2. Seleksi Alam

1.4K 83 3
                                    

Siapa bilang kami dipilih, nyatanya kami yang memilih. Hey, jadi bagian dari perubahan dunia itu tidak bisa dipilih, melainkan memilih. Sebab percuma dipilih, hanya akan menimbulkan kekacauan tanpa keikhlasan. Betul? Kalian pasti setuju.

Hari pertama, kami hanya berkenalan, hanya berputar arah 45° kanan-kiri, hormat, 90° kanan kiri, 180 ° kanan, mengepal, menggenggam pada posisi istirahat, istirahat parade dan biasa, hanya sekedar itu. Ah, itu sudah biasa sejak kami SD, hal yang mudah.

Kami diperkenalkan dengan rumah kedua kami disini, bukan kelas, sebab kata mereka yang berkuasa, kami akan lebih sering datang ke tanah lapang dari pada bangku kelas di sekolahan. Rumah yang sejujurnya sangat sederhana, ada dua besi di tengah lapangan sebagai tempat bet tenis, ada dua ring basket, ada gua garis lapangan. Rumah kami hanya dikelilingi pembatas kawat yang disulam, transparan saja, alas rumah terbuat dari beton dengan hiasan batu-batu kecil, sangat kecil.

Kedua kami dikenalkan dengan mereka yang telah berkuasa, bukan mereka yang telah meraih gelar juara dan mereka yang telah membuat perubahan nyata. Beberapa dari mereka memiliki mata seperti ikan Koki Panda Moor dengan mata menonjol, beberapa dari mereka kurus kering tidak terawat, beberapa lagi berkulit hitam yang mengkilap terkena sorot matahari siang menjelang sore, beberapa lagi juga terlihat bertubuh mungil, semua orang berbeda dan tersiksa secara fisik. Tapi ada satu hal yang sama dan sangat nyata, kebahagiaan dan kebanggaan mereka tergambar jelas di setiap garis wajah mereka.

Meski tidak tersenyum meski segaris saja, kami tahu mereka tengah bahagia dan berbangga. Hanya kami saja di sini, ber-60 yang terlalu tegang. Bukan sebab garis senyum kami hilang, tapi ujung bibir kami terlalu kaku untuk tersenyum.

"Apakah sudah ada yang berkurang?" Tanya mereka pada kami ber-60. "Atau mungkin ada yang bertambah?"

Kami semua terdiam sebab tidak ada aba-aba perhitungan, dengan kondisi 3 bershaf dan tidak terlihat berapa banjar banyaknya, kami tak bisa menghitung tanpa aba-aba. Mana kami tahu berapa jumlah kami sekarang, utuhkah? Bertambah kah? Berkurang kah?

"Senior tidak akan menghitung berapa banyak dari kalian yang hadir, sebab di sini kalian berawal dari dipilih lantas selanjutnya memilih lantas kalian akan bertahan. Senior juga tidak melakukan seleksi sama seperti halnya OSIS yang harus melewati tes mental, wawancara, surat pernyataan orang tua bermaterai 6000. Atau seperti Ambalan yang dites pengetahuan Pramukanya," mereka telah memulai pidato.

"Kalian masuk sini tidak perlu tahu soal Istirahat Parade, Belok Kanan, Belok Kiri, Halauan, Melintang, kalian tidak perlu tahu itu. Teori-teori dan prakteknya kita pelajari bersama. Cukup kalian memiliki niat, kemauan dan semangat. Tak lupa harus kuat mental pun fisik. Senior melakukan seleksi alam, sebab itu ialah seleksi terjujur yang ada di dunia. Siapa yang mampu bertahan hingga akhir, hingga mereka lulus, dari junior kelas X, XI, hingga kalian menjadi senior kelas XII. Seleksi dimana tidak ada penipuan di dalamnya, sebab kekurangan tetap akan terlihat nyata," sambung Mereka.

Kami mengangguk bersama. Lantas timbul keinginan bagi kami untuk bergabung, timbullah rasa memilih bukan dipilih. Tapi rasanya, tak semua dari kami begitu, satu dua terlihat terpaksa karena tidak tahan dengan terik mentari di atas sana.

"Kalian datang kemari sebagai agen perubahan sekolah, sebagai calon juara, calon Paskibraka. Mungkin kalian bertanya mengapa bisa dikatakan agen perubahan padahal kalian hanya melakukan gerakan hadap kanan, hadap kiri, belok kanan, balik kanan, yang bahkan semua aturan gerakan itu tidak semua berguna dalam kehidupan nyata. Bayangkan mana ada orang mau jalan ke warung depan rumah, lantas mereka harus melakukan balik kanan dengan tumit kanan sebagai tumpuan, lantas keluar dari gerbang dia harus melakukan belok kiri, lantas sampai di depan warung memberi aba-aba berhenti kemudian memberi hormat, aturan kaku itu hanya berguna untuk upacara, untuk para polisi dan tentara. Kalian pasti sekali seumur hidup berpikir begitu."

