya sudah berdiri di depan meja Driyan. Arya mengamati kondisi Driyan yang terlihat sangat lelah dan lesu. Bahkan kini Ia melihat Driyan sedang melamun hingga tidak menyadari kedatangan Arya di ruangannya. 

"Driyan", Arya memanggil lebih keras. Driyan baru menyadari ternyata Arya sudah berada di ruangannya. 

" Kenapa Arya?". Arya menghela nafas.

"dokumen kerjasamanya kamu cek dulu Driyan, sebelum kita ajukan ke client". Arya mengamati temannya ini semakin memprihatinkan. Driyan membuka setiap lembar dokumennya, Ia mencoba mengeceknya tetapi sama sekali Ia tidak bisa fokus. Driyan hanya membolak balik tiap lembarnya.

Arya tidak suka melihatnya. 

"Driyan".

Driyan menatap Arya. 

" Baiklah, aku percayakan padamu Arya. Aku tahu kinerjamu", Driyan menyerahkan kembali dokumen itu pada Arya. 

Arya menghela nafas mengamati Driyan. 

" Apa kamu sudah meminta penjelasan pada Ayuna?". Driyan menatap tajam.

" Aku tidak ingin membahas itu Arya. Semua sudah selesai", Driyan menatap tajam Arya utnuk tidak mengungkit masalahnya dengan AYuna.

" Dan apa keputusannya?", Arya masih tidak berhenti untuk bertanya. 

"Arya,  AKu sudah bilang tidak ingin membahasnya". Driyan berdiri dari kursinya memandang Arya tajam. 

" Aku  peduli pada kalian. Aku tahu kalian itu sama saja. Sama-sama diam dan selalu lari dari masalah. Kalian sama-sama mementingkan ego masing-masing. Apa kalian berdua tidak memikirkan masa depan anak kalian nantinya? Ha? Semua anak di dunia ini, yang Ia tahu hanyalah ingin bersama dengan Ayah dan Ibunya dan mempunyai keluarga yang utuh. Kamu harus ingat itu Driyan"

" Aku sudah memikirkan itu, tapi tidak untuk Ayuna. Ia yang meminta berpisah dariku. Ia yang menginginkan sebuah kebebasan demi masa depan karier dan dunia science yang membuatnya gila menjadi seorang ilmuwan. Bahkan dia lebih memilih penelitiannya daripada darah dagingnya. Aku harus bagaimana lagi, Arya?".

"Lebih menyakitkan lagi, ketika aku meminta hak asuh anak darinya. Dalam waktu sedetik Ia mengiyakannya, tanpa perlu waktu berpikir, Arya"

"Kalau seperti itu, aku harus bagaimana lagi?", Driyan tertawa sinis. Hatinya semakin sakit mengingat itu semua. Arya cukup terkejut dengan keputusan Ayuna. 

Setetes EmbunTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang