29. Btw

1.4K 117 20
                                    

"Darin! Makan dulu!"

"Iya, Ma."

Derap kaki seorang gadis mendominasi rumah sederhana ini. Gemerincing ornamen mungil di sandal bulunya turut berbunyi. Ujung piyama satin putih melambai ringan seiring Thalia menuruni tangga.

Rumah minimalis berlantai dua peninggalan nenek yang dikelilingi tanaman obat peliharaan Mama. Di sinilah keluarga kecil Thalia bernaung.

Papa jarang berada di rumah. Disita oleh pekerjaan sebagai abdi negara. Membuat Thalia terkadang merenung ditelan rasa rindu.

Pandangan sosok wanita tertua di rumah ini yang awalnya tertuju pada cucian piring di wastafel, teralihkan kepada gadis sulungnya. Tersenyum apik, Mama berucap, "Sana makan. Mama bikin ayam rica-rica."

Senyum serupa dipancarkan Thalia sebelum akhirnya mengambil tempat duduk. Hidangan kesukaannya terpampang di depan. Beruntung bibir Thalia mengatup. Karena ia tidak kuasa menahan air liur.

Laper.

Makan hati gak kenyang.

Thalia meraup nasi dengan porsi lebih. Mengingat betapa malangnya dia akhir-akhir ini sehingga tidak bisa menikmati makanan rumah yang sesungguhnya. Kemarin sih makan, tapi semua terasa hambar. Thalia belum menikmatinya.

Gak tau kalo malam ini.

Tunggu aja.

Terkekeh dalam hati, Thalia terkenang film yang ia tonton bersama Steffi beberapa bulan lalu. Tentu saja Steffi yang memaksa minta ditemani. Film romantis bernuansa anak SMA tahun 90-an. Dan sukses membuat Thalia jatuh cinta pada karakter Dilan, terlebih aktor yang memainkannya. Yang ia tidak ingat siapa namanya.

Kalo gak salah ... Kemal Ramadan?

Ah, persetan.

"Kakak!"

Suara melengking khas anak kecil sukses membuyarkan dunia bawah sadar Thalia. Menoleh ke kanan, ia dapati anak lelaki yang duduk tepat di sebelahnya, menatap Thalia sambil menyengir lucu. Menampakkan gigi seri dan taringnya yang tidak utuh.

"Apa?" sahut Thalia cuek. Berniat melanjutkan santap malamnya sebelum suara cempreng itu kembali terdengar.

"Kakak!"

"Apa sih?!"

Mama menoleh sewot, "Daffa itu masih 4 tahun. Jangan dibentak-bentak, ih. Kalo nangis kan kamu juga yang pusing."

"Abisnya rese' sih," gerutunya, melirik Daffa yang memasang wajah tak berdosa.

Mata bulatnya mengkilap, mengimbangi pipi gembul di kedua sisi wajahnya. Wajah itulah yang kerap mengundang tetangga sebelah untuk rela membagi camilan mereka hampir setiap hari untuk Daffa, mencubit pipinya gemas, lalu pulang.

Seperti sekarang. Thalia berani bertaruh mengenai wajah comot Daffa. Jangan lupakan bajunya yang berlumur camilan lengket dan akhirnya noda itu menular ke meja makan.

"Itu jangan diliatin aja. Dielapin mulutnya," kata Mama yang sudah selesai dengan urusan wastafelnya. Berjalan pelan menuju meja makan.

Thalia meraih tissu di tengah-tengah meja lalu mendekati Daffa. Menyapukan tissu itu di sekitar wajah gembulnya. Bagus, acara makan malamnya terganggu.

Well, tidak sampai di situ saja penderitaan Thalia malam ini.

"Kako ini gak enak, pait!"

Tanpa pikir panjang, Daffa mengeluarkan isi mulutnya, jatuh tepat di atas paha Thalia.

Inilah mengapa terkadang Thalia ingin mengurung adiknya di kamar seharian.

"Daffaaaaaa!"

Bocah itu memeletkan lidahnya pada Thalia setelah Mama tergesa-gesa menggiring Daffa menuju wastafel.

Thalia mendengus kasar bak banteng yang terpancing kain merah. Ia menatap jijik muntahan Daffa yang kini mengotori piyamanya.

Samar-samar didengarnya percakapan Mama dan Daffa di wastafel tak jauh dari meja makan tempat ia berada. Nampaknya Daffa sedang diceramahi.

Thalia merutuki adik satu-satunya itu. Ketika piyamanya sudah bersih, ia bahkan tidak punya niat lagi untuk meneruskan makan malamnya.

Menyambar tumpukan kotak camilan di sudut meja makan, Thalia mengambil salah satu kudapan kecil di dalamnya yang berbungkus aluminium foil warna emas. Ia mengunyah isinya.

Ini coklat.

Berisi chocolava.

Thalia dalam sekejap tertegun. Membuatnya dengan penasaran memandang lekat merk yang tertera pada salah satu dari tumpukan kotak di sini.

CHOCOFEELS

Taste your sweets behind your pain!

Bagaimanapun juga, Thalia tercengang.

Dan ia bersyukur Daffa tidak sempat menyadari gulungan kertas kecil yang terselip di sudut kotak ini. Terbukti dari gulungan yang masih rapi dan bersih.

Tergesa-gesa ia membuka gulungan itu. Membaca tulisan tangan yang tertata apik menggunakan tinta hitam.
       
        

Dear Athalia Darin Latief, (bener kan tulisannya?)
       
        

Lama banget gue mikir harus nulis apa di sini.

Sorry gue udah sok cool waktu itu.

Sekarang gue mau ngaku.

Ternyata, setelah gue pikir, gue menyadari sesuatu.

Kalo boleh jujur, gue sedikit malu.

Bilang ini setelah semuanya udah berlalu.

Tapi mau gimana lagi.

Makin gue tahan, makin gue terganggu.
       
      

Gue pengen bilang kalo,

Gue pesen coklatnya kebanyakan.

Tolongin gue buat abisin ya?

Makasih.
          
         

Salam teman,

Iqbaal. (Huruf A nya dua)

P.s     I love you, btw.

FEEDBACK | IqbaalDR✔Where stories live. Discover now