1. Selamat Datang

2.4K 136 2
                                    

Perkenalkan, kami adalah Pembaris Muda, berkumpul dan bermimpi bersama, membawa lambang merah putih di dada, bukan, ini masih lingkup kecil suatu negara. Sederhananya kami hanya bermimpi kecil akan sebuah nama.

Kami akan memperkenalkan diri dan menceritakan tentang siapa kami. Bukan hanya aku, bukan hanya kamu, ingatlah bahwa ini tentang kami. Pembaris muda yang mengawali mimpi dari tanah lapang yang terik sekali. Katakan kami bukan siapa-siapa tapi kami ini keluarga.

Mohon izin untuk menceritakan tentang mimpi kami, tentang ucapan terimakasih kami, tentang guru terbaik kami, tentang kebahagiaan kami, tentang kebersamaan kami, tentang kesedihan kami dan semua tentang kami. Ini hanya kisah sederhana yang ingin kami bagi.

Setiap Pembaris Muda, entah dia terpaksa atau menikmatinya, kalian pasti merasakan dan mengalami kisah kami. Mungkin kalian lebih hebat dari kami, atau mungkin kalian sama seperti kami. Berbahagia dengan kebanggaan yang sederhana asal satu keluarga.

Mari kembali ke tahun 2016 dimana kami datang tanpa mengenal satu sama lain, semua terasa asing. Tujuan kami datang ialah menjadi agen perubahan bagi Negara, menjadi yang terdidik dan berpendidikan. Kami datang untuk membanggakan seorang laki-laki renta dan perempuan yang semakin menua. Kami hanya ingin belajar teori dan memberikan nilai yang sempurna. Menjadi pembaris? Bahkan kami tidak berpikir bisa mengepalkan tangan di samping jahitan celana.  Yang kamu pikirkan hanyalah penguasaan teori yang nyata. Siapa yang peduli akan karakter, semua orang peduli akan nilai. Itulah sebabnya kami tak berpikir sejauh itu.

Suatu ketika, kami ialah pasukan penuh, katakan ada 432 siswa yang dibagi menjadi 4  jurusan. Kami berbaris di tanah lapang dengan rumput yang mengering juga tanah yang semakin gersang. Mentari menyapa kami terlalu kejam, sengaja membuat kulit menghitam dan ubun-ubun terasa matang. Tidak ada yang bisa mengeluh secara kata, kami hanya mengeluh dalam nestapa. Tidak akan ada yang mendengar kami meski berteriak layaknya announcer lapangan bola.

Semakin lama semakin terik dan kami hanya diputar-putar 90° ke kanan, 90° ke kiri, 180° ke kanan, selalu begitu, berjalan pelan, melangkah mantap, mengepalkan tangan, mengangkat tangan, terus diulang bahkan tidak peduli kami sudah bosan dan kelelahan. Orang-orang di depan itu menganggap kami robot tanpa rasa lelah, maklum, senior tidak pernah salah.

Mereka datang, dengan muka garang, dengan pangkat yang mereka sandang, tiada senyum yang bisa kami sandang. Mata mereka tajam, tangan mereka ingin menghantam. Menyentuh kepalan tangan kami, menggoyangkan tangan kami, menatap sorot mata kami, mencengkram bahu kami.

Lantas mereka berkata, "Maju ke depan!" Sambil berteriak layaknya seorang atasan memerintah anak buahnya.

Tak jarang dari mereka mengukur dan menimbang berat badan, bukan dengan alat di ilmu kedokteran, melainkan ilmu terawangan atau mereka mengandalkan ilmu alam.

Dari 432 siswa, inilah kami 40 siswa terpilih. Tidak kami mengerti mengapa kami terpilih, yang pasti kami hanya ingin terselamatkan dari kejamnya mentari yang terik sebab kami dikumpulkan di bawah pohon rindang, sementara 392 siswa masih terpanggang.

Kecewanya, itu hanya berlangsung kurang lebih 10 menit. Mereka hanya mengeluarkan kertas dan bolpoin, melihat nama dad kami dan meminta kami untuk kembali, terik lagi yang kami nikmati.

Berlalu, berlalu dan berlalu, kami masih tidak saling mengenal, masih tidak mengerti untuk apa pemilihan di siang bolong itu. Dan kamu berpikir itu hanya mubadzir waktu.

Hingga akhirnya, satu persatu nama kami disebut setelah satu bulan lamanya hanya di simpan pada sebuah kantong saku yang bolong. 40 orang berkumpul dan lagi-lagi di tanah lapang, yang rumputnya lebih hijau dan udaranya lebih segar. Kami telah meninggalkan neraka dunia masa itu, kami telah kembali ke sekolah yang hijau.