Kami semua mengangguk, memang benar. Aturan kaku semacam itu tidak dipraktekkan dalam kehidupan sehari-hari. Mungkinkah langkah kaki kita diatur 40 cm? Mungkinkah cara kita mengangkat kaki saat berjalan diukur ketinggiannya? Mungkinkah saat kita dipanggil teman dari belakang lantas memberlakukan balik kanan dengan tumit kanan sebagai tumpuan, hitungan 1 hanya kaki kiri yang menyerong, hitungan 2 tubuh berputar, hitungan 3 kaki menutup, tumit mengatup sementara bagian depan telapak kaki membentuk huruf V ? Akan sangat sulit hidup semacam itu.

"Tapi bukan itu, Dik. PBB itu bukan soal gerakan, itu soal kedisiplinan, mental, kekuatan fisik, kekeluargaan, jiwa korsa, tentang karakter hebat yang akan terbentuk karenanya. Dan sekarang, nyatanya kedisiplinan, mental yang kuat, rasa kekeluargaan, kekuatan fisik yang tangguh, tengah dibutuhkan untuk membangun Indonesia. Mengurangi pengangguran, mengurangi perpecahan, mental bersaing tak kalah dengan negara asing, memang tidak secara langsung dampaknya, tapi perubahan kecil yang kita lakukan adalah awal dari perubahan besar yang negara lakukan. Cobalah berpikir lebih kritis hingga masa depan dan lelahmu akan terbayar."

Kami mulai memahami, meski sedikit tapi nampak cahaya terang untuk hidup kami. Tentang pembentukan karakter dan penguatan mental yang tidak kita dapat di kelas, kurikulum hanya mengutamakan teori bukan karakter atau mental.

"Tujuan utama kalian di sini adalah memperbaiki diri, atur sedemikian rupa, tapi kalian juga harus membuat sekolah kita kembali juara, selebihnya akan ada bonus yaitu Paskibraka. Memang siapa orang yang tidak mau berseragam putih dan mengibarkan bendera di hari peringatan proklamasi? Semua orang bermimpi akan itu."

Mimpi-mimpi kami mulai terbentuk. Sesuatu yang hebat kemungkinan akan terjadi, bersama-sama kami akan meraih mimpi.

🚶🚶🚶🚶🚶

Mengenai seleksi alam, kami yang tengah bercerita ini pun masih berjuang, kami masih dalam tahap seleksi, sampai kapanpun alam menguji kami. Tapi lupakan, kembali lagi di tahun 2016. Kami katakan, kami ini berjumlah 60 orang, memang di masa itu.

Tapi alam pada akhirnya membuang orang-orang yang tak bermimpi, membuang orang-orang yang hanya ingin nama, bukan ingin sebuah perubahan. Penyusutan terjadi, 60 menjadi 50, bulan berikutnya menjadi 40, berikutnya lagi tinggal 30. Setiap hari, dibuang lah satu orang yang lemah.

Hingga akhirnya hari itu tiba, kami sampai di Medan perang. Dimana nama, gelar juara, pembuktian karakter dipertaruhkan. Menuju Medan perang itulah yang biasa kami sebut dengan puncaknya seleksi alam. Bagaimana kami akan diterjang badai, bagaimana kami akan ditiup angin kala di puncak, bagaimana kami bisa terus bermimpi dan bagaimana kami terus menjaga asa juara?

Ini ialah penjelasan tentang seleksi alam, tentang seleksi ketangguhan yang kami gunakan, bukan, tetapi yang mereka gunakan untuk menjadikan kami juara dan pemimpi yang sesungguhnya. Mengenai bagaimana seleksi alam itu terjadi, semua akan kalian ketahui kala membaca kisah ini, tentang sudut pandang kami.

Selanjutnya bukan tentang Laskar Pelangi, bukan pula tentang Mestakung, ini tentang Ksatria Bagaskara yang memiliki arti Prajurit yang gagah dan berani yang memberi cahaya penerangan, Agen perubahan untuk masa depan negara, yang akan kami mulai dengan gelar juara.

🚶🚶🚶🚶🚶

Kami terbentuk dari jutaan mimpi, lantas akan menggapainya dengan berlari
-Ksatria Bagaskara-

PATRIAKARAWhere stories live. Discover now