40. Forgiveness

1.5K 113 0
                                    

Sang malam sudah cukup dingin untuk turut membangun atmosfer kaku di teras ini.

Di mana dua manusia berdiri, berhadapan. Bergeming, sibuk menata seluruh sistem dalam diri mereka untuk siap menghadang hal-hal yang akan terjadi.

Ini bencana.

Apapun yang akhirnya keluar dari mulut lelaki ini, dia tidak akan mampu menahan diri.

Athalia semakin mengeratkan genggamannya pada gagang pintu hingga telapak tangannya berkeringat. Pintu yang sudah terbuka itu menghadapkannya pada seseorang, iblis, pengacau batinnya.

Mata intens Iqbaal lenyap, berubah sayu. Seakan kaku, entah sampai kapan irisnya akan terus menatap Thalia.

Untuk sekarang, kaus kaki tidur yang membungkus kakinya jauh lebih menarik untuk Thalia pandangi daripada lelaki di depannya ini.

Mereka tidak jauh. Hanya butuh dua langkah kecil untuk membunuh jarak di antara Thalia dan Iqbaal. Belum ada yang mereka lakukan sejak dua menit yang lalu setelah Thalia membuka pintu rumahnya. Hanya diam, membiarkan para hewan nocturnal mengisi keheningan.

Sampai Iqbaal bersuara.

"Hai, Thalia."

Dia tahu genggamannya pada gagang pintu tidak bisa lebih erat lagi. Tapi mungkin Thalia sedikit berekspektasi gagang besi itu akan remuk di tangan basahnya sebentar lagi.

Kini temperatur rendah malam semakin tak berarti. Dinamakan apa keadaan seseorang yang berkeringat di tengah dinginnya malam?

Sindrom Iqbaal?

Thalia memberanikan diri untuk menegakkan lehernya. Di sana, raut wajah Iqbaal begitu tak terdefinisi. Antara takut, sedih, atau penuh harap.

"Gue... boleh ngomong sama lo?"

"Boleh."

Hampir bisa dikatakan lirihan. Tapi suasana sunyi mengizinkan Iqbaal untuk mendengar ucapan Thalia.

Mata Iqbaal beralih ke dua buah kursi teras berwarna putih dengan meja bundar kecil di sana. Dan ketika menyadarinya, Thalia langsung berjalan mendahului Iqbaal menuju ke sana setelah menutup pintu. Sesuai asumsinya, Iqbaal akan melakukan hal yang sama.

Thalia bisa bernapas sedikit lebih bebas karena posisi duduknya. Setidaknya kursi besi ini cukup efektif untuk menyamankan dirinya. Hanya sedikit.

Iqbaal tetap saja berada di dekatnya. Namun, sisi baiknya adalah mereka sudah tidak berhadapan. Ini memungkinkan Thalia untuk menghindari mata Iqbaal. Keduanya kini duduk menghadap ke halaman depan rumah yang remang-remang, karena hanya memiliki beberapa lampu taman sebagai penerang.

"Mmm...."

Dehaman Iqbaal sedikit mengambil perhatian Thalia dan sukses membuat jantungnya tak karuan. Karena dia tahu, ini pertanda bahwa sebuah percakapan yang sesungguhnya akan dimulai.

"Komplek sini emang rada sepi ya?"

Atau mungkin belum.

Tapi sungguh. Jika tidak ada hal bernama adab di dunia ini, Thalia sudah masuk ke rumah dan mengunci pintu rapat-rapat. Membiarkan lelaki ini di luar sendirian. Tak peduli apa yang akan dilakukan Iqbaal.

Sejujurnya kalimat terakhir agak sulit dibuktikan.

Tidak.

Seorang Athalia Latief tidak akan semudah itu membersihkan pikirannya dari Iqbaal Dhiafakhri.

"Langsung ke intinya."

Thalia berdeham setelah mengatakan itu. Ia kini sibuk mempersiapkan diri untuk guncangan batin yang sebentar lagi akan menerjang. Baik, itu terdengar berlebihan.

FEEDBACK | IqbaalDR✔Where stories live. Discover now