NC 19

1.2K 94 17
                                    

Aku benar-benar merutuki kebodohanku sendiri, bagaimana bisa aku tidak menyadari segala kebetulan yang ada, bagaimana bisa aku tidak menyadari bahwa musuh sudah ada lima langkah di hadapanku, bagaimana bisa aku tidak menyadari ketika musuhmu sudah melancarkan aksinya dengan cantik. Tanpa ada rasa curiga sedikitpun terhadap Indah, hanya sibuk menebak siapa pria yang dimaksud Indah tanpa sedikitpun berpikir bahwa suamikulah yang menjadi target wanita jahat itu. Kenapa aku tidak sadar akan hal itu? Kenapa???

Sekarang aku benar-benar panik, benar-benar bingung, tak tahu harus meminta bantuan pada siapa untuk mengetahui keberadaan suamiku saat ini. Telepon Bang Yoga, itu  artinya seluruh keluargaku akan tahu dan membuat mereka semua khawatir. Tidak, aku tidak ingin membuat mereka cemas terutama Bunda yang belakangan ini sedang kurang sehat. Maka satu-satunya hal yang harus kulakukan sekarang adalah mendatangi rumah Indah, aku masih ingat alamatnya meskipun aku tidak yakin mereka ada disana. Bagiku, dia itu serupa dengan medusa dengan segala kelicikannya. Mengajak Daffa ke rumahnya sama saja menggali kuburnya sendiri karena dia tahu kalau aku pasti akan mudah menemukannya dan menggagalkan rencana jahatnya.

Mobilku melaju dengan kecepatan diatas normal, membelah jalan yang masih ramai padahal malam sudah semakin larut. Dengan derai airmata aku berusaha untuk tetap fokus menyetir sambil terus berdoa semoga suamiku selalu dilindungi oleh Allah SWT. Terus berharap semoga aku belum terlambat.

Sialnya, dalam situasi buruk seperti ini, lagi-lagi aku diuji dengan kemacetan panjang akibat kecelakaan yang membuatku semakin kalut. Tangisku semakin menjadi, sambil terus menekan klakson aku berharap kalau semua orang yang ada disana minggir dan memberiku jalan. Tapi aku sadar itu takkan terjadi, sangat-sangat mustahil.

Akhirnya aku hanya bisa pasrah setelah salah satu polisi mengetuk jendela mobilku dan memberi teguran keras atas tindakan egoisku.
"Kamu dimana, Mas?" Lirihku bercampur isak tangis.

Kemacetan sedikit demi sedikit terurai, mobilku berjalan bagai keong. Sambil terus memperhatikan jalanan yang padat, ponselku berbunyi. Segera kuraih dan mengernyit saat melihat panggilan dari nomor yang tak dikenal. Apa ini nomor Indah?

"Halo..."  jawabku cepat, bahkan sampai lupa mengucapkan salam.

"Nay?"

Ini suara...

"Resta?"

"Iya ini aku Resta, Nay. Kamu dimana sekarang?"

Untuk apa dia menanyakan keberadaanku, lagipula apa urusannya aku sekarang ada dimana.

"Kamu ngga perlu tahu?" Jawabku ketus, "Ada urusan apa kamu menelponku?" Bukannya aku masih dendam padanya, hanya saja dia menelepon disaat yang tidak tepat. Disaat aku digelayuti ketakutan dan kepanikan seperti sekarang ini.

"Nay... maaf sudah mengganggumu. Tapi aku cuma mau bilang, barusan aku lihat suamimu bersama wanita lain. Apa...kamu tahu dia pergi dengan siapa?"

Deg.

Aku bersyukur sekaligus was-was mendengar informasi tersebut.

"Dimana, dimana kamu melihatnya, Res?" Nafasku memburu, tangisan yang tadi berusaha kusembunyikan darinya kini lolos begitu saja.

"Nay, kamu baik-baik aja? Kamu menangis?"

"Cepat katakan!!!" Jeritku frustasi "Cepat katakan, Resta??"

Resta akhirnya menyebut salah satu nama hotel yang kuketahui letaknya cukup jauh dari tempat tinggalku. Astaghfirullah... Indah benar-benar sudah merencanakan semuanya dengan baik.

"Apa yang sebenarnya terjadi, Nay? Kenapa kamu menangis dan terdengar panik begitu?"

Sadar kalau aku tak bisa bertindak sendirian, aku butuh bantuan. Dan mungkin Resta orangnya. Akhirnya kuceritakan semua padanya, termasuk obrolan Indah bersama si penjual obat itu.

Nayla CanggungWhere stories live. Discover now