7. Kami adalah Penjuru Kecil

498 35 6
                                    

Kisah tentang mereka yang datang dengan kelebihan menggandeng kekurangan, kami datang dengan kekurangan menggandeng kelebihan. Apa kekurangan kami? Semua orang tahu, kami hanyalah manusia kerdil yang datang dengan percaya diri di lingkungan orang-orang yang terbilang ideal. Tapi inilah kami, datang dengan tubuh yang kerdil namun tidak dengan kepercayaan diri kami. Fisik boleh menghambat tapi semangat tetap harus merambat.

Orang-orang terus meneriaki kami, menyebut kami kerdil tapi lebih tepatnya kami ini penjuru kecil. Ingat, tidak akan ada namanya penjuru besar tanpa adanya penjuru kecil. Bahkan Tuhan telah mengatur semua yang ada di dunia itu berpasang-pasangan. Dari yang tua berpasangan dengan muda, yang wanita dengan pria dan yang besar dengan kecil.

Kami mungkin bertubuh mungil, menghambat laju pasukan yang rata-rata bertubuh jenjang. Tapi dengan semangat kami, mengimbangi langkah mereka akan terasa mudah. Panjang kaki dan langkah kami jauh di bawah rata-rata, padahal yang lain bisa di atas rata-rata.

Dalam sebuah barisan, kami yang harus paling menyesuaikan.  Memang iya yang lain harus berusaha mengerti kami, tapi seseorang sering kali salah dan lupa. Terkadang kami tertinggal sebab mereka lupa mempersempit langkahnya. Kami harus mengejar langkah mereka dengan langkah panjang yang jatuhnya begitu buruk untuk dilihat. Tapi itu lebih baik daripada jarak kami terlihat lebih dari satu lengan dua kepal.

Terkadang satu langkah penjuru besar adalah dua langkah kami. Bukankah terlalu kerdil? Tapi demi terciptanya jarak yang stabil, kami mengimbangi langkah itu. Bahkan hubungan jarak jauh tetap harus imbang satu sama lain agar terjaga.

Jika satu kali saja kami egois, tidak mau mengimbangi dan memilih menyalahkan langkah penjuru besar, maka hancurlah pasukan kami. Jarak terlalu lebar dan penilaian semakin terasa hambar, juara semakin jauh dan mimpi kami akan terasa fana.

Maka yang kami perlukan dalam sebuah barisan adalah saling mengerti satu sama lain. Mana bisa kami meminta mereka mengerti kami selalu, setiap saat. Tidak, mereka juga butuh dimengerti, macam jomblo yang selalu minta dimengerti setiap malam Minggu atau macam perempuan yang minta dimengerti setiap kali marah.

Baiklah, itu bukan kiasan yang bagus dari kami. Tapi maklumilah kami, kami ini bukan pujangga yang pintar merangkai kata tapi kami Pembaris Muda yang biasa melaksanakan aba-aba. Menjadi Kahlil Gibran? Itu bukan kami, tapi menjadi macam Jenderal-jenderal besar, mungkin kami bisa.

Kembali lagi ke tanah lapang, tempat kami dibina dan ditempa. Tempat peluh bercucuran dan rasa lelah tiada artinya. Tempat perjuangan seorang pemimpi, yang katanya ingin sampai di Provinsi. Tidak, lebih tinggi dari itu.

Di penjuru kecil, kami sering diteriaki, sebenarnya sama dengan posisi lainnya, tapi teriakan untuk masing-masing Fatin kami berbeda.

"Hey, itu penjuru kecil kejar depannya. Jarak kalian itu lho!" Selalu seperti itu dari tepi lapangan. Hingga bosan kami mendengarnya. Tempat salah dan salah, itulah kami. Tapi tanpa salah, kita tidak tahu mana yang benar.

Kami hanya menjawab dalam hati, "Iya, iya, Kak. Kami mengerti, kami hanya sedang berusaha menyelaraskan langkah. Sebab tidak mudah bagi kami terus mengikuti langkahnya."

Selalu saja ada teriakan semacam itu, tapi itulah pacuan kami. Jika kuda dipacu dengan seutas tali atau rotan, kami tidak, kami dipacu dengan sebuah teriakan. Dan kami kuat karenanya.

Empat belas hari berlatih dengan posisi yang sudah tetap, memudahkan adaptasi kami sebab sebelumnya posisi selalu berubah. Kini tim inti telah terbentuk dan siap sedia meraih mimpi.

Meskipun kami katakan ada rahasia pilu bagi kami para penjuru kecil. Mimpi yang paling sulit kami gapai sejujurnya adalah mimpi menjadi seorang Paskibraka. Katanya tubuh kerdil kami tidak dibutuhkan pada saat Indonesia merayakan kemerdekaannya. Tak apa, senior bilang, Patriakara bukan soal menjadi Paskibraka tapi soal keluarga, mental dan karakter yang terbentuk. Paskibraka itu hanya tambahan, nilai plus yang Tuhan berikan.

Tapi, tidak menutup kemungkinan penjuru kecil juga bisa jadi paskibraka sebab penjuru kecil tidak harus selalu di bawah 160 cm meter. Bisa saja penjuru kecil lebih dari itu, maka bisa dibayangkan penjuru besar macam raksasa Buto Ijo. Itu bercanda, tapi penjuru besar bisa mendekati tinggi 180 cm. Tinggi bukan? Padahal badan kami kurus kering dan hitam, macam tusukan sate yang gosong tengah berjalan.

Kami nikmati semua prosesnya menuju hari bertempur yang sesungguhnya. Tubuh kami yang kerdil ini tidak takut semakin terlihat kerdil, kami akan lebih takut jika semangat kami yang justru semakin kerdil.

Langkah tegap, langkah biasa, langkah lari, ayolah Danton, serukan itu penuh dengan semangat dan akan kami lakukan dengan penuh semangat. Mengejar perempuan itu mudah, tapi mengejar langkahmu, wahai penjuru besar itu susah. Maka mari kita saling mengerti satu sama lain.

Ketika kalian, penjuru besar di depan, ingat kami yang kerdil ini dan atur temponya. Dan kami yang di belakang akan mengiringi langkah kalian dengan senang hati. Ketika kami di depan, kami akan melangkah biasa dan ikuti kami, kami akan mengatur tempo dan pasukan tetap aman terkendali.

Mari kita bekerjasama untuk satu mimpi yang sama. Kurangku, kurangmu, lebihku, lebihmu, semua akan menjadi satu dan menyempurnakan. Menjadi kami yang sempurna sebagai pasukan, lebih sempurna dari seorang pasangan suami istri yang katanya saling menyempurnakan.

Mari kita berjuang kawan, bawa nama PATRIAKARA di punggung, bukan nama pribadi di dadamu.

Salam kami, penjuru kecil yang kata orang terlalu imut untuk dilewatkan. Item mutlak sebab kami didikan sang mentari.

🚶🚶🚶🚶🚶

Kami datang tidak dengan kesempurnaan tapi kami maju perang dengan senjata yang sempurna. Baik tekad, semangat maupun keyakinan.
-Ksatria Bagaskara-

PATRIAKARANơi câu chuyện tồn tại. Hãy khám phá bây giờ