"Selamat siang!" Sapa mereka dengan nada penuh semangat, bedanya dengan masa kemarin ialah senyum yang telah merekah.

Kenalkan saja mereka itu senior, mereka selalu benar.

Kami mulai bertanya, "Ada apa ini? Masalah apa ini? Salah apalagi? Tidak cukupkah menyiksa kami?"

Sayup-sayup kami bertanya, entah pada diri sendiri maupun bertanya pada Sang Pencipta. Kami masih cukup trauma dengan neraka dunia, ah, tidak sekejam itu, kami hanya melebih-lebihkan saja sebagai kaum yang lemah sebab yang terkuat tetaplah Tuhan. 

"Silahkan datang ke lapangan tenis pukul 15.30 Waktu Indonesia bagian Barat setiap hari Selasa dan Kamis! Ada yang keberatan? Silahkan meninggalkan barisan dan jangan harap kalian bisa merayakan kemenangan ataupun menjadi Agen Perubahan!" Tekan mereka yang katanya sungguh tidak bisa kami terka.

Dan kami mulai bertanya, "Kenapa? Ada apalagi? Maksudnya apa?"

"Kembali ketempat!"

Kami menunggu jam itu di kelas masing-masing, kami baru akan berjumpa setelah saat itu tiba. Tidak akan lama, sebab hari pertama sekolah ialah hari kebebasan yang menyenangkan.

Singkat cerita, 15.30 WIB, kami yang namanya ada dalam selembar kertas telah berkumpul di lapangan tenis. Senior-senior bilang, tempat ini begitu keramat. Tempat dimana mimpi terbentuk, calon juara terbentuk, calon pengabdi negara terbentuk. Keramat bukan sebab dipenuhi banyak sesajen atau hantu-hantu mengerikan.

Mereka-mereka yang berkuasa di atas kami telah datang, dengan wibawa dan tanpa senyum segarispun. Baik lelaki, perempuan sama saja, menyembunyikan sisi lembutnya.

"Selamat siang!" Sapa salah satu dari mereka dengan semangat yang membara, padahal matahari masih terik menyinari ubun-ubun di atas kepala.

"Siap, Siang!" Jawab kami tak kalah lantang. Jelas kami tak mau kalah, 60 orang dibanding 1 orang, jika 60 orang itu kalah artinya memang lemah.

Setelah banyak ucapan panjang lebar, basa-basi ngalor-ngidul, jelas pula mengapa nama kami berada diselembar kertas dan kami dikumpulkan di tanah lapang ini.

"Kalian adalah yang terpilih sebagai agen perubahan, sebagai para calon juara dan pengabdi negara, sebelum itu, perjuangkan nama di lengan bukan nama di dada! Sebab yang di dada hanyalah namamu, yang lebih besar dari itu ialah almamater!" Tekan mereka di sela waktu bicara.

"Kalian akan menjadi para Pembaris Muda, yang tidak ingin silahkan pergi tanpa suara, yang ingin menetapkan sampai kau melahirkan juara generasi berikutnya. Sampaikan pula kepada mereka yang ingin merubah dirinya, sekolahnya maupun negaranya. Tempat ini terbuka untuk siapapun yang bermimpi menjadi Pembaris Muda!"

Tubuh kami bergetar, mendengar kalimat lantang dimana kami berulang kali dikatakan sebagai Agent of Change, agen perubahan, meski belum kami pasti perubahan apa yang kami bawa di sini.

"Seleksi alam bagi para pemimpi, bagi mereka para pengabdi negeri, dan mereka yang ingin menciptakan sejarah baru akan dimulai terhitung detik ini. Mereka yang mampu bertahan hingga akhir, hingga juara-juara baru tercipta, hingga mimpi-mimpi baru terlahir, mereka ialah yang tertangguh!"

Mereka yang berkuasa hanya menyampaikan itu, kalimat penggebu. Selanjutnya, mereka bilang, "Selamat Datang Para Pembaris Muda. Welcome to our big fam, Paski Patriakara."

Maka inilah kisah dari sudut pandang kami yang lebih gamblang. Jangan harap membicarakan soal wanita dan laki-laki. Kami hanya berbicara tentang cinta, kasih, persahabatan, perjuangan, tangis, semua tentang Pembaris.

🚶🚶🚶🚶🚶

Kami memang dipilih namun akhirnya kami yang memilih. Bertahan atau tidak kami yang memilih untuk menjadi yang terpilih
-Ksatria Bagaskara-

PATRIAKARATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang