NC 16

3K 193 15
                                    

Nafasku tercekat, tiba-tiba saja tubuh besar Daffa memerangkap tubuhku saat aku hendak berbalik. Kedua lengannya berada di kedua sisi bahuku, menahan tubuhnya agar tak menindihku. Apa maksudnya dia melakukan ini?

"Kamu tadi bilang apa? Ulangi!!" Ujarnya tanpa mengalihkan pandangan sedikitpun dariku, meski kondisi dalam keadaan sedikit gelap karena cahaya lampu yang hanya berasal dari lampu tidur tapi aku yakin bahwa saat ini Daffa tengah menatapku tajam menunggu jawaban keluar dari mulutku.

"A..a..apa?" Pura-pura tak mengerti, membuatku gugup dan malah balik bertanya.

"Yang tadi."

Dan ide untuk mengerjainya tiba-tiba saja muncul dikepalaku, siapa suruh sudah membuatku jantungan seperti tadi "Yang mana?"

"Ishhhhh" dia terdengar kesal "yang tadi, Nay. Masa kamu lupa sih?"

"Aku ngga ngomong apa-apa, mungkin kamu tadi mimpi kali, Daff."

Daffa diam namun belum beranjak dari atas tubuhku, sepertinya dia tidak percaya dengan apa yang barusan kukatakan "Masa sih?"

Beruntung kondisi masih gelap jadi dia tak melihat kalau bibirku sudah terangkat, mati-matian aku menahan tawa "Memangnya kamu dengar apa?"

Memilih tak menjawab, dia malah kembali pada posisi semula. Menarik nafas panjang lalu membuangnya perlahan "Mungkin kamu benar, Nay. Yang tadi itu cuma mimpi. Maafin aku udah bikin kamu kaget. Sekarang tidurlah." Dia mengusap puncak kepalaku, kemudian berbalik. Memunggungiku.

"Shhiiitt." Aku mengumpat dalam hati "Nayla bodoh. Kenapa pake acara pura-pura sih, sekarang lihatlah! Bagaimana caranya aku mengungkapkan isi hatiku yang sebenarnya pada Daffa." Kupandangi punggung lebarnya, merasa menyesal sudah mengerjainya.

Lama berpikir dan sama sekali tidak menemukan cara untuk menyampaikan perasaanku padanya membuatku mengantuk, sebaiknya aku tidur sekarang karena aku tidak mau besok ada lingkar hitam di bawah mataku. Tanpa peduli Daffa akan terbangun atau tidak, aku melingkarkan kedua tanganku di pinggangnya, memeluknya erat dengan kepala menempel di punggung hangatnya itu.

"Aku cinta kamu, Daff." Ungkapku dalam hati.

***

Oke. Begitu Daffa menanyakan hal yang selama beberapa hari ini menjadi rutinitasnya, aku akan langsung mengatakan semuanya dengan jujur, tak ada lagi pura-pura seperti yang semalam aku lakukan.

Tapi sampai detik ini, saat kami makan malam tak ada percakapan mengenai hal tersebut. Padahal beberapa hari belakangan ini dia tak pernah absen menanyakan apa aku sudah jatuh cinta padanya. Apa mungkin dia lupa???

"Kamu mau tambah?" Tanyaku saat melihat isi piringnya yang sudah hampir habis.

Dia menggeleng "Sudah kenyang, Nay." Setelah menghabiskan suapan terakhirnya, dia beranjak menuju westafel dengan membawa piring dan gelasnya.

Aku mengikutinya"Biar aku yang cuci, Daff."

"Oke." Dia menggeser tubuhnya dan membiarkan aku mengambil alih spon dari tangannya.

Biasanya dia akan menemaniku mencuci piringnya sampai selesai, tapi kali ini tidak. Dia langsung meninggalkan aku dan melangkah menuju sofa kemudian menyalakan televisi. Tentu saja aku heran, sejak pagi tadi dia memang terlihat pendiam. Setiap kuajak bicara jawabannya selalu singkat seperti enggan bicara padaku. Apa dia sakit? Ohh tidak.. jangan sampai dia sakit lagi. Karena sakit kemarin saja sudah membuat tubuhnya terlihat kurus. Segera aku menyelesaikan cucianku ini, aku harus mengecek sendiri kondisinya sekarang.

Kupegang dahi dan lehernya. Normal. Kuamati wajahnya yang sama sekali tidak terlihat pucat. Syukurlah...

"Kamu kenapa?"

Nayla CanggungWhere stories live. Discover now